Latest News

Friday, March 30, 2012

Sejarah Gereja Paroki Aloysius Gonzaga Mlati (1)

Kekatolikan sebelum ada Gereja Mlati

Dari Muntilan ke Mlati
Karya misi oleh para Yesuit di tanah Jawa diawali ketika mereka datang pada tahun 1859 dengan tujuan membantu imam-imam diosesan di bawah pimpinan Vikaris Apostolik Mgr Vrancken (1847-1874) dan Mgr. Claessens (1874-1893). Dalam perjalanan waktu karya misi diambil alih oleh para Yesuit dan pada tahun 1893 kepemimpinan misi diserahkan kepada para Yesuit dengan Mgr. J. Staal, SJ sebagai Vikaris Apostolik yang baru (Indonesianisasi hlm. 82). Dalam catatan sejarah KAS ada 6 stasi yang semula menjadi wilayah KAS (KAS Indonesia hlm 13) sekarang ini, yakni:

Semarang dengan Rm. L. Prinsens Pr sebagai pastornya sejak 1808
Ambarawa dengan Rm. CJH. Frenssen Pr sebagai pastornya sejak 1859
Yogyakarta dengan Rm. JB. Palinckx SJ sebagai pastornya sejak 1865
Magelang dengan Rm. Fr. Voogel SJ sebagai pastornya sejak 1889
Muntilan dengan Rm. Fr. van Lith SJ sebagai pastornya sejak 1897
Mendut dengan Rm. P. Hoevenaars SJ sebagai pastornya sejak 1899

Karya Rm. Fr. Van Lith SJ di Muntilan pada dasarnya disampaikan lewat jalur pendidikan dan budaya. Lewat jalur pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah untuk rakyat. Dari situlah benih iman kristiani dapat disebarkan di Muntilan dan sekitarnya. Dari lulusan sekolah van Lith di Muntilan itulah nantinya muncul tokoh-tokoh Gereja dan masyarakat. Jalur pendidikan dipilih sebab dapat menjadi mediasi untuk mewujudkan iman, yang diharapkan membuahkan transformasi sosial. (Suharyo, hlm. 288). Selain itu Rm. F. van Lith SJ sangat menaruh hormat terhadap budaya setempat, budaya Jawa sebagaiman nampak dari tindaknnya yang: tidak bertempat tinggal di pastoran Muntilan yang ada di daerah pecinan tetapi pindah di kampung Semampir di tengah-tengah orang Jawa. Beliau juga belajar adat-istiadat Jawa dari para pangeran di Yogyakarta dan akhirnya beliau menterjemahkan doa Bapa Kami ke dalam Bahasa Jawa.(bdk Tim KAS 25). Hasil pendidikan di Muntilan itu adalah rasul-rasul awam yang gigih mewartakan nilai-nilai kristiani. Dari daerah yang sekarang termasuk paroki Mlati dapat disebutkan murid-murid Rm. Van Lith, yakni:

Sdr. Marji dari Warak yang dipermandikan pada tahun 1914 kemudian menjadi seorang Bruder di tarekat FIC dengan nama Br. Timotheus FIC pada tanggal 15 Agustus 1926. Beliau dikenal sebagai pencipta wayang wahyu.

Sdr. Suradi dari dusun Sendari, Tirtoadi yang dipermandikan tahun 1914. Kemudian bertempat tinggal di Bausasran Yogyakarta sebagai pesiunan guru dengan nama lengkapnya Yulianus Suradi Padmowiyoto.

Sdr. Katiman dari dusun Warak, tinggal di Warak sebagai pensiusnan pegawai Kereta Api, dengan nama lengkapnya Antonius Katiman Sastrosutanto.

Kismin dari dusun Plaosan yang dipermandikan tahun 1915 dengan nama baptis Chrispinus dan kemudian menjadi imam bernama Rm.C. Martowardaya SJ, yang meninggal tahun 1975.

Mereka berempat dibaptis oleh Rm. H. van Driessche SJ (seorang Indo-belanda yang menjadi imam, dan pada tahun 1922 menjadi guru di kolose Muntilan). Ia menjadi pembantu Rm. F. van Lith SJ dalam karya misinya. Selain mereka berempat ada satu yang juga banyak berjasa dalam penyebaran iman kristiani yakni FB. Saidi Padmowarsito dari dusun Warak yang dipermandikan pada tahun 1924.

Rm. Fr. Strater SJ, Rm. Van Driesche SJ dan para rasul awam

Permulaan tahun 1917 Rm. Fr. Strater SJ tiba di Jakrta dan setahun kemudian menetap di Yogyakarta. Semula beliau hanya bekerja untuk kalangan umat Belanda. Namun segera ia belajar bahasa Jawa dan bekerja sama dengan Rm. Van Driessche SJ yang sejak tahun 1919 meninggalkan Muntilan dan menetap di Yogyakarta. Kedua pastor itu akhirnya bekerja sama dalam pelayanan kepada umat katolik. Sejak tahun 1922 Rm. Strater SJ menjabat pimpinan Novisiat Serikat Yesus yang baru dibuka di Yogyakarta. Kedua pastor Belanda itu akhirnya berbagi tugas dalam melayani umat katolik yakni:

Daerah Yogyakarta bagian Selatan dan Barat dilayani oleh Romo H. van Driesche SJ, bahkan sampai daerah Purworejo yakni daerah Begelan.

Yogyakarta bagian Timur dan Utara dilayani oleh Rm. Fr. Strater SJ sehingga beliau sering mengunjungi daerah-daerah Cebongan, Druju, Sayegan, Warak, Plaosan, Medari, Duwet dan Kalasan. Beliau juga mempersembahkan kurban misa jika kesempatan memungkinkan

Berikut ini dipaparkan beberapa peristiwa dan peran pribadi dan kaum awam pada masa itu:

Pada tahun 1921 Rm. Van Driesche SJ membaptis ayah Marji (Br. Timotheus FIC) yakni Bp. Mangunrejo alias Ranupawiro karena sakit keras.

Di Cebongan seorang mandor pabrik gula bernama Joyoharjo punya anak bernama Srenggono yang lebih dahulu menjadi Katolik, tertarik untuk menjadi Katolik. Maka ia beserta keluarga dipermandikan juga. Setelah mengundurkan diri dari tugasnya di pabrik belaiau mengajar agama. Seorang dari putranya bernama Latifah menjadi suster CB dan wafat pada tahun 1976 di Jakarta.

Rm. H. van Driesche SJ juga menghimpun para pemuda-pemudi untuk dapat bekerja di pabrik cerutu CV. Negresco (atau Taru Martani). Para pekerja itu tinggal di kota di asrama yang bernaung dibawah Yayasan Santa Melania di jalan Sukun (sekarang menjadi lokasi SMPK Gayam). Sebagai bapak asrama ditunjuk Bp. Ignatius Wiryoutomo seorang guru Standaarschool di Kumendaman. Kelak dikemudian hari Bapak itu menjadi pertapa di biara Trapis Rowoseneng Temanggung.

Dalam buku Panca Windu Gereja Mlati menyebutkan beberapa wanita yang menjadi karyawati CV. Negresco antara lain sebagai berikut:

Antonina Katijah, adik dari Antonius Katiman yang menjadi suster OSF, yang meninggal tanggal 7 Januari 1976 dan dimakamkan di Ambarawa.

Elisabeth Juminten yang menjadi isteri Bp. Padmowarsito di Warak.

Helena Sanikem yang menjadi anggota suster OSF.

Bernadetta Samiyem yang menjadi isteri bapak Matheus Darmosukarto di Warak.

Fransiska Romana Sujini yang menjadi isteri bapak Notoharsono di Kadisobo.

Sumartinah yang menjadi isteri bapak Siswoharsono di Bantul.

Karya pendidikan di Mlati

Melanjutkan strategi pewartaan Rm. Van Lith SJ maka Rm. Fr. Strater SJ juga mendirikan lembaga pendidikan untuk masyarakat. Beberapa peristiwa sejarah dalam karya pendidikan di Mlati pada masa ini adalah didirikannya beberapa sekolah yakni:

Sekolah rakyat (volkscholen) yang tahun ajarannya sampai kelas tiga tamat, yakni: tahun 1924 di Plaosan, tahun 1926 di Denggung dan tahun 1929 di Brengosan, Karanglo dan Bugisan.

Sekolah lanjutan (vervolgscholen) yang menampung lulusan volkscholen yang mempunyai masa pendidikan sampai kelas enam tamat yakni: tahun 1931 di Dukuh dan tahun 1935 di Mlati.

Kursus Guru Desa (disingkat kgd, atau Cursus volksonderwijzers disingkat CVO) didirikan untuk mendidik tenaga guru volkscholen.

Untuk tenaga guru yang mengajar di vervolgscholen diambil dari lulusan Normaalschool Muntilan dan Ambarawa bahkan dari Kweekschool juga.

Para guru volkscholen.dan vervolgscholen oleh Rm. Strater SJ pada sore dan malam hari diberi tugas mengajar agama di berbagai tempat. Sementara itu juga pantas untuk kita ingat peran para guru agama di tempat mereka masing-masing yakni:

Bapak Joyoharjo di Cebongan
Bapak Petrus Setrokartomo di Nganggrang Sayegan
Bapak Tarno Harjohadisumarto di Sayegan
Bapak Seco atau Secopelus di Plaosan
Bapak Prawirosentono di Duwet.

Dengan jalur pendidikan itu pada awalnya para murid sekolah-sekolah itu menjadi katolik dan kemudian orang tua mereka juga ikut tertarik dan menjadi katolik. Memang strategi pewartaan lewat jalur pendidikan membuahkan hasil yang menggembirakan.

Kapel Duwet dan Niat untuk mendirikan gereja Mlati

Pada masa itu di kota Yogyakarta baru ada 2 gereja yakni gereja St. Antonius Kotabaru dan St. Fransiskus Xaverius Kidul Loji. Sementara itu orang Jawa semakin banyak yang menjadi katolik sehingga mendorong Rm. van Driesche SJ untuk merubah sebuah bangunan tua menjadi gereja yang dapat menampung sekitar 2000 orang. Kelak di kemudian hari bangunan ini diganti dan didirikan bangunan baru gereja yang kita kenal dengan nama gereja St. Yusup Bintaran.

Sementara itu di Yogyakarta bagian Utara kurban Misa dilaksanakan di sekolah-sekolah dengan dihadiri para murid dan para guru yang lambat laun juga oleh orang tua para murid tersebut. Misalnya di sekolah Morangan dekat pabrik gula Medari. Para pengunjung berasal dari berbagai tempat yakni: Kembangarum, Kadisobo, Somohitan, Salam, Sayegan, Cebongan, Warak, dan Plaosan ikut misa di Morangan tersebut. Maka di kemudian hari didirikan gereja Medari dan diberkati oleh Mgr. A. van Velzen tanggal 27 Oktober 1927. Sementara itu misa di rumah-rumah umat tetap berjalan seperti di Daplokan Druju, Salam, dan Brengosan (Karanglo). Melihat kenyataan itu Rm. Strater SJ kemudian berniat mendirikan tempat ibadah di Duwet yang secara strategis dapat menampung umat dari Duwet sendiri, Kebonagung, Jaten, Beran, Ngepos, dan Denggung. Selanjutnya Rm. Strater SJ membeli sebidang tanah lewat jasa Bp. Afandi di Duwet dan didirikan sebuah kapel. Beaya pembuatan kapel dicatat dalam majalah St. Claverbond sebesar 400 gulden, termasuk harga tanah yang bangunan berukuran 4 kali 8 meter persegi dengan dinding gedeg. Pada tanggal 8 Desember 1931 pada Pesta Bunda Maria tak Bernoda kapel diberkati dalam sebuah ekaristi. Yang menerima komuni sejumlah 116 orang dari 362 yang hadir. (PWGM hlm. 22)

Namun kemudian kapel sudah tidak dapat menampung umat berkat karya pewartaan bapak Prawirosentono seorang guru agama yang aktif berkarya. Maka Rm. Strater SJ berniat memperbesar kapel Duwet tersebut menjadi gereja. Namun Bp. Fr. Sumitro, seorang guru HIS Bruderan di Kidul Loji yang tinggal di Mlati memberikan pertimbangan kepada Rm. Strater SJ sebagai berikut:

* Sebaiknya gereja dibangun di Mlati sebab jika didirikan di Duwet letaknya terpencil.
* Mlati lebih stratergis daripada Duwet karena terletak di pinggir jalan besar dan jalan kereta api jurusan Yogyakarta � Magelang, bahkan ada stasiunnya
* Mlati dekat dengan tempat pemerintahan setempat yakni seorang Asisten Wedono di Mlati
* Walaupun saat itu hanya ada dua keluarga katolik di Mlati yakni Bp. Fr. Sumitro dan Bp. Jayasumitro, tapi lambat laun diyakini bahwa di Mlati akan berkembang jumlah umat katolik.

Pertimbangan itulah yang juga disampaikan kepada Rm van Baal SJ (superior misi yang baru) dan Rm. A. van Kalken (superior misi yang lama) dan disetujui dengan catatan harus disediakan tanah di Mlati. Selanjutnya seorang keluarga di Mlati (Bp. Ranu) yang akan pindah di Payaman sebelah utara Magelang menjual tanahnya kepada gereja. Hal itu terjadi tahun 1934 dengan harga 200 gulden. Setelah urusan pemindahan hak milik selesai maka dimulailah pembangunan gereja tahun 1935. Mengenai suasana pemberkatan gereja Mlati buku Panca Windu gereja Mlati (PWGM) yang mengutip majalah St. Claverbond menyebutkan beberapa point sebagai berikut:

Gereja Mlati adalah gereja keempat yang diberkati oleh YM. Mgr. P. Willekens SJ yakni:

� tanggal 29 Maret 1936 gereja Wates

� tanggal 05 April 1936 gereja di Bantul

� tanggal 15 Juli 1936 gereja di Nanggulan

� tanggal 26 Juli 1936 gereja di Mlati

Gereja Mlati dibangun dengan menghabiskan biaya 7000 gulden yang dapat menampung 1500 umat. Ada dua gambar kaca di dinding belakang panti imam yakni gambar St. Aloysius Gonzaga (Pelindung gereja Mlati) dan St. Yohanes Berchmans. Kedua lukisan itu merupakan sumbangan dari Kolose Ignatius di Amsterdam. Selanjutnya ada sumbangan Tabernakel dari seorang donatur dari Amsterdam.

