Karya misi di Surakarta
Karya misi di Surakarta berkembang dimulai dengan dibangunnya Gereja St. Antonius Purbayan pada bulan Oktober 1905. Bulan November 1916, gedung gereja telah selesai dan diberkati Pater C. Stiphout, SJ. Kemudian beliau diangkat sebagai Romo paroki yang pertama di Surakarta. Beberapa tahun kemudian hadir Pater Strater SJ, Pater Hermanus SJ, Pater J. Jansen SJ, Pater Hoevenaars SJ, Pater A. Van Velsen SJ, Pater Schots SJ, Pater B. Hagdorn SJ. Pada tahun 1922, tercatat jumlah orang Katolik di wilayah dalam kota Surakarta ada 1224 orang. Enam tahun kemudian, pada tahun 1928, jumlah tersebut berkembang pesat. Di dalam kota ada 2660 orang Katolik, di kota Boyolali 132 orang, di Sragen 275 orang, dan di Wonogiri 30 orang.
Para Romo misionaris saat itu harus menempuh perjalanan dari Semarang atau Ambarawa untuk melayani orang-orang Katolik yang ada di Surakarta. Pelayanan itu dilakukan dengan cara yang sering disebut missie-reizen yaitu lawatan misi atau kunjungan berkala oleh seorang misionaris.
Perkembangan umat yang begitu pesat itu dirasa berat bagi para Romo yang berkarya di Surakarta. Waktu itu, baru ada satu gereja yang didirikan untuk melayani umat di Surakarta, yaitu Gereja St. Antonius Purbayan. Gereja itu menjadi sangat kecil untuk menampung umat yang terus bertambah. Bangunan Gereja seringkali tidak muat bagi umat yang ingin mengikuti Perayaan Ekaristi pada hari Minggu, meskipun Perayaan Ekaristi telah diadakan sebanyak empat kali.
Situasi semacam itu menggerakkan hati Mgr. P. Willekens, SJ Vikaris Apostolik Batavia untuk mendirikan gereja dan paroki kedua untuk umat di Surakarta. Pada tahun 1938 Pater Verhaar, SJ yang waktu itu menjadi Romo Paroki St. Antonius Purbayan memberi perhatian pada usaha pendirian gereja tersebut.
Serikat Jesus sejak tahun 1859 yang melayani misi di Hindia Belanda mengalami kesulitan memenuhi tenaga untuk mengelola paroki dan gereja yang baru itu. Mgr. P. Willekens, SJ kemudian mencari tenaga di luar Serikat Jesus. Tawaran itu disampaikan kepada Kongregasi Misionaris Keluarga Kudus (MSF) yang sejak tahun 1926 telah berkarya di Kalimantan bersama dengan Ordo Kapusin. Tawaran itupun disambut baik oleh para anggota kongregasi. Mgr. P. Willekens, SJ kemudian mengadakan pembicaraan dengan superior SJ, Pater J. Van Baal, SJ dan Superior MSF, Pater A. Elfrink, MSF.
Para pater MSF pun mulai berdatangan, yaitu Pater H. Van Thiel, MSF, Pater A. Elfrink, MSF, dan Pater Chr. Hendriks, MSF. Mereka menempati rumah yang ditempati oleh para Pater SJ di Purbayan. Dari ketiga Romo itu, yang dipercaya untuk mengurus persiapan dan pelaksanaan pembangunan gereja adalah Pater A. Elfrink MSF.
Gereja Santo Petrus Purwosari Surakarta.
Ketika para pater MSF telah datang di Surakarta, para pater SJ mulai mencari tanah yang dapat dipakai untuk mendirikan bangunan gereja yang baru. Mereka mencari tanah di bagian barat kota Surakarta. Dibelilah sebidang tanah yang terletak di kampung Gendengan. Tanah itu terletak di sebelah timur perempatan jalan Purwosari (sekarang perempatan itu disebut perempatan Gendengan) yang dilingkupi oleh tiga jalan, yaitu : Jl. Dr. Muwardi, Jl. Dr. Wahidin dan Jl. Slamet Riyadi.