Pemberkatan gereja terjadi pada hari Minggu Pahing 26 Juli 1936 (atau tanggal 6 Jumadilawal 1867 tahun Alip Windu Adi). Pada saat acara itu Mgr. P. Willekens SJ didampingi oleh Rm. Van Baal SJ dan Rm. Fr. Strater SJ. Pada tamu undangan yang hadir adalah beberapa Romo dari Kotabaru, para Romo dari luar daerah, seorang Wedono dari Sleman dan asisten Wedono dari Mlati. Selesai pemberkatan diadakan acara pertemuan ala kadarnya di rumah Bapak Setrodrono, kepala desa Mlati.

Sumber : http://historiadomus.multiply.com/journal/item/43/030_Sejarah_Gereja_Paroki_Aloysius_Gonzaga_Mlati
Gambar : http://baitallah.wordpress.com/

Tuesday, March 27, 2012

Jejak Paroki Kristus Raja Surabaya

Seperti gereja-gereja tua di kota besar, Gereja Kristus Raja Surabaya dibangun dengan arsitektur yang unik. Tak heran, Gereja Kristus Raja tercatat sebagai salah satu cagar budaya di Kota Surabaya.

Menurut Romo John Tondowidjojo CM, bangunan gereja di Jalan Residen Sudirman 3 ini mengacu pada nilai-nilai lokal. Menara lonceng menjulang tinggi di ujung atap. Ini merupakan perpaduan atap joglo dengan menara gaya Barat yang runcing dan tinggi.

Pembagian tata ruang dalam (interior) terasa lapang dan longgar. Dalam ruang utama, menurut Romo Tondo, titik pandang kita akan tertuju ke panti imam. Sehingga, secara tidak sengaja pandangan umat seakan-akan dituntun ke arah tabernakel.

�Ini disebabkan pancaran sinar dari jendela kaca patri di dinding panti imam. Secara keseluruhan berjumlah 53 buah,� papar Romo Tondo yang juga guru besar ilmu komunikasi Universitas Bhayangkara Surabaya itu.

Panti imam sendiri ditata sedemikian rupa seperti bagian dalam rumah adat Jawa yang disebut senthong. Bagian tengahnya menjadi tempat paling sakral, yaitu tabernakel. Ruang di kanan panti imam adalah sakristi. Tempat pastor dan misdinar (putra altar) berganti pakaian.

Mewakili pastor paroki yang berhalangan hadir, kemarin Romo Tondo menceritakan kembali sejarah singkat Gereja Kristus Raja di hadapan ribuan jemaat. Menurut Tondo, keberadaan Gereja Kristus Raja tak lepas dari rintisan Monsinyur Th de Backere CM yang konsen pada karya pendidikan. Pada 1 April 1929, Monsinyur de Backere meletakkan batu pertama pembangunan gedung sekolah untuk anak-anak pribumi di kawasan Ketabang.

Tiga bulan kemudian, Juli 1929, gedung sekolah tersebut kelar dan diresmikan. Namanya nama HIS (Hollands Indische School) Santa Theresia. Sekolah yang setara dengan sekolah dasar. Kegiatan belajar-mengajarnya dimulai tahun 1930.

Nah, pada saat itu, setiap hari Minggu, gedung sekolah itu dipakai juga sebagai gereja bagi umat Katolik di kawasan Ketabang dan sekitarnya. Gereja darurat itu kemudian dikenal sebagai Santa Theresia Hulpkerk atau Gereja Bantu Santa Theresia.

Setelah dirintis 80 tahun silam, Santa Theresia Hulpkerk atau Gereja Bantu Santa Theresia terus berkembang. Pada 1933 dibangun gereja baru di bekas bangunan taman kanak-kanak.

Nama gereja tetap sama: Santa Theresia Hulpkerk. Sebagian gedungnya masih disekat untuk taman kanak-kanak. Karena gedung pastoran sudah selesai dibangun, sejak saat itu Romo J Haest CM selaku pastor paroki bersama Romo G van Ravensteijn CM menetap di Ketabang.

Tidak lama kemudian, Prefek Apostolik (cikal bakal Keuskupan Surabaya) Monsinyur Th de Backere CM ikut pindah ke Pastoran Santa Theresia Ketabang. Sejak 1933 Stasi Ketabang berubah status menjadi paroki. Paroki ketiga di Surabaya menyusul Gereja Kelahiran Santa Perawan Maria (Kepanjen) dan Gereja Hati Kudus Yesus atau Katedral di Jalan Polisi Istimewa.

Pada 1929 Monsinyur Th de Backere CM menggagas pembangunan gereja ketiga di Surabaya. Dia kemudian menyewa rumah di Ambengan 45 dan membeli sebidang tanah di kompleks gereja sekarang. Monsinyur menugaskan Romo G. Ter Veer CM untuk merealisasikan gereja baru.

Pada 1930, bersamaan dengan perayaan hari jadi Ratu Wilhelmina, gereja ini resmi berdiri. Pada 1933 dibangun pastoran dan pada 1938 gedung Taman Kanak-Kanak Santa Theresia. Karena umat semakin banyak, pada 1953 gereja diperluas (renovasi). Gedung gereja baru ini diberkati oleh Mgr JAM Klooster CM pada 1957.

Mengingat Gereja Theresia Ketabang masih darurat, pada 1938 diadakan renovasi dan diperluas. Bangunan yang tadinya sebagian dipakai untuk sekolah kini sepenuhnya sebagai gereja. Nama gereja yang semula Santa Theresia Hulpkerk diubah menjadi Kristus Koningkerk atau Gereja Kristus Raja.

Ketika tentara Jepang masuk pada awal Maret 1942 di Surabaya, Sekolah Santa Theresia dan Gereja Kristus Raja diduduki tentara Jepang. Semua pastor berkebangsaan Belanda ditangkap dan diinternir tentara Jepang.

�Sehingga, kegiatan rohani diasuh dua romo asal Jawa Tengah, yakni Romo PCL Dwidjosoesanto dan Romo Padmoseputra,� tutur Romo John Tondowidjojo. Mantan Pastor Paroki Kristus Raja ini secara khusus menulis buku peringatan 80 tahun Gereja Kristus Raja.

Setelah Jepang kalah perang, Romo Haest CM dan Romo E van Mensvoort CM kembali ke Ketabang. Di masa kemerdekaan, meski masih dengan berbagai keterbatasan, jumlah jemaat terus bertambah. Gereja sederhana yang dibangun pada 1933 sudah tidak lagi menampung umat.

Maka, pada 1956 Romo Dijkstra CM bersama Romo Passchier CM berinisiatif untuk membangun sebuah gereja baru. Setahun kemudian, 1957, Gereja Kristus Raja diresmikan oleh Uskup Surabaya Monsinyur JAM Klooster CM. Nah, bangunan gereja inilah yang bertahan sampai sekarang.

Sumber : http://hurek.blogspot.com/2010/11/gereja-kristus-raja-80-tahun.html

Wednesday, March 21, 2012

Perjalanan Sejarah Paroki St. Mikael Gombong

Sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, Gombong adalah ibukota Kawedanan Gombong yang termasuk Kabupaten Kebumen, Karesidenan Kedu, Jawa Tengah. Dibandingkan dengan kota-kota kecil lainnya, Gombong relatif lebih dikenal orang. Bahkan Gombong menjadi tujuan bagi kelompok-kelompok pejalan kaki, bersepeda atau dengan naik pedati. Gua Ijo dan Gua Karangbolong yang terletak di sekitar Gombong sudah sejak tahun 1920-an ramai dikunjungi orang untuk berwisata.

Selain itu, dari seluruh kota kecil di Jawa Tengah, hanya Gombonglah yang dihuni oleh orang-orang Belanda. Hal itu disebabkan oleh karena Gombong dijadikan basis militer oleh Pemerintah Hindia Belanda. Di Gombong terdapat tangsi pasukan gerak cepat Kavaleri KNIL. Beberapa orang Indo anggota Kavaleri tersebut beragama Katolik. Sebelum kedatangan para Misionaris MSC, mereka dilayani oleh Pastor dari Paroki Magelang dan Yogyakarta. Sesudah Purworejo, Purwokerto dan Cilacap ditetapkan sebagai paroki, penanganan umat di Gombong dilaksanakan oleh para pastor dari ketiga paroki itu secara bergiliran. Maka bisa dikatakan bahwa umat beriman Katolik Paroki St. Mikael Gombong mulai bertumbuh sejak tahun 1927/1928.

Penetapan sebagai Paroki

Perkembangan umat di wilayah Gombong cukup pesat. Sehingga pada tanggal 9 April 1935, Mgr. BJJ. Visser MSC berkenan menetapkan Gombong sebagai Paroki. Pastor pertama yang ditunjuk untuk menangani daerah ini sebagai paroki adalah Rm. A. Grootveld MSC. Permandian dengan nomor Induk 1 di Gereja Gombong dilaksanakan pada 24 Mei 1935 atas diri Remigius Yakobus Hari oleh Rm. A. Grootveld MSC. Pengganti Rm. A. Grootveld MSC adalah seorang Romo muda penuh semangat, yaitu Rm. W. Schoemaker MSC (yang kemudian menjadi Uskup Purwokerto sampai diganti oleh Mgr. P.S. Harjosoemarto MSC tahun 1974).

Pada zaman pendudukan Jepang para Romo berkulit putih diinternir (ditahan) termasuk Rm. W. Schoemaker MSC. Umat memperlihatkan kesetiaannya kepada gembalanya dengan mengirim makanan ke penjara-penjara: Karanganyar, Kebumen, dll. Mereka itu antara lain Ny. Tan alm. bersama kawan-kawan.

Rm. Dumatubun Pr kemudian menangani paroki ini. Beliau dibantu oleh guru-guru agama seperti Yakobus Yunus dan pak Darmo. Paroki ini agak mundur/mandek selama jaman Jepang. Namun perkembangan umat terus menjalar sampai ke Sumpiuh, Kroya, Nusawungu, Kemranjen, Maos, Nusawangkal, Panjatan, Kalibeji, Adipala, di samping di paroki induk Gombong. Pastor Dumatubun Pr harus berkeliling menggembalakan umat yang tersebar di antara sungai Kemit dan sungai Serayu.

Zaman Kemerdekaan

Setelah zaman kemerdekaan, mulailah babak baru kehidupan umat paroki ini. Umat bangkit dan ikut aktif dalam pengembangan Kerajaan Allah. Tercatat para aktivis gereja pada saat itu seperti Bpk. Cokro Atmojo di Tambak, Bpk. Wignyosoemarto di Kemranjen, dan Ibu W.F. Latong ikut menghinpun kembali Umat yang telah lama diam.

Tahun 194S Rm. Putu Harjono MSC mulai bertugas di paroki ini. Bapak Darmo pindah ke Purwokerto, Bapak Karto dan bapak Kawit bekerjasama dengan Rm. Putu menangani paroki ini. Perkembangan umat samakin pesat terlebih seteleh pengakuan kemerdekaan- 27 Desember 1949. Rm. Putu Harjono kemudian mendirikan Sekolah Rakyat Bakti Mulia, Agustus 1949. Guru-guru pertamanya: Ibu Pujohadiwardoyo, Ibu Esti dan Bapak Slamet Djajaatmodjo.

Tahun 1950 Mgr De Jonge -seorang Uskup asli Belgia- berkunjung ke paroki ini sebagai utusan dari Vatikan, Beliau memandang positip paroki ini dan meramalkan masa depan yang cerah bagi paroki Gombong. Tahun 1950 ini Rm. Wahyo Bawono, Pr mulai bertugas di paroki ini. Beliau mendirikan Sekolah Ketrampilan yang kemudian diubah menjadi SMP Madjakkat 1952, yang dikepalai Bpk. Sukarji, guru SGB Negeri Gombong. SMP Madjakkat ini berdiri sampai tahun 1970.

Diversifikasi Karya Pastoral

Tahun 1952 mulai berkarya di paroki ini, Rm. Van de Paas MSC. Pada tahun itu pula mulai berkarya Suster-suster dari Tarekat Amal Kasih Darah Mulia dipimpin oleh Sr. Hieronima, Sr. Romana, Sr. Felotea. Sekolah Rakyat Bakti Mulia kemudian diserahkan penanganannya kepada para Suster Amal Kasih Darah Mulia yang kemudian melengkapinya dengan TK. Tahun 1953 Suster-suster itu mendirikan Poliklinik Palang Biru di bawah asuhan Sr. Damiana. Tempatnya di sebelah selatan gereja, sekarang Panti Paroki. Tahun 1954, para suster mendirikan SMP Pius berlokasi di Gang Nyiur (Jln. Gereja 3). Kepala Sekolahnya yang pertama adalah Sr. Hieronima dibantu Bpk SJ. Sudarman dan Ibu Christine.

Dalam bidang politik tercatat para aktivis Katolik, misal : Bpk. Cokroatmojo (ketua Partai Katolik cabang Kebumen); Bpk. Jamprak (sekretaris) dan Bpk. S. Yap Thiam Yong (bendahara). Bpk. Jamprak pernah duduk di kursi semacam DPR/wakil umat di daerah Kebumen sampai Pemilu pertama tahun 1955. Setelah Pemilu pertama, Bpk. S. Yap Thiam Yong duduk sebagai anggota DPR wakil Partai Katolik cabang Kebumen sampai DPR GR dibentuk. Dalam DPR GR duduklah Bpk. Jamprak sebagai wakil Partai dan Bpk. FX. Poncoprawiro sebagai wakil Ulama, Bapak Poncoprawiro adalah seorang sersan penuh semangat pengabdian terhadap negara dan seorang prajurit Kristus yang tangguh hingga akhir hidupnya. Beliau meninggal pada saat bertugas mendampingi Rm. Anton Welling MSC dalam Misa di Stasi Panjatan persis setelah membacakan bacaan Injil. Oleh karena itu, untuk mengenang jasa beliau, gereja Panjatan yang berdiri tahun 1963 diberi nama Panti Hening Fransiskus Prawirotomo,.

Pengganti Bpk. Jamprak yang meninggal tahun 1964 adalah Bpk I. Somadi sampai terpilihnya anggota DPR dalam Pemilu tahun 1971.

Mula-mula wadah seluruh kegiatan umat dalam paroki bernama Madjakkat (Madjelis Aksi Katolik) yang berdiri tahun 1950. Ketuanya yang pertama adalah Bpk. Pujohadiwardoyo. Kemudian Bpk. J. Saidi sampai tahun 1964. Selanjutnya semakin banyak orang yang terlibat di dalamnya. Nama Madjakkat berubah menjadi Dewan Paroki sejak tahun 1966.

Kaum wanita tidak ketinggalan dalam gerak lajunya pembangunan paroki ini. Wanita Katolik cabang Gombong berdiri tahun 1950. Ibu Pujohadiwardoyo menjadi ketuanya. Ibu WP. Latong sebagai wakil ketua dan Ibu S. Yap Thiam Yong menjadi bendaharanya.

Pembangunan gedung gereja St. Mikael

Dalam Tahun berlangsungnya Konsili Vatikan II gedung gereja Katolik Gombong dibangun. Peletakan batu pertama dilaksanakan pada bulan September 1963 oleh Rm. Hoos MSC, Vikjen Purwokerto pada waktu itu. Tahun 1964, pembangunan selesai. Ketua panitia pembangunan pada waktu itu adalah Bpk. J. Saidi yang juga ketua Madjakkat pada masa itu. Sekretarisnya adalah Bpk. Cipto, bendahara dan seksi usahanya dipegang oleh Bpk. S. Yap Thiam Yong.

Lonceng gereja dibeli dari negara Swiss oleh Rm. H. Obbens MSC. Pembangunan gereja dibiayai oleh umat bersama Bapak Uskup, dan juga sumbangan Rm. van de Paas MSC, pastor paroki pada saat itu, dengan uang yang diperoleh dari orangtuanya sebagai warisan.

Pertengahan tahun 1964, Rm. YC. Neto MSC dari Brasil berkarya di Paroki ini. Kharisma kcpemimpinan yang dimilikinya sungguh-sungguh mengefektifkan umat. Semua organisasi Katolik sungguh-sungguh hidup: partai Katolik, Pemuda Katolik, Putera Altar, Organisasi anak-anak, PKEK (Pasukan Kehormatan Ekaristi Kudus), Legio Mariae, semua sungguh hidup. Dewan Paroki pada saat itu dipimpin oleh Bpk. SY. Sudarman. Wanita Katolik diketuai oleh Ibu D. Suyani. Legio Mariae dipimpin mula-mula oleh Bpk. Harsono, dilanjutkan oleh Ibu Eddy Setijo dan kemudian oleh Ibu Maryam Atmosugondo BA.

Dalam pengembangan umat paroki, pantas dicatat guru-guru agama yang aktif: Bpk. Slamet Djojoatmodjo. Sr. Fransisca, Bpk. FX. Ponco Prawiro, Ibu Th. Tentrem Rahayu, Ibu St. Wirasti, Bpk. SY. Sudarman, Bpk. K. Daliman, Bpk. AR. Warnoto dan sejak tahun 1965 Bpk. MA. Salim.

Karya Sosial Gereja

Karya sosial mendapatkan perhatian yang cukup besar. Karena situasi politik, pada sekitar tahun 1965 terjadilah bencana kekurangan makan. Gereja cukup berperan dalam membantu masyarakat mengatasi situasi itu. Gereja menjadi penyalur bantuan makanan seperti sorgum, gandum, susu, mie bagi masyarakat yang membutuhkan.

Tgl 30 September 1965 meletuslah pemberontakan politik yang dikenal sebagai peristiwa G 30 S, suatu peristiwa yang sungguh-sungguh berakibat buruk bagi tata kehidupan sosial kemasyarakatan. Masyarakat dicekam oleh ketakutan dan kecemasan. Golongan tertentu yang tak bertanggungjawab memanfaatkan kesempatan itu untuk membalas dendam kepada orang atau golongan yang dianggap sebagai biang keladi kekacauan sosial itu dengan membakar rumah-rumah mereka khususnya golongan Tionghoa. Peran umat Katolik pada masa itu adalah melindungi mereka dengan menampung mereka di gedung yang sekarang menjadi Panti Paroki.

Pemuda Katolik di bawah pimpinan Bpk. AM. Sudiyono ikut ambil bagian dalam rangka penumpasan G 30 S secara tertib. Mereka ikut bergabung dengan pemuda lainnya untuk dilatih menjadi Hansip/Hanra oleh RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat).

Pertengahan tahun 1966, Rm. YC. Neto cuti ke Brasil. Penggantinya adalah Rm. Westerkamp MSC. Pada permulaan tahun 19S7, Rm. Ign. Susilosuwarno MSC menjadi pastor pembantu di paroki ini. Rm. Westerkamp mulai memikirkan penggunaan alat pengeras suara di Gereja. Rm. Susilo sesuai dengan bakatnya dengan giat memajukan koor gereja.

Pada pertengahan tahun 1967, Rm. YC. Neto kembali lagi ke paroki ini.

Tgl 27 Nopember 1967, masyarakat Gombong dilanda bencana lagi. Waduk Sempor bobol. Banyak orang hanyut, tewas, dan kehilangan rumah tinggal. Umat dibawah koordinasi Romo dan Dewan Paroki membantu mereka dengan mengirim makanan, pakaian bekas, dan membangun kembali beberapa rumah.

Permulaan tahun 1971, Rm. Neto pindah ke Cilacap. Penggantinya adalah Rm. Thomas Freitas MSC. Beliau sangat memperhatikan hidup doa dan orang miskin.

Tahun 1975, Rm. Thomas pindah ke Kebumen dan paroki ini di pegang oleh Rm. Wahyobawono Pr bersama dengan Rm. de Vette Pr. Rm. Wahyobawono menaruh keprihatinan besar terhadap para pemuda pengangguran. Untuk memajukan mereka itu beliau mendirikan perkumpulan "Inti Pendaya" yang bergerak di bidang bangunan.

Tahun 1977, Rm. Wahyobawono pindah ke Pemalang. Selama beberapa bulan Rm. Van Dommelan MSC menangani paroki ini. Tahun 1978, Rm. A. Welling yang dulunya berkarya di Merauke tiba di paroki Gombong. Beliau memperhatikan umat Katolik yang miskin dengan usaha meningkatkan taraf hidup mereka. Kepada umat di Panjatan beliau memberikan bibit-bibit cengkeh untuk ditanam dan kambing-kambing untuk dikembangkan.

Memantapkan Reksa Pastoral Paroki

Pengganti Rm. A. Welling adalah Rm. H. Obbens MSC. Selain melanjutkan usaha Rm. A. Welling, beliau secara khusus memberi perhatian pada kehidupan liturgi dan panggilan imam. Beliau mengatakan bahwa umat mulai maju apabila mulai tumbuh di antara mereka orang-orang yang terpanggil menjadi imam/biarawan-biarawati. Muncullah pada masa itu putera stasi Banjareja yang kemudian menjadi pastor, yaitu Rm. Warsidiyono MSC. Menyusul beliau adalah mereka-mereka yang sekarang sudah menjadi imam, maupun yang masih ada di Seminari Menengah dan Seminari Tinggi.

Rm. H. Obbens pun memperhatikan bidang katekese dengan antara lain mengirimkan putera paroki untuk menjadi katekis di AKI Madiun. Tahun 1982, Rm. H. Obbens cuti ke Negerinya.

Pengganti sementara Rm. H. Obbens adalah Rm. Ign. Hadisiswaja MSC, Superior Daerah MSC Jawa Tengah. Pada akhir 1982 itu Rm. Chris. Wantania menggantikan Rm. Hadi. Dalam masa kepemimpinan Rm. Chris. Wantania, gereja Panjatan diselesaikan dan diberkati oleh Bapak Uskup dengan diberi nama : "Panti Hening Fransiskus Prawirotomo". Pada masa ini pula muncul sarana komunikasi umat, yakni "Gema Paroki" (Gempar).

Tahun 1984, Rm. Chris Wantania digantikan oleh Rm. Hermanus Lingitubun MSC, sebagai pengganti sementara. Dengan penuh semangat beliau bersama umat mengadakan pembenahan kehidupan paroki.

Tahun 1985, Rm. Pasquarelli Mauro mulai berkarya di Paroki Gombong. Beberapa bulan kemudian Rm. Thomas Freitas MSC kembali ke paroki ini setelah cukup lama melayani tempat-tempat lain, termasuk juga di Kepulauan Maluku Tenggara. Rm. Pasquarelli Mauro bekerjasama baik dengan Dewan Paroki dibawah pimpinan Bpk. AM. Sudiyono. Pada masa itu gedung panti paroki diperbaiki dan di gereja Paroki Gombong dilaksanakan pentahbisan 4 orang imam baru, salah satunya adalah putera paroki: Rm. Warsidiyono MSC.

Rm. Mauro kemudian meninggalkan paroki ini untuk menjadi biarawan kontemplatif (pertapa) di Rowoseneng, Temanggung. Rm. Thomas melanjutkan memegang paroki ini. Bersama-sama dengan Dewan Paroki, ketua-ketua kring, kelompok-kelompok organisasi gerejani, dan seluruh umat dibantu oleh para guru dan katekis seperti Bpk. FX. Ginanto dan Bpk. MA. Salim dan para pengajar agama sukarelawan serta para ketua stasi dan guru-guru stasi; paroki Gombong dihidupkan dan dikembangkan.

Periode Tahun �90-an

Karena kondisi fisik Rm. Thomas Freitas MSC yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk bekerja sendirian, maka pada tanggal 16 Mei 1990 Rm. E. Wignyoseputro, MSC diutus datang ke Gombong untuk menggantikan kedudukan Rm. Thomas Frietas MSC sebagai Pastor Kepala Paroki Gombong. Rm. Thomas masih terus berkarya di Gombong sebagai pastor pembantu. Setelah Rm. Thomas kembali ke negaranya, pada tanggal 24 Januari 1991 diutuslah Rm. Yohanes Watugigir, MSC ke Paroki Gombong untuk membantu Rm. E. Wignyoseputra MSC. Beliau mempunyai tugas khusus untuk membina umat di Stasi Kroya sampai dengan permulaan tahun 1992.

Rm. Robertus Siswowiyono, MSC datang di Gombong pada tanggal 10 Mei 1992 untuk menggantikan Rm. AE. Wignyoseputra MSC yang pindah ke Paroki St. Lukas Pekalongan. Selama di Gombong, disamping pembinaan umat, Rm. Sis menambah bangunan Gua Maria di belakang Pastoran. Rm. Sis juga mengadakan renovasi Listrik Gereja, Mikrofon/Sound System Gereja. Juga diadakan renovasi Altar dan Panti Imam yang diganti dengan Keramik, serta pembelian Organ baru. Selama satu tahun terakhir (th.1996) ada Pastor Bantu yakni Rm. E. Suparmanto MSC.

Rm. E. Suparmanto MSC datang dan disambut di Paroki Gombong pada tanggal 15 Juni 1995, bertepatan dengan pelepasan Rm. FL. Miranto MSC untuk segera berangkat ke Pulau Buru. Rm. FL. Miranto ditahbiskan menjadi imam di Gombong bersama dengan Rm. Sudjono MSC, tanggal 10 Mei 1995. Rm. Parmanto berkarya di Gombong sampai bulan Mei 1996, yaitu saat ia diangkat menjadi Pastor Paroki di Banjarnegara.

Rm. Ignatius Budi Agus Triono Pr datang di Paroki St. Mikael Gombong pada bulan Juni 1996. Sejak kedatangannya di Gombong beliau terus berusaha untuk merealisasikan berdirinya Panti Paroki yang baru berlokasi di bekas rumah yang sebelumnya pernah menjadi Pabrik Sabun. Dan pada bulan Pebruari 1997 mulai peletakan batu bertama oleh Rm. Budi bersama Panitia Pembangunan yang diketuai oleh Bapak AM. Sudiyono. Akhirnya pada tanggal 14 Desember 1997, panti paroki tersebut diberkati dan diresmikan oleh Bapa Uskup Purwokerto, Mgr. Paskalis Hardjosoemarto MSC, dengan nama Panti Paroki SASANA HARJUNA.

Periode Tahun 2000-an

Rm. Kristoforus Wasito Pr datang dan mulai berkarya di Gombong pada hari Minggu, 19 September 1999. Dan sebelum di Gombong Romo melayani umat di Paroki St, Petrus Pekalongan. datang di Gombong. Di samping pembinaan iman umat, Rm. Kris juga mengadakan perubahan secara fisik, antara lain : mengganti semua lantai kamar mandi Pastoran, menciptakan suasana sejuk taman di depan Pastoran dengan berbagai tanaman hias baru, serta mengganti semua kaca bagian depan Pastoran. Pada tahun 2000, Panti Paroki (atas-bawah) juga mulai direhab. Juga diadakan pengecatan semua bagian Gereja dan Pastoran. Pada tahun 2003, dibuat juga rehab kamar mandi dan tempat tinggal koster.

Pada hari Jumat, 18 Juni 2004, bertepatan dengan Hari Raya Hati Yesus yang Mahakudus, dilaksanakan peletakan batu pertama renovasi Pastoran oleh Bapa Uskup Purwokerto, Mgr. Julianus Sunarka SJ. Pastoran yang direnovasi tersebut diberkati dan diresmikan untuk dipakai kembali pada hari Jumat, 17 Juni 2005, oleh Bapa Uskup Purwokerto, Mgr. Julianus Sunarka SJ.

Sejak 4 Agustus 2001, Rm. Bl. Slamet Lasmunadi, Pr ditugaskan untuk menjadi Pastor bantu Paroki St. Mikael Gombong. Rm Slamet berkarya melayani umat Paroki Gombong selama 9 bulan kurang 10 hari. Sejak tanggal 6 Mei 2002, beliau mendapatkan penugasan baru untuk berkarya di Paroki St. Stephanus Cilacap, khususnya di Stasi Majenang.

Pada tahun 2003, Rm. Michael Benediktus Sheko Swandi Marlindo, Pr ditugaskan sebagai Pastor Bantu di Paroki St. Mikael Gombong. Ia terlibat dan menghidupkan berbagai kegiatan di Paroki ini. Sejak berada di Gombong, Rm. Sheko terlibat mengajar agama Katolik di SMA Pius Bakti Utama Gombong. Bahkan beliau sampai menjadi Wakil Kepala Sekolah Seksi Kurikulum. Sejak tanggal 19 April 2006, Rm. Sheko diangkat sebagai pejabat sementara Pastor Paroki St. Mikael Gombong. Dan mulai 1 Agustus 2006, Rm. Sheko diangkat kembali sebagai Pastor Bantu Paroki Gombong. Sejak tanggal 9 Agustus 2008, Rm. Sheko pindah ke Paroki Pemalang.

Pada tanggal 1 Agustus 2005, Rm. T. Mardiusmanto, Pr menggantikan Rm. Kris Wasito, Pr sebagai pastor paroki. Tidak lama beliau berkarya di Paroki Gombong, yaitu sampai 19 April 2006. Untuk sementara, Rm. Sheko menjadi pejabat pastor paroki.

Renovasi gedung gereja

Pada tanggal 1 Agustus 2006, Rm. FX. Yitno Puspohandoyo, Pr diangkat menjadi pastor paroki Gombong. Karena dirasa bahwa gedung gereja kurang memadai untuk jumlah umat yang hadir dalam perayaan ekaristi, maka diadakanlah renovasi gedung gereja : lantai, tembok-tembok dan ornament-ornamen dalam gereja. Lorong utara dan selatan gereja diberi atap dan tinggi lantainya disamakan dengan gereja. Tembok-tembok samping diganti dengan pintu berventilasi yang bisa dibuka tutup. Sehingga, kalau kapasitas dalam kurang mencukupi untuk jumlah umat yang hadir, pintu-pintu samping bisa dibuka dan lorong-lorong utara selatan bisa dipasangi tempat duduk umat. Panti imam juga direnovasi dan tembok belakangnya diberi hiasan lambang Tritunggal dan keempat penginjil yang terlukiskan dalam kaca patri yang indah. Sisi atas tembok samping kiri-kanan gereja juga diberi hiasan kaca patri indah yang melukiskan tujuh sakramen gereja dan sapta duka Maria. Gedung gereja yang sudah selesai direnovasi ini diberkati dan diresmikan pada tanggal 29 Desember 2007, bertepatan dengan Pesta Keluarga Kudus, oleh Vikjen Keuskupan Purwokerto, Rm. F. Widyantardi, Pr.

Menggantikan Rm. Sheko sebagai pastor bantu, diutuslah Rm. FX. Bagyo Purwosantosa, Pr. Beliau secara resmi hadir di Paroki Gombong sejak tanggal 1 Agustus 2008. Selain sebagai Pastor Bantu Paroki, Rm. Bagyo juga meneruskan karya pendidikan di SMA Pius Bhakti Utama Gombong.

Karena usia dan kondisi kesehatan, Rm. Yitno memohonkan kepada bapa Uskup penggantinya sebagai Pastor Paroki Gombong. Pada tanggal 1 Juli 2009, Rm. Yitno resmi digantikan oleh Rm. Paulus Hendro P., Pr sebagai Pastor Paroki Gombong. Selanjutnya Rm. Yitno menjadi Pastor Bantu Paroki.

Sejak tanggal 15 Juni 2010, Rm. Bagyo pindah ke Jakarta untuk belajar Bahasa Perancis guna persiapan belajar Islamologi di Negara Perancis. Untuk menggantikan Rm. Bagyo, diutuslah Rm. D. Dimas Danang A.W., Pr sebagai Pastor Bantu Paroki Gombong sejak 15 Juni 2010. Selain sebagai Pastor Bantu Paroki, Rm. Danang juga meneruskan keterlibatan aktif para Romo dalam karya pendidikan di SMA Pius Bhakti Utama Gombong.

Paroki St. Mikael Gombong Menatap ke depan

Perkembangan sebuah paroki adalah perkembangan kehidupan berjemaat dalam reksa pastoral yang dipercayakan kepada hirarki bekerja sama dengan kaum awam. Perkembangan kehidupan berjemaat ini nampak dalam dinamika 5 bidang kehidupan gereja : liturgi, pewartaan, pelayanan, persekutuan dan kesaksian imannya. Selama perkembangannya, Paroki St. Mikael Gombong mencoba untuk semakin mendewasa dalam semua bidang kehidupannya. Dirgahayu ke-75 Paroki St. Mikael Gombong, teruslah maju dan berkembang!!!





Sumber : http://stmikael-gombong.net/
Gambar : http://www.parokiku.org/

Wednesday, March 14, 2012

Sejarah Gereja Paroki Santo Petrus Purwosari Surakarta

Karya misi di Surakarta

Karya misi di Surakarta berkembang dimulai dengan dibangunnya Gereja St. Antonius Purbayan pada bulan Oktober 1905. Bulan November 1916, gedung gereja telah selesai dan diberkati Pater C. Stiphout, SJ. Kemudian beliau diangkat sebagai Romo paroki yang pertama di Surakarta. Beberapa tahun kemudian hadir Pater Strater SJ, Pater Hermanus SJ, Pater J. Jansen SJ, Pater Hoevenaars SJ, Pater A. Van Velsen SJ, Pater Schots SJ, Pater B. Hagdorn SJ. Pada tahun 1922, tercatat jumlah orang Katolik di wilayah dalam kota Surakarta ada 1224 orang. Enam tahun kemudian, pada tahun 1928, jumlah tersebut berkembang pesat. Di dalam kota ada 2660 orang Katolik, di kota Boyolali 132 orang, di Sragen 275 orang, dan di Wonogiri 30 orang.

Para Romo misionaris saat itu harus menempuh perjalanan dari Semarang atau Ambarawa untuk melayani orang-orang Katolik yang ada di Surakarta. Pelayanan itu dilakukan dengan cara yang sering disebut missie-reizen yaitu lawatan misi atau kunjungan berkala oleh seorang misionaris.

Perkembangan umat yang begitu pesat itu dirasa berat bagi para Romo yang berkarya di Surakarta. Waktu itu, baru ada satu gereja yang didirikan untuk melayani umat di Surakarta, yaitu Gereja St. Antonius Purbayan. Gereja itu menjadi sangat kecil untuk menampung umat yang terus bertambah. Bangunan Gereja seringkali tidak muat bagi umat yang ingin mengikuti Perayaan Ekaristi pada hari Minggu, meskipun Perayaan Ekaristi telah diadakan sebanyak empat kali.

Situasi semacam itu menggerakkan hati Mgr. P. Willekens, SJ Vikaris Apostolik Batavia untuk mendirikan gereja dan paroki kedua untuk umat di Surakarta. Pada tahun 1938 Pater Verhaar, SJ yang waktu itu menjadi Romo Paroki St. Antonius Purbayan memberi perhatian pada usaha pendirian gereja tersebut.

Serikat Jesus sejak tahun 1859 yang melayani misi di Hindia Belanda mengalami kesulitan memenuhi tenaga untuk mengelola paroki dan gereja yang baru itu. Mgr. P. Willekens, SJ kemudian mencari tenaga di luar Serikat Jesus. Tawaran itu disampaikan kepada Kongregasi Misionaris Keluarga Kudus (MSF) yang sejak tahun 1926 telah berkarya di Kalimantan bersama dengan Ordo Kapusin. Tawaran itupun disambut baik oleh para anggota kongregasi. Mgr. P. Willekens, SJ kemudian mengadakan pembicaraan dengan superior SJ, Pater J. Van Baal, SJ dan Superior MSF, Pater A. Elfrink, MSF.

Para pater MSF pun mulai berdatangan, yaitu Pater H. Van Thiel, MSF, Pater A. Elfrink, MSF, dan Pater Chr. Hendriks, MSF. Mereka menempati rumah yang ditempati oleh para Pater SJ di Purbayan. Dari ketiga Romo itu, yang dipercaya untuk mengurus persiapan dan pelaksanaan pembangunan gereja adalah Pater A. Elfrink MSF.

Gereja Santo Petrus Purwosari Surakarta.

Ketika para pater MSF telah datang di Surakarta, para pater SJ mulai mencari tanah yang dapat dipakai untuk mendirikan bangunan gereja yang baru. Mereka mencari tanah di bagian barat kota Surakarta. Dibelilah sebidang tanah yang terletak di kampung Gendengan. Tanah itu terletak di sebelah timur perempatan jalan Purwosari (sekarang perempatan itu disebut perempatan Gendengan) yang dilingkupi oleh tiga jalan, yaitu : Jl. Dr. Muwardi, Jl. Dr. Wahidin dan Jl. Slamet Riyadi.

Peletakan batu pertama pembangunan Gereja dilakukan pada hari Jumat, 16 September 1938. Pembangunan gereja seluruhnya memakan waktu kurang lebih 20 bulan. Pemberkatan gereja dilakukan pada hari pesta Santo Petrus dan Paulus, hari Sabtu 29 Juni 1940 oleh Mgr. P. Willekens SJ, Pater A. Elfrink MSF, Pater N. Havenman MSF. Izin bangunan gereja baru didapat dari seorang gubernur yang beragama Katolik, yaitu Tuan KAJ Orie. Akte untuk tanah dan bangunan gereja yang diberikan berupa sertifikat tanah R.V.O. no. 476 tertanggal 12 Juli 1940.

Pekerjaan di ladang yang baru itupun dimulai ......

Gedung Gereja Santo Petrus Purwosari telah berdiri sejak tahun 1940, tetapi secara administratif peresmiannya dilakukan pada tanggal 29 Juni 1942. Mulai saat itu Paroki Santo Petrus Purwosari resmi berdiri secara mandiri dan terpisah dari Paroki St. Antonius Purbayan. Para gembala pertama yang dipercaya memimpin paroki baru ini adalah Pater N. Havenman, MSF sebagai Romo kepala, Pater Chr. Hendriks, MSF dan Pater F. Iven, MSF sebagai Romo pembantu.

Sebelum pembangunan Gereja Santo Petrus, telah diadakan pembicaraan tentang pembagian wilayah antara Paroki Purbayan dan Paroki Purwosari oleh Mgr. P. Willekens, SJ dan Pater A. Elfrink, MSF. Daerah yang secara administratif masuk Paroki Purwosari adalah daerah kota yang sekarang terletak disebelah barat Jl. Honggowongso dan Jl. Gajah Mada. Pembatasan diteruskan ke utara sampai Kali Pepe di Srambatan, Tirtonadi sampai ke Komplang. Pembatasan itu bergerak ke selatan sampai Tipes. Selain wilayah itu, Stasi yang masih menjadi bagian Paroki Purwosari adalah Mancasan, Kartasura, Gemolong, Simo dan Boyolali.

Pada masa penjajahan Jepang, Pater yang melayani Paroki Purwosari silih berganti, baik dari para Pater MSF sendiri maupun dari para Pater SJ. Pada tahun 1945 datanglah Romo P. Adisudjono MSF, yang menyelesaikan studinya di Belanda. Ia juga Romo MSF pribumi yang pertama.

Pemekaran Paroki Purwosari terjadi pada tanggal 22 Agustus 1961, yakni diberkatinya Gereja Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria Boyolali oleh Vikaris Apostolik Semarang, Mgr. A. Soegijapranata, SJ.

Pembinaan umat semakin intensif dilakukan oleh Romo P. Beyloos, MSF mulai tahun 1962. Paroki dibagi menjadi 12 wilayah dan setiap wilayah dipimpin oleh seorang pamong. Pada waktu itu, dilakukan sensus umat untuk yang pertama kali dan tercatat 1.291 orang.

Wilayah teritorial Paroki Purwosari meliputi Kecamatan Laweyan dan setengah Kecamatan Banjarsari (wilayah Kotamadya Surakarta) dan wilayah Kecamatan Grogol (wilayah Kabupaten Sukoharjo).

Karena perkembangan umat yang cukup pesat dan daerah teritorial paroki yang luas, awal tahun 1980, Romo Bratasantosa, MSF merintis pengembangan paroki baru, yaitu Paroki Kleco. Tanggal 9 September 1985 secara resmi Paroki Kleco lepas dari Paroki Purwosari menjadi paroki sendiri dan mengambil nama pelindung Santo Paulus. Romo Paroki yang pertama adalah Romo Th. Widagdo, MSF.

Setahun kemudian, Romo FA. Widiantara, MSF melakukan peletakan batu pertama pembangun-an Kapel di Wilayah Cemani. Kapel ini dibangun untuk menampung umat Katolik di Cemani yang bertambah karena tumbuhnya pemukiman baru di sekitar PT Batik Keris dan PT Dan Liris. Bulan September 1988, bangunan kapel itu diresmikan secara simbolis oleh Gubernur Jawa Tengah : H.M. Ismail. Dan secara khusus, pada tanggal 15 September 1990, bangunan kapel diresmikan oleh Uskup Agung Semarang yang diwakili oleh Romo Vikaris Jenderal, Romo J. Hadiwikarta, Pr. Dengan mengambil nama pelindung Gereja Santo Yusuf. Pemberkatan itu dihadiri umat Katolik Cemani, para pejabat desa, kecamatan dan kabupaten Sukoharjo.

Pada tahun 2001 Romo Kepala dijabat oleh Romo FX. Dwinugraha Sulistya, MSF, muncul sebuah ide untuk memperluas bangunan di belakang gereja. Dibangunnya gedung panti paroki dengan tujuan untuk menyediakan sarana dan prasarana yang representatif untuk kegiatan umat Purwosari. Peletakan batu pertama dilaksanakan tanggal 15 Mei 2001 yang dilakukan oleh Bapak Uskup Agung Semarang, Mgr. Ignatius Suharyo. Dalam waktu kira-kira setahun, Panti Paroki itu telah dapat diselesaikan. Pada tanggal 22 Juni 2002, Panti Paroki diresmikan oleh Mgr. Ignatius Suharyo dengan nama Wisma Dwi Dharma.

Setelah sekitar 64 tahun karya misi dan Pastoral terlaksana di Paroki Santo Petrus Purwosari, sampai akhir tahun 2005, jumlah umat mencapai lebih kurang 6.750 orang.




Sumber : http://historiadomus.multiply.com/journal/item/47?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
Gambar : http://www.parokiku.org/content/gereja-katolik-st-petrus-purwosari-surakarta

Friday, March 9, 2012

Sejarah Paroki Regina Caeli Pantai Indah Kapuk

Ketika hendak membentangkan sejarah Gereja Regina Celi, Pantai Indah Kapuk, benang merahnya tidak bisa tidak harus ditarik dari sejarah dan perkembangan Paroki Stella Maris, Pluit yang tahun depan akan memasuki usia 30 tahun. Data statistik pertumbuhan umat menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun jumlah umat Paroki Stella Maris, Pluit terus meningkat. Perkembangan tersebut tidak hanya nampak pada angka-angka (kuantitas belaka) tetapi juga para aktivitas iman umat yang luar biasa. Indikatornya, Gereja hampir selalu penuh pada setiap perayaan ekaristi, padahal misa hari sabtu dan minggu diadakan enam kali. Kegiatan seksi-seksi dan kelompok-kelompok kategorial juga begitu padat. Komplek Gereja ini tiada sepinya dari hari ke hari karena ada begitu banyak komunitas yang mengadakan berbagai kegiatan disini. Tidak hanya itu, beragam pula pelayanan sosial kemanusiaan yang diberikan oleh umat paroki ini kepada masyarakat sekitarnya.

Perkembangan yang demikian pesat itu tidak terjadi begitu saja. Hal ini dapat ditelusuri dalam sejarah perjalanannya. Komunitas umat beriman yang kini kita kenal sebagai Paroki Stella Maris berawal dari tahun 1964 pada masa kegembalaan Mgr. Adrianus Djajasepoetra SJ (kini alm) sebagai Uskup Agung Jakarta saat itu. Sang Gembala secara resmi mengeluarkan Surat Kuasa Pembentukan Yayasan Pengurus Gereja dan Dana Papa R.K. Gereja Djembatan Tiga Djakarta, pada 11 Pebruari 1964. dibawah registrasi No. 55/b5-2/64, Surat Kuasa ini mengangkat Pastor Fransiskus Indrakarjana SJ sebagai ketua merangkap bendahara Yayasan, didampingi Pastor Marinus Oei Goan Tjiang SJ sebagai sekretaris, dan Todo Taddeus serta Raden Nikolaus Subandirahardjo sebagai anggota. Akte bawah tangan ini, yang ditandatangani sendiri oleh Mgr Djajasepoetra, memberikan kuasa kepada pengurus untuk mulai mengembangkan umat dan Gereja di wilayah ini sambil mengelola dana papa secara tepat.

Tahun itu juga berdiri sebuah Gereja baru di Jl. Jembatan III No. 15 dengan nama Gereja Sang Penebus. Mgr Djajasepoetra yang meresmikan Gereja itu mengangkat Pastor Karl Staudinger SJ � Imam kelahiran Linz, Australia sebagai kepala paroki pertama. Misionaris ini melayani Paroki Sang Penebus hingga tahun 1974. Pastor Karl kemudian diganti oleh Pastor Marto Sudjito SJ yang menjadi pastor Yesuit terakhir memegang paroki ini hingga tahun 1975.

Pelayanan Imam-imam Xaverian

Lalu, sekitar Juni 1974, Mgr. Leo Soekoto SJ mengajak Serikat Xaverian (SX) yang pada saat itu berkarya di Padang � Sumatera Barat untuk menggembalakan umat Paroki Sang Penebus. Setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 6 April 1975, tongkat estafet itu akhirnya diserahkan oleh Ordo Yesuit kepada imam-imam SX. Serikat Xaverian mengutus Pastor Vincenzo Salis SX sebagai kepala paroki pertama dan dibantu oleh Pastor Angelo Cappannini SX.

Baru sebulan tongkat estafet itu berjalan, Badan Pelaksana Otorita DKI meminta paroki memindahkan gereja karena lokasi tersebut terkena perluasan gardu induk PLN dan pelebaran jalan. Sebagai gantinya, paroki diberikan sebidang tanah seluas 4.704 m2 di daerah Teluk Gong. Lokasi pengganti ini ternyata tidak terlalu strategis dan rawan banjir. Itulah sebabnya dewan paroki sepakat membangun gereja baru di daerah Pluit, tentunya atas persetujuan Uskup.

Pada tanggal 22 Agustus 1975, terbentuklah Panitia Pembangunan Gereja untuk mempersiapkan gedung baru. Peletakan batu pertama untuk pembangunannya berlangsung 27 Juni 1976 diatas tanah seluas 2.775 m2 dengan nama baru, Gereja Stella Maris. Nama Stella Maris (Bintang Laut) � salah satu gelar Bunda Maria � dipilih dimaksudkan agar Bunda Maria sendiri menjadi bintang penunjuk jalan bagi setiap umat beriman. Pembangunan gereja tersebut berjalan lancar dan akhirnya diresmikan oleh Mgr. Leo Soekoto pada tanggal 31 Juli 1977. Hari inilah yang dikenang sebagai hari lahirnya Gereja Stella Maris.

Pertumbuhan Umat

Perkembangan selanjutnya menunjukkan hasil yang menggembirakan pertumbuhan umat meningkat cukup berarti. Tercatat jumlah umat pada tahun 1980 sudah 1000 KK atau sekitar 4.000 jiwa yang tersebar dalam 27 lingkungan dan enam wilayah. Jumlah ini terus bertambah; hingga pada tahun 1982 tercatat 1.385 KK atau 4.846 jiwa dan pada akhir tahun 1984 jumlah itu bertambah lagi menjadi 1.557 KK atau 5.782 jiwa yang tersebar di 32 lingkungan dan enam wilayah. Perkembangan yang menggembirakan ini tidak terlepas dari peran pastor-pastor Xaverian. Salah satu pastor yang paling lama dan berkesan dihati umat adalah Pastor Ermanno Santandrea SX yang berkarya di sana sejak 15 April 1980 hingga tahun 1994.

Pada masa pastoralnya, Pastor Santandrea telah membangun sarana dan prasarana yang dapat kita saksikan sekarang ini. Antara lain realisasi pembelian sebidang tanah seluas 600m2 untuk pembangunan Rumah Mini bagi orang-orang yang tidak mempunyai tempat tinggal. Proyek Rumah Mini ini diresmikan pada atnggal 16 Juli 1983 oleh Mgr. Leo Soekoto. Tahap berikutnya paroki juga mencanangkan pembangunan Rumah Mini tahap kedua yang dikhususkan untuk panti jompo. Seiring dengan kebutuhan umat pada tanggal 3 April 1984, Paroki Stella Maris giat membangun Gedung Sekolah TK dan SD Stella Maris di Teluk Gong. Peresmiannya berlangsung pada 3 Juni 1985. kemudian disusul pembangunan gedung SLTP dan SMU Stella Maris. Seluruh pengelolaan sekolah ini kemudian dilepaskan ketika Stasi Teluk Gong berdiri sendiri sebagai paroki.

Berkat semangat Pastor Santandrea dan keterlibatan umat yang cukup besar, paroki ini terus berkembang. Seksi Sosial Paroki yang menjadi tulang punggung penggerak kegiatan social gereja Stella Maris semakin mengepakkan sayapnya dengan berbagai rencana pengembangan hidup ekonomi umat melalui bantuan-bantuan dana antara lain berupa beasiswa penuh untuk anak-anak tidak mampu, bantuan untuk fakir miskin, bantuan karitatif lain termasuk sumbangan kebakaran. Sekedar catatan, di era itu setidaknya telah terjadi dua kali umat mengalami musibah kebakaran yaiu di Muara Baru � Luar Batang pada tanggal 11 mei 1981 dan kelurahan Penjaringan pada tanggal 30 Juni 1984. Musibah ini menimpa banyak warga katolik lingkungan Santo Yosef Wilayah III.

Dalam kehidupan beriman, sisi mutu dan jumlah umat berjalan seiring. Jumlah wilayah bertambah dari enam wilayah pada tahun 1984 menjadi delapan Paroki wilayah pada tahun 1985 dengan 34 lingkungan dimana tersebar 1.648 KK atau 5.887 jiwa.

Aktivitas rohani di lingkungan juga semakin hidup muali dari latihan koor, pendalaman iman, sharing kitab suci, doa rosario, misa lingkungan dan lain-lain. Dengan banyaknya kegiatan lingkungan, wilayah-wilayah itu pun membutuhkan gedung tersendiri untuk berbagai kegiatan mereka. Maka, tidak heran dalam perkembangan selanjutnya hampir semua wilayah mempunyai gedung pertemuan masing-masing. Pada tahun 1988 kedelapan wilayah itu memiliki 42 lingkungan dengan jumlah umat 2.076 KK atau 6.764 jiwa.

Dalam sebuah rapat Dewan Inti, Pebruari 1989 disepakati pembelian sebuah rumah di depan gereja Stella Maris dengan luas tanah 810m2. Gedung ini dipakai untuk pastoran. Saat ini, gedung tersebut telah beralih fungsi menjadi Gedung Pastoral.

Beralih ke Tarekat MSC

Era pelayanan Pastor Santandrea dengan delan imam SX dating silih berganti sebagai pastor pembantu pun berakhir. Pada 2 Januari 1994 Serikat Xaverian secara resmi menarik diri dari karya pastoral di Paroki Stella Maris. Penarikan diri ini setelah menjalani masa transisi pastoral yang dipegang oleh Pastor Philipus Indra Pr, Pastor Alex Dirdjo SJ, dan Pastor Petrus Mclaughin OMI. Sejak itu pula pelayanan pastoral paroki diserahterimakan kepada tarekat MSC. Pastor Lambertus Somar MSC, yang kala itu baru saja menyelesaikan karya pastoral selama 10 tahun di kepulauan Fiji, Pasifik Selatan, ditunjuk oleh Tarekat MSC menjadi Pastor Kepala di paroki ini. Pastor Somar dibantu oleh Pastor Firmus Batlyol MSC yang berkarya di paroki ini sejak September 1995.

Kehadiran MSC dengan semangat (spiritualitas) Cinta Hati Kudus Yesus-nya semakin mewarnai kehidupan iman dan devosi umat paroki ini. Masa-masa awal pelayanan MSC di paroki ini ditandai dengan sebuah upacara pentahbisan imamat Fr. Antonius Dwi Rahadi MSC dan pentahbisan Fr. Y. Wahyu Hersanto MSC pada tanggal 17 April 1996 di Gereja Stella Maris. Perayaan pentahbisan yang pertama kali dalam sejarah umat paroki Stella Maris dipimpin oleh Uskup Amboina Mgr. Andreas Sol MSC dengan dihadiri puluhan konfrater MSC. Perayaan ini disambut sangat antusias oleh umat sampai harus mengikuti misa melalui TV karena jumlah umat yang tak tertampung lagi.

Pastor Firmus pada 20 Juli 1997 kemudian diangkat menjadi Kepala Paroki menggantikan Pastor Somar. Penggantian tersebut melalui Surat Keputusan Uskup Agung Jakarta Kardinal Julius Darmaatmadja SJ. Dalam keputusan tersebut sekaligus menunjuk Pastor Somar sebagai pastor pembantu di paroki ini.

Pada tanggal 1 Juni 1997, Tarekat MSC mengutus Pastor Aloysius Ho Tombokan MSC untuk ikut memperkuat tim pelayanan pastoral di paroki ini. Lalu pada tahun 2003 Pastor Firmus selaku kepala paroki digantikan oleh Pastor Matheus Yatno Yuwono MSC. Pelayanan Pastor Yatno tidak berlangsung lama, karena oleh tarekatnya Pastor Yatno pada tahun 2005 dipercayakan menjadi Superior MSC Daerah Jakarta. Maka sebagai penggantinya diangkatlah Pastor J.S. Sukmana MSC yang menggembalakan umat Pluit hingga sekarang in. pastor Sukmono dibantu oleh Pastor Jan Van de Made MSC dan Pastor John Lefteuw MSC.

Amat terasa bahwa perkembangan Paroki Stella Maris hingga kini sungguh pesat. Saat ini jumlah KK telah mencapai sekitar 2500 atau lebih dari 8400 orang umat. Pertumbuhan yang demikian pesat itu di satu sisi memang menjadi kebanggan paroki ini, tapi serentak juga muncul �masalah� terbatasnya sarana ibadah. Gereja yang dulu mungkin cukup memadai sekarang terasa sempit. Kenyamanan dan kekusukan berdoa menjadi terganggu, karena tidak tersedianya tempat duduk yang cukup. Bahkan pada perayaan-perayaan besar seperti Paskah dan Natal sebagian umat �terpaksa� mengikuti misa bukan saja lewat monitor besar di aula tetapi juga melalui monitor televise yang tersebar dihalaman Gereja. Mengatasi masalah ini tidaklah mudah seperti membalikkan tangan. Membangun gereja baru? Itu juga bukan perkara gampang Gereja Regina Caeli pun Lahir.

Dalam keadaan demikian Tuhan tidak berpangku tangan. Ia mendengar dan mengabulkan kerinduan hati umatnya dengan cara yang tak terduga. Itulah babak selanjutnya perjalanan paroki ini yakni dengan dibangunnya gereja baru yang bisa menampung kurang-lebih 1000 umat di kompleks Pantai Indah Kapuk, Wilayah VII.

Kisah lahirnya Gereja Regina caeli ini terbilang unik dan penuh misteri. Sejak tersedianya lokasi (tanah), proses perizinan hingga pengumpulan dana pembangunannya penuh dengan kejutan. Bahkan seringkali tak terduga sama sekali. Soal lahan (tanah) pembangunan gereja seluas 6.868 m2 misalnya, diberikan secara Cuma-Cuma (hibah murni) oleh Developer PT Mandara Permai kepada umat Paroki Stella Maris. Kalau harus membeli sendiri tanah seluas itu yang terletak di lokasi strategis pula, bisa dibayangkan berapa miliar rupiah harus disiapkan oleh paroki ini. Begitulah Tuhan berkarya.

Proses awal sebelum tanah ini dihibah pun bermula dari hal kecil dan sederhana. F.X. Subianto, salah seorang umat Paroki Pluit di lingkungan tempat tinggalnya Pinisi Permai, Pantai Indah Kapuk dipercaya oleh warga oleh warga sebagai ketua RT. Sebagai ketua RT 06 pada tanggal 10 Juni Tahun 2000, ia diundang rapat oleh Lurah Kapuk Muara dan Manajemen PT. Mandara Permai. Rapat tersebut antara lain dihadiri pula Ir. Budi Nurwono selaku Direktur Utama PT. Mandara Permai dan Ir. Wijaya Samsir selaku Kabag Perencanaan. Pada saat istirahat sekitar pukul 12.00, Subianto, Wijaya dan Budi yang sudah lama saling kenal bersenda gurau.

Dalam buku harian subianto tercatat rekam gurauan mereka siang itu. Dengan nada bercanda Subianto menanyakan fasilitas rumah ibadat (gereja) di kompleks perumahan Pantai Indah Kapuk yang belum tersedia. Pertanyaan bernada bercanda itu ternyata mendapat tanggapan positif dari Budi Nurwono. Singkat cerita tanah bisa dihibahkan asal gereja mampu membangun gedung yang bagus agar sejalan dengan rumah-rumah di sekitarnya.

Starting Point

Tak dinyana, bincang-bincang lepas itu ternyata menjadi momentum untuk starting point sebuah karya besar umat Paroki Stella Maris pada hari-hari selanjutnya. Akankah hal ini menjadi solusi untuk kesulitan paroki selama bertahun-tahun? Optimisme tentu ada meski masih samara-samar, masih ada keraguan. Apakah pihak pengembang benar-benar akan menghibahkan Dewan tanahnya kepada gereja? Kalaupun benar apakah luasnya cukup untuk membangun gereja dan fasilitas-fasilitasnya? Kalau pun tanah tersebut tersedia, apakah paroki dan keuskupan akan mendukung? Pertanyaan lain, darimana sumber dana pembangunannya nanti? Bagaimana pula dengan perizinan, dan masih banyak pertanyaan lain yang menguatkan keraguan.

Namun perkembangan selanjutnya amat menggembirakan. Satu per satu pertanyaan itu terjawab, dan seringkali jawabannya mengejutkan dan tak terduga. Dalam dialog dengan pihak pengembang, tanah yang diberikan cukup memadai seluas 6868m2. cukup untuk membangun gereja, pastoran, aula dan lahan parkir.

Mendengar informasi tersebut, Pastor Kepala Paroki Pluit, saat itu P. Firmus Batlyol MSC pun sangat antusias. Dukungan yang sama juga datang dari Pastor Lambertus Somar MSC. Selanjutnya berbagai langkah formal dilakukan. Yang pertama dilakukan yakni mengurus permohonan resmi kepada manajemen PT. Mandara Permai yang berisi antara lain keseriusan paroki Stella Maris menerima hibah tersebut termasuk bersedia untuk membangun gereja di lokasi tersebut. Kedua, mengajukan surat permohonan minta persetujuan dari bapak Uskup Agung Jakarta, Mgr. Julius Kardinal Darmaatmadja, Sj. Tanpa hambatan berarti berbagai proses berjalan lancar. Bahkan, Kardinal berpendapat agar dalam surat menyurat, Pantai Indah Kapuk menjadi Paroki baru, dengan susunan anggota sementara dijabat oleh Dewan Paroki Stella Maris. Hal ini dimaksudkan agar di kemudian hari bila Pantai Indah Kapuk sudah siap menjadi paroki baru, maka tidak perlu lagi mengurus surat-surat yang selain merepotkan juga tentu membutuhkan dana lagi.

Pastor John Lefteuw MSC yang diminta mencarikan nama pelindung bagi Gereja baru ini memilih Regina Caeli atau �Ratu Surgawi�. Ini salah satu gelar Bunda Maria. Demi keabsahan rencana pembangunan gereja ini, Bapak Kardinal telah menerbitkan surat-surat antara lain :

* Surat Pernyataan Berdirinya Pengurus Gereja dan Dana Papa Roma Katolik Gereja Regina Caeli-Pantai Indah Kapuk -Jakarta Utara. Surat tersebut bernomor "0042/3.25.2/2004" tanggal 3 Februari 2004.

* Surat Susunan Anggota Pengurus Gereja dan Dana Papa Roma Katolik Regina Caeli-Pantai Indah Kapuk-Jakarta Utara. Surat ini berlaku mulai tanggal 3 Februari 2004 sampai dengan tanggal 27 Januari 2005.

* Surat kuasa No.0043/3/4/42004-Surat yang member kuasa kepada pastor Matheus Yatno Yuwono, MSC (menggantikan P. Firmus Batlyol MSC) selaku pastor kepala Paroki dan Ketua Dewan Paroki � untuk bertindak atas nama Keuskupan Agung Jakarta, membuat dan manandatangani Akte Notaris pernyataan pendirian Pengurus Gereja dan Dana Papa Roma Katolik Gereja Regina Caeli, Pantai Indah Kapuk.

Berdasarkan surat-surat tersebut dibuatlah Akte Notaris Pendirian PGDP/Gereja Regina Caeli � Pantai Indah Kapuk. Akte Notaris tersebut tertanggal 1 Maret 2004 No.1 yang dibuat di hadapan Notaris Milly Karmila Sareal, SH.

Permohonan IMB Gereja Regina Caeli diajukan pada pertengahan tahun 2002 dan diterbitkan pada Desember tahun 2003 Surat Izin Mendirikan Bangunan berdasarkan keputusan Gubernur :00366/IMB/2004. Pada tanggal 15 Pebruari 2004, dengan bantuan umat Stella Maris dan para donator, peletakan batu pertama dan tiang pancang dapat dilakukan dengan � tak lupa � mensyukuri dalam suatu perayaan ekaristi. Setelah dibangun selama 2 tahun maka tanggal 11 Juni 2006 Gereja Regina Caeli diresmikan.

Setelah gereja diresmikan dibentuklah Pengelola Sementara Gereja Regina Caeli yang diketuai F.X. Subianto, selaku wakil dari Dewan Paroki Pluit yang ditugasi sebagai pelaksana pengelola Gereja Regina Caeli. Tugas Pengelola sementara ini berakhir pada saat terbentuknya Dewan Stasi Pantai Indah Kapuk.

Stasi Regina Caeli Menuju Paroki

Pada tanggal 17 Januari 2007, atas inisiatif Romo Andreas Gunawan MSC selaku Pastor kepala Paroki Stella Maris, diadakan pemilihan Dewan Stasi Pantai Indah Kapuk, Gereja Regina Caeli di Ruang Serba Guna Regina Caeli. Hadir dalam pemilihan itu seluruh pengurus wilayah dan lingkungan di wilayah VII Maximillian Kolbe � Pantai Indah Kapuk. Pada pertemuan tersebut, Rm. Joseph Santoso MSC mewakili Romo Andreas menyampaikan pengarahan tentang Stasi. Setelah pengarahan, seluruh lingkungan sepakat segera membentuk stasi. Saat itu juga dilakukan pemilihan 9 anggota Dewan Stasi.

Pada 7 Februari 2007 diresmikan Stasi Pantai Indah Kapuk dari sebelumnya wilayah VII Paroki Stella Maris sekaligus pengesahan Dewan Stasi. Susunan lengkap dewan Stasi adalah sebagai berikut Romo Joseph Santoso MSC (Pastor Stasi), marius Muliady Wijaya (Ketua), A. Chandra Budiman (Wakil Ketua), Johanes Hasjim (Sekretaris I), F.X. Iwan Siauw (Sekretaris II), Yahya Zakaria (Bendahara I), Reinard Djoemingin (Bendahara II), Monica Lie Gwat (anggota), Joseph Haryanto Chandra (anggota), Gilbertus Jelly Lim (anggota). Empat hari setelahny, pada 11 Februari 2007, dalam Misa Kudus yang dipersembahkan oleh Rm. Jan Van de made MSC, Dewan Stasi Pantai Indah Kapuk dilantik dan bertugas secara resmi. Mereka dilantik oleh Romo Jan mewakili Pastor kepala Paroki Romo Andreas. Ikut dilantik para kerua seksi, kepala bagian Rumah tangga dan ketua Prodiakon.

Stasi Regina Caeli terdiri dari dua wilayah (wilayah I St. Hieronimus dan wilayah II St. Maximillian Kolbe). Wilayah I terdiri dari 3 lingkungan (lingkungan Sta. Melania, lingkungan St. Markus, lingkungan St. Nicholas) dan wilayah II terdiri dari 6 lingkungan (lingkungan St. Dionisius, lingkungan Sta. Birgitta, lingkungan Sta. Lucia, lingkungan St. Dominikus, lingkungan St. Alfonsus Maria de liquor dan lingkungan Albertus Magnus).

Antusianisme umat begitu terasa untuk menghidupi dan mengaktifkan gereja dan stasi yang baru ini. Mulai tumbuh dan berkembang bermacam-macam kegiatan dan kelas-kelas sebagaimana lazimnya di paroki : Bina Iman Anak, Bina Iman Remaja, Mudika, Kelas Katekumen. Kendati di sana-sini masih ada kekurangan-kekurangan terlebih ruangan dan tenaga pelayan. Tetapi itu tidak menyurutkan langkah Umat Stasi ReginaCaeli.

Pada tanggal 1 September 2007, bapak Uskup mengeluarkan SK yang menunjuk Romo Felix Supranto SS.CC melanjutkan karya Romo Joseph Santoso MSC sebagai Pastor Stasi. Akhirnya setelah berjalan selama setahun datanglah rahmat besar itu. Dalam rapat Dewan Stasi Harian pada tanggal 27 Oktober 2007, Romo Andreas Gunawan MSC menyampaikan secara resmi berita dari Vikjen KAJ Rm. Yohanes Subagyo Pr, bahwa pada bulan Januari 2007 Stasi Regina Caeli akan diresmikan sebagai Paroki Pantai Indah Kapuk Gereja Regina Caeli.

Persiapan-persiapan dan rapat-rapat intensif digelar guna menyambut hari besar itu. Termasuk diantaranya pemilihan Dewan Paroki Harian dan ketua-ketua lingkungan untuk periode 2008-2010. Akhirnya pada 20 Januari 2007 Stasi Regina Caeli diresmikan menjadi Paroki Pantai Indah Kapuk Gereja Regina Caeli. Inilah paroki ke-60 dalam keuskupan Agung Jakarta.

Arsitektur Regina Caeli

GEREJA �KAPAL� YANG MENZAMAN

Gereja Katolik yang secara umum sering menggambarkan bergaya klasik kali ini tampil dalam desain modern. (IDEA, 47/IV/2007, hm.112). bila dipandang dari jauh, Gereja Regina Caeli nampak seperti kapal yang sedang berlayar menuju suatu pelabuhan dengan nahkodanya adalah salib Yesus. Semakin dekat mata memandang keunikan dan kekhasannya semakin terasa pula. Walaupun material yang digunakan sederhana, gereja ini ramah lingkungan dan bahkan menyatu dengan sejuknya hutan bakau yang terbentang di pinggir pantai. Menatap dari dekat, gereja ini seperti rumah panggung raksasa. Dibawahnya ada �kolong� (basement untuk lokasi parkir) yang di sana sini berdiri tiang yang kokoh menyangga bangunan Gereja Regina Caeli. Untuk masuk ke dalam gereja, umat melewati tangga yang cukup lebar dan cukup landai. Tersedia juga akses untuk umat yang menggunakan kursi roda. Didepan pintu masuk gereja terdapat dua kolam disisi kiri dan kanan, yang menambah suasana alami.

Begitu masuk pintu gereja, mata langsung tertuju ke altar; sementara di dinding sisi kiri-kanan gereja, terpampang empat belas pahatan tembaga perhentian jalan salib. Sebelum gereja ini dibangun memang ada pertimbangan mendasar. Pertama, pertimbangan luas lahan. Gereja dibangun di atas tan ah seluas 6.868 m2 dengan kapasitas kurang lebih 1000 orang umat. Kedua, lokasi gereja ini terletak dibatas perumahan Pantai Indah Kapuk dengan latar belakang hutan bakau. Ketiga, perubahan persepsi dan penilaian terhadap berbagai hal termasuk dalam hal keagamaan yang terus berkembang.

Menyatu dengan Alam

Atas dasar pertimbangan itulah, Ir. Sardjono Sani, M. Arch. merancang bangunan Gereja Regina Caeli. Dinding di belakang altar sengaja tidak ditutup dengan tembok, tetapi menggunakan kaca transparan, sehingga rimbunnya kehijauan hutan bakau menjadi bagian yang menyatu dengan gereja.

Menurut Sardjono Sani, sang arsitek gereja ini, hal tersebut sebetulnya untuk memberi suatu dimensi baru terhadap persepsi ujud yang namanya Gereja. Desain gereja yang kita kenal selama ini menurutnya desain lama yang sudah dipakai dalam kurun waktu yang panjang. Padahal, zaman telah berubah. Semua perubahan mengenai persepsi ini diakomodasikan dalam desain gereja ini agar lebih mengapresiasi kekinian. Tembok di belakang gereja dibiarkan transparan supaya menyatu dengan asrinya hutan bakau yang ada di belakangnya. Salib Yesus yang berukuran besar dipasang pula pada bagian luar (menara). Dengan begitu Gereja Regina Caeli tampak seperti kapal dengan nahkodanya adalah Salib Yesus. Ini juga menjadi satu petunjuk bahwa estetika interior dan eksterior terpadu menjadi satu, membentuk arsitek yang terbuka. Konsep bangun gereja ini tidak memisahkan antara bagian dalam dengan bagian luarnya.

Altar sebagai Sentral

Kekhasan lain gereja ini adalah ruangan dalam gereja yang sengaja dibuat dengan kesan redup. Lantai, misalnya dipilih warna gelap. Pilihan warna dinding dan plafond pun sengaja tidak terang. Lightingnya dirancang dengan berpusat pada altar dan memberi aksen pada jalan salib. Konsep ini dimaksudkan agar umat yang mengikuti misa tertuju pada satu titik saja yakni altar sebagai sentralnya. Hal lain yang mencolok dari gereja ini ialah ditampilkannya tekstur-tekstur yang berbentuk salib. AC yang berada tepat diatas lorong tengah menuju altar, lampu sumber cahaya dalam ruangan dan side jendela berbentuk salib. Keunikan lainnya adalah tempat air suci yang diletakkan di luar gereja. Sedangkan untuk tempat pengakuan dosa, dibuatkan ruang yang bisa masuk cahaya. Saat mengaku dosa kita tidak menghadap pastor tetapi menghadap ke salib. Itu adalah suatu persepsi, pemaknaan yang juga baru. Banyak harapan terkandung dalam desain Gereja �KAPAL� ini. Intinya perpaduan estetika, desain interior (ruang) dan simbol-simbol katolik yang penuh makna, yang diharapkan dapat menghantar umat Regina Caeli lebih dekat lagi dengan Allah melalui altar dan salib Kristus sebagai sentralnya.

Karena keunikan dan kekhasannya ini, gereja Regina Caeli pernah diliput oleh Metro TV dan beberapa terbitan semacam Atlas Dunia, majalah IDEA, majalah HOME dan pernah pula diliput oleh majalah mingguan TEMPO.

Peta Paroki


Sumber : http://www.reginacaeli.org/

Sejarah Gereja Paroki Maria Assumpta Klaten

1. BENIH AWAL

Pada tahun 1909, Rama Van Lith SJ berkunjung ke SD Ngepos yang merupakan satu-satunya sekolah di Klaten saat itu. Beberapa murid menerima tawaran Rama Van Lith untuk belajar di Muntilan. Mereka itu antara lain Rustam, Ramelan (alm. Rama Josowiharjo, SJ), Mikun, Radjiman, Sutedjo, Sukardja dan lain-lain. Inilah benih-benih awal tumbuhnya Gereja Katolik pribumi di Klaten. Pencarian benih ini dilakukan Rama Van Lith secara rutin pada awal tahun dengan mendatangi SD Ngepos. Sejak itulah dimulai kegiatan katekese dan pewartaan di Klaten. Pelajaran agama dilaksanakan di kediaman Bp. Sutadikrama, Sikenong.

Pada masa itu umat hanya merayakan Ekaristi tiga bulan sekali oleh Rama C. Stiphout SJ dari Ambarawa, didampingi oleh Vitus Saiman, pemuda dari Blateran. Setelah beberapa waktu ada tambahan gembala yaitu Rama H. Van Driessche SJ. Misa kudus saat itu di kediaman seorang Belanda: Tuan Yongenelen di Nurlalen. Kemudian dibangunlah gereja kecil di Kauman yang menampung sekitar 30 orang.

Pada tahun 1920 pelajaran agama pindah dari rumah Bp. Sutadikrama ke rumah Bp. Wignyamarwata, dialah yang kemudian dibaptis dan menjadi guru agama pertama di Klaten. Melihat suburnya benih di Klaten, Rama Van Lith berusaha mendirikan Sekolah HIS (Sekolah Belanda setingkat SD). Setelah melalui proses agak lama akhirnya berdirilah HIS dan tahun 1922 mulai ditempati. Kepala sekolah pertama Tuan Lamers dan tahun 1923 diganti oleh tuan Slabbekoom. Gedung ini kelak menjadi SD Kanisius Sidowayah dan menjadi perintis berdirinya kompleks Gereja Paroki Klaten.

2. DARI STASI KE PAROKI

Status wilayah Klaten sendiri pada awalnya merupakan stasi dari Paroki Ambarawa. Ketika Rama C. Stiphout SJ pindah ke Solo pada tgl 15 Oktober 1918 menjadi Pastor Paroki Purbayan, Klaten pun berubah status menjadi salah satu stasi dari Paroki Solo. Saat itu gembala yang bergantian mengunjungi Klaten yaitu Rama Janssen SJ, Rama Van Driessche SJ dan Rama C. Lucas SJ. Rama Lucas inilah yang pertama kali secara resmi ditunjuk untuk menggembalakan umat Katolik di Stasi K1aten. Umat makin berkembang, maka kemudian dibangunlah sebuah gereja paroki di samping gedung HIS. Gereja ini diberkati pada tanggal 12 Agustus 1922 dengan nama pelindung Beata Maria Virgo a Sacratissimo Sacramento (Perawan Suci Maria dari Sakramen Mahakudus).

Pada tanggal 8 Agustus 1923 Stasi Klaten dinaikkan statusnya menjadi Paroki Klaten, dengan Rama C. Lucas SJ sebagai pastor Paroki pertama hingga 29 Januari 1926. Berhubung daerahnya luas, maka Rama Paroki dibantu oleh katekis-katekis awam antara lain: Bp. RVS. Bratasutedja, Bp. A. Dwidjasubrata, Bp. Atmasumarta, Bp. Tjakraatmadja, Bp. Atmasurip, Bp. Jatmasubagya, Bp. Mangunsuwarna dan Bp. Pudjaatmadja. Karena para katekis ini bertugas di daerah-�daerah yang jauh, maka mereka berangkat bersama dari pastoran naik mobil atau kereta kuda dan diturunkan di daerahnya masing-masing. Pada tahun 1934 Bp. S. Suhardja masuk di Pastoran Klaten dan menjadi tangan kanan Rama J.S. Versteegh SJ merangkap sebagai koster serta kusir Pastoran.

3. PAROKI KLATEN DALAM SEJARAH BANGSA

a. Masa Jepang
Saat Jepang masuk kota Klaten, semua gereja, pastoran dll harus tutup untuk sementara, peralatan penting dipindahkan ke Sikenong, sedang Rama Hagdoren SJ diamankan pemerintah Jepang. Maka semua kegiatan kerohanian dan ibadat menjadi kacau. Oleh karena Paroki K1aten menjadi daerah Keuskupan Semarang (dahulu Vikaris Apostolik) maka Uskup pertama Mgr. A. Soegijapranata SJ terpaksa turun tangan, beliau mendatangi seluruh stasi Klaten dan membangkitkan semangat umat dan untuk menenangkan umat didatangkan pastor Jepang, Koide SJ.

b. Masa Clash ke II
Pada tanggal 19 Desember 1948 meletus clash yang dilancarkan oleh tentara Belanda dan terjadi pendudukan Belanda, maka kekacauan kembali menimpa gereja dan Sekolah Katolik. Karena gereja dan pastoran diduduki tentara Belanda, maka Rama Paroki Klaten terpaksa pindah ke Nglinggi, gereja darurat bertempat di rumah Bp. Hardjasuwita, kebayan Nglinggi. Sedangkan Rama A.P. Poerwadihardja dan Br. Tirtasumarta menempati rumah di sebelah gereja serumah dengan Dr. Letkol Wonojuda. Setelah adanya penyerahan kedaulatan, maka gereja dan Pastoran digunakan seperti sediakala.

c. Masa G30S PKI
Meletusnya gerakan 30 September 1965 berimbas pada umat Katolik di Klaten. Waktu itu Rama Paroki adalah Rama L. Van Woerkens SJ. Pada waktu itu ada desas-desus bahwa gereja akan dibakar, maka umat Katolik membentuk Organisasi Penjaga Gereja dengan nama "Brigade Pengawal Kristus". Pada tanggal 23 Oktober 1965 G 30 S bergerak menebangi pohon di tepi jalan dan situasi makin genting. Oleh karena takut terjadi penculikan rama, maka rama memakai pakaian preman. Masa G30S ber1alu dan umat pun makin berkembang hingga gereja pun terasa kecil, maka setiap hari raya gereja harus dibuka dan ditambahkan tenda serta tempat duduk untuk menampung umat.

4. PERKEMBANGAN SELANJUTNYA

Di bawah perlindungan Bunda Maria Paroki Klaten berkembang pesat, sehingga dalam perjalanannya muncullah putera baru seperti Paroki Wedi pada tahun 1936, Paroki Delanggu pada tahun 1962, Paroki Jombor pada tahun 1971 dan yang terakhir Paroki Kebonarum pada tahun 1998, yang kemudian disusul Paroki Gondang pada tahun 2005 sebagai hasil pemekaran Paroki Wedi.

Pada tahun 1966 dimulailah pembangunan gedung gereja baru. Panitia dibentuk dan pada tanggal 30 Oktober 1967, Bapak Yustinus Kardinal Darmajuwana melakukan pencangkulan pertama menandai pembangunan gereja baru yang dirancang oleh arsitek Rama JB. Mangunwijaya, Pr. Pembangunan ini diawali dengan dibongkarnya gereja lama yang kemudian digunakan untuk membangun gereja Jombor. Oleh Rama Mangun, ada bagian gereja lama tetap dipertahankan hingga kini, yang merupakan kesinambungan gereja lama dan baru.

Pada tanggal 8 Desember 1968 Bapak Uskup Julius Kardinal Darmajuwana berkenan memberkati gedung baru yang memakai nama Pelindung Maria Assumpta. Sejak saat itulah nama Paroki Klaten berganti dari Beata Virgo a Sacratissimo Sacramento menjadi Paroki Santa Maria Assumpta Klaten. Gedung gereja ini pun menjadi fenomena arsitektur sekaligus fenomena ekspressi rohani, sebuah gedung gereja besar yang menampilkan kesederhanaan, keakraban dan serba keterbukaan.

Umat pun makin berkembang jumlahnya. Pada tahun 1988 jumlah umat mencapai � 17.500. Pada tahun 1998 Stasi Kebonarum menjadi Paroki baru, dengan jumlah umat 5.480 jiwa, sehingga Paroki Klaten umatnya berkurang dan tinggal � 12.500.

Sementara itu kualitas iman dan pelayanan ditingkatkan. Pada waktu itu penataan katekis dan pengurus paroki hingga wilayah dan Lingkungan terus dilakukan. Berbagai retret dan rekoleksi umat pun berhasil dilaksanakan, termasuk salah satu program unggulan adalah KKDP (Kunjungan Kekeluargaan Dewan Paroki). Kunjungan ini merupakan sapaan kasih, bukan. kunjungan pendataan apalagi inspeksi mencari umat yang bersalah. Di samping pembinaan umat, berbagai fasilitas pelayanan gereja juga dibenahi, termasuk pembangunan Gedung Panti Paroki dengan dua lantai yang dibangun tahun 1998 dan selesai tahun 2000. Lantai pertama digunakan untuk Sekretariat Pastoran, Sekretariat Dewan, Ruang Rapat dll, sedangkan lantai dua berfungsi sebagai aula serba guna.

Program lain yang dilaksanakan pada periode 2001-�2002 adalah pembuatan jalan lingkar, yang menghubungkan kampung Sidowayah dengan jalan Andaias !ewat samping luar SD Kanisius. Jalan ini menggantikan jalan samping gereja yang secara hukum merupakan bagian halaman gereja bukan jalan umum.

Peristiwa lain yang menunjukkan potensi dan keguyuban umat adalah pertama Peringatan Pesta Intan Paroki Klaten (75 tahun) yang dirayakan dengan Perayaan Ekaristi Agung di lapangan SLTP/ SMK Pangudiluhur tanggal 6 September 1998. Yang kedua adalah Peringatan 80 tahun (10 windu) Paroki Santa Maria Assumpta Klaten yang dibuka pada tanggal10 Agustus 2003. Perayaan ini berangkat selama satu tahun dengan tujuan menggali dan mengembangkan potensi umat yang ada baik dalam bidang rohani dan jasmani, baik dalam bidang sumber daya manusia dan sumber dananya. Peringatan 80 tahun Paroki Klaten ditutup tanggal 15 Agustus 2004 dengan Misa Agung di lapangan SLTP/SMK Pangudi Luhur dengan selebran utama Bp. Uskup Mgr. Ig. Suharyo dan menghadirkan para rama yang pernah berkarya di Paroki Maria Assumpta Klaten, biarawan-biarawati dari Klaten dan seluruh umat se-Paroki Klaten.

Berbagai perkembangan yang mewarnai perjalanan paroki ini pada periode selanjutnya dapat dirasakannya dengan tumbuhnya pemekaran-pemekaran lingkungan dan timbulnya kelompok-kelompok kategorial. Pada tahun 1998 berjumlah 32 lingkungan, tahun 2004 berjumlah 56 lingkungan dan pada akhir tahun 2005 tercatat 59 Iingkungan, sedangkan kelompok kategorial tidak kurang dari 18 kelompok.

Tonggak Sejarah:

1880 - 1907
Karya Misi Romo Jesuit di Jawa Tengah dimulai.

1909
Romo Fransiskus van Lith, SJ datang di Klaten, mencari pemuda-pemuda pribumi untuk diajak belajar di Muntilan.

1915
Romo C. Stiphout dari Ambarawa tiga bulan sekali mengadakan Ibadat Ekaristi di Klaten.

1921
Romo Henricus van Driessche, SJ membangun gereja kecil dengan kapasitas 30 umat di Kauman Klaten.

1920 - 1922
Romo van Lith, SJ mulai mem- bangun sekolah HIS di Klaten ( di area SD Kanisius dan Gereja saat ini ) juga dibangun Standaard School di area lain.

12 Agustus 1922
Romo Frans Starter, SJ memberkati gereja paroki Beata Maria Virgo a Sacratissimo Sacramento, untuk menggantikan gereja di Kauman yang sudah tidak memadai.

1966 - 1968
Setelah selesai pembangun kembali gedung gereja paroki; tanggal 8 Desember 1968 -- gedung gereja baru diberkati oleh Bapa Uskup Justinus Kardinal Darmayuwana dengan pelindung Santa Maria Assumpta.

PAROKI SANTA MARIA ASSUMPTA KLATEN
JL. ANDALAS NO. 24 KLATEN 57413 JAWA-TENGAH INDONESIA

Sumber : http://historiadomus.multiply.com/journal/item/24/011_Sejarah_Gereja_Paroki_Maria_Assumpta_Klaten
http://www.paroki-klaten.org/default.html

Thursday, March 8, 2012

Sejarah Gereja Paroki Santo Yusup Gedangan

Berawal dari Tahun 1808.

Gereja Santo Yusuf atau St. Yoseph atau Gerja Gedangan di Jalan Ronggowarsito merupakan cikal bakal gereja Katolik di Indonesia. Sebelumnya, sekitar tahun 1808, Gubernur Jenderal Deandels yang saat itu menjadi penguasa di Hindia Belanda (Indonesia) mengangkat dua orang imam praja dari Belanda untuk melayani umat Katolik bangsa Eropa di Indonesia. Tepatnya 8 Mei 1807 Prefektur Apostolik Batavia berdiri[2]. Tahun 1808 datang ke Indonesia 2 imam praja dari Belanda. Tanggal 27 Desember 1808, Gubernur General Deandels memutuskan dengan beslit bahwa Pastor Lambertus Prinsen Pr, menjadi pastoor di Semarang. Esoknya, 28 Desember 1808, Pastor Prinsen tiba di Semarang. Sejak itu Semarang menjadi stasi. Wilayahnya meliputi Jateng, Jatim, dam Jabar. Ketika itu, umat Katolik belum memiliki tempat ibadah sendiri dan masih menumpang melakukan ibadah di Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB) Immanuel atau Gereja Blenduk di dekat Taman Srigunting, kawasan (Kota Lama), misa selalu diselenggarakan di gereja Protestan tersebut. Sehubungan dengan itu, pada 29 Januari 1809 dibentuklah suatu �Kerkeraad� (sekarang PGPM). Baru pada tahun 1815, dibangun sebuah Gereja Katolik, yakni Paroki Santo Yusup Semarang (Gereja Gedangan).

Baptisan pertama terjadi pada 9 Maret 1809. Selama tahun 1809 tercatat 14 orang yang dibabtis. Tahun-tahun berikutnya baptisan mengalami perkembangan: tahun 1810 sebanyak 31 orang, tahun 1811 dibaptis 17 orang. Bahkan pada tahun 1812 sebanyak 133 orang dibaptis di beberapa tempat, seperti di Semarang, Salatiga, Klaten, Yogyakarta[3]. Tahun 1813 tercatat ada di Rembang, Jepara, Tegal, Pemalang. Tahun 1815 mulai ada warga katolik yang menyediakan rumahnya untuk misa. Tanggal 7 Agustus 1815 untuk pertama kalinya Misa dapat dilakukan di rumah sendiri. Sejak itu misa dirayakan di rumah warga tersebut. Tahun 1822 Pastoor Prinsen membeli rumah besar. Rumah itu digunakan sebagai gereja dan tingkat atas digunakan untuk pastoran. Tepat 1 Agustus 1824 diselenggarakan pertama kali misa di �gereja� sendiri[4].

Namun, perjalanan Gereja Katolik sempat mengalami hambatan. Selama 1845-1847 semua pastor Belanda di Indonesia diusir, termasuk Uskup Groff, oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Rochussen. Berkat perundingan dengan takhta suci (Vatikan) pada 1848, campur tangan Pemerintah Belanda diperlunak dan Gereja Katolik di Indonesia bisa terus berkembang.

Semenjak kedatangan 2 imam tersebut, selama 50 tahun lebih lamanya imam-imam sekulir dari Belanda bekerja di seluruh Indonesia. Jumlah mereka tidak pernah lebih dari 10, seringnya 3 � 4. Melihat situasi tersebut, Mgr. Vrancken mengundang imam-imam dari tarekat-tarekat. Ordo Jesuit menerima undangan misi tersebut dan tahun 1859 datanglah 2 pastor Jesuit. Mereka ditempatkan di Surabaya. Dalam usaha memiliki gereja sendiri, bulan Oktober 1859 Pastor J. Lijnen Pr, memulai pengumpulan dana[5]. Melihat situasi tersebut, tahun 1860 pemerintah memberi Gereja Misi sebidang tanah.

Di tahun (2 Agustus) 1859 tersebut, bagian tenggara stasi Semarang mulai dipisah. Berdirilah Gereja Ambarawa yang menjangkau wilayah; Ambarawa, Salatiga, Solo, Madiun, Pacitan[6]. Pada tahun 1862 sudah ada Jesuit (Yohannes F van der Hagen, SJ) yang ditempatkan bertugas di Ambarawa dan Yogyakarta. Tahun 1865 stasi kedua dipisahkan dari Semarang. Berdirilah Gereja Yogyakarta dengan wilayah Yogyakarta, Kedu, Bagelen, Banyumas. Tahun 1865 pastoor J. Lijnen Pr pergi ke negeri Belanda untuk mencari tenaga bantuan dan 2 tahun kemudian kembali ke Semarang bersama-sama suster Fransiskanes[7]. Pada awalnya, suster-suster tersebut menangani panti asuhan Gedangan.

Tanggal 1 Oktober 1870, Pastoor J. Lijnen melakukan peletakkan batu pertama guna mengawali pembangunan gedung gereja St. Yusup di atas tanah pemberian pemerintah. Menjelang selesainya pembangunan, bulan Mei 1873 gereja yang sudah setengah jadi tiba-tiba roboh. Selanjutnya dilakukan perbaikan[8]. Tanggal 12 Desember 1875 bangunan gereja tersebut diberkati Pastoor. J. Lijnen. Tahun 1876 sudah ada Jesuit yang ditempatkan bertugas di Semarang untuk membantu pastoor diosesan.

Tanggal 10 Juni 1882 Pastor Lijnen meninggal dunia dan digantikan oleh Pastor J. De Ories SJ. Maka sejak tahun 1882 stasi semarang diserahkan pada paderi-paderi Jesuit. Pastor J. De Ories SJ kemudian ditunjuk sebagai Superior para Jesuit, dengan demikian pusat pimpinan para Jesuit pindah ke Semarang.

Tahun 1888 suster-suster Fransiskanes mendirikan sekolah SD St. Maria di Gedangan. Tahun 1894, 2 orang Protestan, Pak Johanes dan Pak Andreas Martaatmadja, menjadi Katolik[9]. Karena mahir berbahasa Melayu dan Jawa, mereka menjadi guru bahasa antara paderi-paderi Belanda dengan bangsa Jawa. Tak lama kemudian kepala kampung dan beberapa guru Protestan menjadi Katolik. Di Ambarawa, Pati, Kudus, Purwodadi, dsb juga ada orang-orang yang masuk menjadi Katolik. Hingga tahun 1895 di Semarang dan sekitarnya sudah ada 235 orang Katolik. Di tahun 1896 datanglah Pastoor F. Van Lith dan Pastoor Petrus Hoevenaars ke Gedangan. Beberapa lama di Gedangan, Pastoor Van Lith sibuk dengan belajar bahasa Jawa. Mulai 1899 mereka berkarya di Mendut dan Muntilan[10]. Tanggl 22 Desember 1897 berdiri MC atau Konggregasi Maria.

Menginjak Tahun 1900

Tanggal 14 Desember 1903 dipermandikanlah 171 orang pribumi Sendangsono dan Kalibawang oleh Pastoor Van Lith[11]. 21 Juni 1911 datang 4 bruder dari St. Louis untuk mengasuh anak yatim piatu yang laki-laki, mereka adalah bruder-bruder St. Aloysius. Tahun 1911 suster-suster Fransiskanes membuka sekolah baru di Bangkong. 15 Juni 1915 para bruder dan anak laki yatim piatu pindah ke Candi[12]. Tahun 1918 Pastoor Van Lith SJ mendirikan Yayasan Canisius di Muntilan, yang saat itu sudah mengelola 270 sekolah. 30 Oktober 1921 di Bangkong berdiri kapel kompleks susteran. Sejak itu kapel diresmikan dan dibuka sebagai gereja pembantu. Beberapa tahun kemudian bruder-bruder St. Aloysius mengelola/memelihara anak-anak laki yatim piatu di Candi lama.

Tahun 1925 Pastoor Simon Beekman SJ tiba di Gedangan dan mulai berkarya di antara masyarakat Tionghoa[13]. Tahun 1926 membeli tanah dan bangunan di Randusari. Tahun 1927 dibuka menjadi gereja dan pasturan, sedangkan peresmian sebagai gereja ditunda sampai tahun 1930 dilakukan pada tanggal 9 Oktober 1927[14]. Tahun 1928 stasi-stasi pembantu sebelah timur kota Pati dioper oleh Prefektur Surabaya. 4 tahun kemudian stasi-stasi sebelah barat Weleri dioperkan pada Prefektur Purwokerto. Tahun 1928 gereja Bangkong dan stasi-stasi Kudus, Pati, Juana diserahkan kepada para romo MSF[15]. Tahun 1930 didirikan pusat gereja di Kebon Dalem[16]. Tanggal 22 Maret 1931 diresmikan rumah retret di daerah Giri Sonta. Tanggal 23 Januari 1938 datang 6 suster PI ke Semarang. Mulai saat itu, mereka berkarya di Kebon Dalem.

Memasuki Masa Vikariat Apostolik

Tgl 9 Agustus 1940 Jawa Tengah menjadi Vikariat Apostolik dan gereja Randusari diangkat sebagai Katedral[17]. Berikutnya pada 30 September 1940 Mgr. A. Soegijapranata SJ ditahbiskan sebagai uskup. Menimbang situasi yang ada, maka Vikariat Apostolik Semarang sejak 1940 masih menumpang di halaman gereja Gedangan. Tanggal 26 Juli 1942 di Gereja Bintaran ditahbiskan Romo-romo Diosesan Indonesia yang pertama.

Pada masa pendudukan Jepang, gereja Randusari dipelihara oleh seorang pamong Jiwa bangsa Jawa, sedangkan Gedangan dipelihara oleh Uskupnya yang berturut-turut tiap pagi mempersembahkan misa berganti-ganti di gereja Gedangan, Susteran Gedangan, Kebon Dalem, Atmodirono dan Karangpanas. 1954 lahir Ikatan Buruh Pancasila di Gedangan dibawah bimbingan Pater Jan Dijkstra yang menjadi Romo paroki. Selanjutnya muncul juga Serikat Nelayan Pancasila dan Serikat Tani Pancasila.

1956 Kebon Dalem menjadi Gereja yang terpisah dari Gedangan. Tahun 1952 Purwodadi menjadi Gereja yang terpisah, 1954 daerah Weleri dengan gereja St. Martinus menjadi Gereja terpisah dan 1963 Sukorejo dengan gereja St. Isidorus juga mulai terpisah dari Gedangan[18].

Tahun 1950 Pater Jan Van Waijenburg SJ mendirikan sekolah Loyola. Tanggal 20 September 1953 Kolese Loyola diresmikan. Tahun 1953 pula Bruder Haiken mendirikan Kebon Kayu, yang pada tahun 1970 berkembang menjadi PIKA. Pada tahun 1956 Jesuit Indonesia mendapat status Vice Propinsi. Tanggal 8 September 1971 menjadi propinsi penuh.

Setelah tempat memungkinkan, pada 20 Agustus 1961 Mgr. Soegijapranata pindah ke wisma keuskupan. Kemudian pada 3 Januari 1962 Vikariat Apostolik Semarang diputuskan menjadi Keuskupan Agung Semarang.

Thn 1955 Legio Maria mulai dikenal di Semarang berkat Rm Chang Peng Tu Pr. Tahun 1975 muncul kelompok Christian Life Community (CLC, atau KHK, Komunitas Hidup Kristiani) sebagai pembaharuan dari kelompok MC. Tahun 1978 mulai berkembang gerakan kharismatik di Gedangan. Tahun 1980 muncul Persekutuan Karismatik sebagai hasil pembaharuan yang lain dari MC[19]. Mengingat perkembangan umat dan kota Semarang, tahun 1991 Rm Anton Mulder SJ memulai niat untuk membangun gereja di daerah bagian Timur gereja Gedangan. Tanggal 9 Mei 1991 dibentuklah PGPM St. Ignatius. Tahun 1998 PGPM membeli tanah di Banjardowo dengan maksud sebagai lokasi berdirinya gereja. Tanggal 3 Juli 2005 gereja St. Ignatius Banjardowo Semarang diberkati. Meski begitu gereja Banjardowo belum terpisah dan belum menjadi paroki tersendiri.

Pustaka:
[1] Disarikan dari sumber: A. Soegijapranata SJ & C. Sugiri, Satu Setengah Abad Gereja Katolik di Semarang, Gedangan, 1958; Anonim, Konsep Buku Sejarah Gereja Gedangan, sampul biru; Panitia, Buku Kenangan 180 th Paroki St. Yusup Semarang, 1988; Panitia, Sejarah Gereja St. Yusup Gedangan Dalam Rangka Peringatan 125 th Gedung Gereja, Gedangan, 2000; Panitia, Kenang-kenangan 125 th Gereja St. Yusup Semarang Malam Tali Kasih, 2000, kecuali jika ada perbedaan akan diberi keterangan khusus dengan sumber utama yang dipegang adalah buku pertama.
[2] Jacques Veuger MSF, Permulaan Misi MSF di Jawa, Yogyakarta, 1996. Batavia diangkat menjadi Vikariat Apostolik tanggal 20 September 1847.
[3] Sumber, Buku Kenangan 180 th Paroki St. Yusup Semarang, Kenang-kenangan Malam Tali Kasih 125 th Gereja St Yusup.
[4] Dalam Sejarah Gereja St. Yusup Gedangan Dalam Rangka Peringatan 125 th Gedung Gereja, tertulis misa I tanggal 7 Agustus 1822.
[5] Deasy Otavia, Kajian Gaya Arsitektur Gereja St. Yusuf Semarang, Bandung, Skripsi, 2005.
[6] Dalam Konsep Buku Sejarah Gereja Gedangan, sampul biru, tertulis 1862 paroki Ambarawa berdiri (Sementara masa berkarya pastor de Bruijn (1872-1879; 1882-1900) status stasi ditingkatkan menjadi paroki > 1896).
[7] Dalam Sejarah Gereja St. Yusup Gedangan Dalam Rangka Peringatan 125 th Gedung Gereja tertulis Pastor J. Lijnen pergi ke Belanda tahun 1868 dan tanggal 5 Februari 1870 tiba di Semarang 11 suster dipimpin Ibu Alphonse.
[8] Deasy Otavia, Kajian Gaya Arsitektur Gereja St. Yusuf Semarang, Bandung, Skripsi, 2005.
[9] Dalam Sejarah Gereja St. Yusup Gedangan Dalam Rangka Peringatan 125 th Gedung Gereja, dituliskan pada tahun yang sama, 1894 seorang pendeta Protestan yang bekerja di Ambarawa, Mattheus Teffer, ingin menjadi Katolik. Beberapa waktu kemudian ia, beberapa katekis dan beberapa pengikutnya menjadi Katolik.
[10] Dalam Sejarah Gereja St. Yusup Gedangan Dalam Rangka Peringatan 125 th Gedung Gereja ditulis, menjelang Paskah mereka berangkat ke Muntilan. Tahun 1897 Pastoor Van Lith sudah di Muntilan.
[11] Dalam Sejarah Gereja St. Yusup Gedangan Dalam Rangka Peringatan 125 th Gedung Gereja tertulis tahun 1904 terjadi baptisan masal 168 orang di Kalibawang, sedangkan dalam Garis-garis Besar Sejarah Gereja Katolik KAS, tertulis tanggal 14 Desember 1904 dengan jumlah 172.
[12] Dalam Sejarah Gereja St. Yusup Gedangan Dalam Rangka Peringatan 125 th Gedung Gereja, dikatakan 26 September 1915 kompleks panti asuhan dan gereja di Karangpanas selesai berdiri. Gereja dipakai juga sebagai gereja paroki.
[13] Dalam Konsep Buku Sejarah Gereja Gedangan, sampul biru.
[14] Dari buku: Sejarah Gereja St. Yusup Gedangan dalam rangka peringatan 125 th Gedung Gereja dituliskan bahwa peresmian gereja Randusari dilakukan pada tanggal 9 Oktober 1927.
[15] Sumber buku Sejarah Gereja St. Yusup Gedangan dalam rangka peringatan 125 th Gedung Gereja dituliskan th 1932 MSF mulai berkarya di Bangkong, 1934 berkarya di Kudus, Demak, Jepara dan 1956 di Purwodadi dan Gubug.
[16] Dalam Konsep Buku Sejarah Gereja Gedangan, sampul biru, tertulis tahun 1936 kompleks Kebon Dalem dibeli Pastoor Beekman SJ. Buku sumber Sejarah Gereja St. Yusup Gedangan dalam rangka peringatan 125 th Gedung Gereja tertulis, Pastor Beekman tanggal 26 November 1936 membeli kompleks Yayasan Soli Bei di Kebon Dalem untuk Panti Asuhan, Sekolahan, Susteran dan Gereja. Baru tgl 16 Desember 1937 bangunan gereja di resmikan.
[17] Di buku Sejarah Gereja St. Yusup Gedangan dalam rangka peringatan 125 th Gedung Gereja, dikatakan pada tanggal 25 Juni 1940 didirikan Vikariat Apostolik Semarang.
[18] Dalam Konsep Buku Sejarah Gereja Gedangan, sampul biru dan Sejarah Gereja St. Yusup Gedangan dalam rangka peringatan 125 th Gedung Gereja.
[19] Sumber, Sejarah Gereja St. Yusup Gedangan dalam rangka peringatan 125 th Gedung Gereja, 12 Desember 1875 � 12 Desember 2000.
Sumber : http://historiadomus.multiply.com/journal/item/2/001_Sejarah_Gereja_Paroki_Santo_Yusup_Gedangan?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem

Recent Post