Peletakan batu pertama pembangunan Gereja dilakukan pada hari Jumat, 16 September 1938. Pembangunan gereja seluruhnya memakan waktu kurang lebih 20 bulan. Pemberkatan gereja dilakukan pada hari pesta Santo Petrus dan Paulus, hari Sabtu 29 Juni 1940 oleh Mgr. P. Willekens SJ, Pater A. Elfrink MSF, Pater N. Havenman MSF. Izin bangunan gereja baru didapat dari seorang gubernur yang beragama Katolik, yaitu Tuan KAJ Orie. Akte untuk tanah dan bangunan gereja yang diberikan berupa sertifikat tanah R.V.O. no. 476 tertanggal 12 Juli 1940.
Pekerjaan di ladang yang baru itupun dimulai ......
Gedung Gereja Santo Petrus Purwosari telah berdiri sejak tahun 1940, tetapi secara administratif peresmiannya dilakukan pada tanggal 29 Juni 1942. Mulai saat itu Paroki Santo Petrus Purwosari resmi berdiri secara mandiri dan terpisah dari Paroki St. Antonius Purbayan. Para gembala pertama yang dipercaya memimpin paroki baru ini adalah Pater N. Havenman, MSF sebagai Romo kepala, Pater Chr. Hendriks, MSF dan Pater F. Iven, MSF sebagai Romo pembantu.
Sebelum pembangunan Gereja Santo Petrus, telah diadakan pembicaraan tentang pembagian wilayah antara Paroki Purbayan dan Paroki Purwosari oleh Mgr. P. Willekens, SJ dan Pater A. Elfrink, MSF. Daerah yang secara administratif masuk Paroki Purwosari adalah daerah kota yang sekarang terletak disebelah barat Jl. Honggowongso dan Jl. Gajah Mada. Pembatasan diteruskan ke utara sampai Kali Pepe di Srambatan, Tirtonadi sampai ke Komplang. Pembatasan itu bergerak ke selatan sampai Tipes. Selain wilayah itu, Stasi yang masih menjadi bagian Paroki Purwosari adalah Mancasan, Kartasura, Gemolong, Simo dan Boyolali.
Pada masa penjajahan Jepang, Pater yang melayani Paroki Purwosari silih berganti, baik dari para Pater MSF sendiri maupun dari para Pater SJ. Pada tahun 1945 datanglah Romo P. Adisudjono MSF, yang menyelesaikan studinya di Belanda. Ia juga Romo MSF pribumi yang pertama.
Pemekaran Paroki Purwosari terjadi pada tanggal 22 Agustus 1961, yakni diberkatinya Gereja Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria Boyolali oleh Vikaris Apostolik Semarang, Mgr. A. Soegijapranata, SJ.
Pembinaan umat semakin intensif dilakukan oleh Romo P. Beyloos, MSF mulai tahun 1962. Paroki dibagi menjadi 12 wilayah dan setiap wilayah dipimpin oleh seorang pamong. Pada waktu itu, dilakukan sensus umat untuk yang pertama kali dan tercatat 1.291 orang.
Wilayah teritorial Paroki Purwosari meliputi Kecamatan Laweyan dan setengah Kecamatan Banjarsari (wilayah Kotamadya Surakarta) dan wilayah Kecamatan Grogol (wilayah Kabupaten Sukoharjo).
Karena perkembangan umat yang cukup pesat dan daerah teritorial paroki yang luas, awal tahun 1980, Romo Bratasantosa, MSF merintis pengembangan paroki baru, yaitu Paroki Kleco. Tanggal 9 September 1985 secara resmi Paroki Kleco lepas dari Paroki Purwosari menjadi paroki sendiri dan mengambil nama pelindung Santo Paulus. Romo Paroki yang pertama adalah Romo Th. Widagdo, MSF.
Setahun kemudian, Romo FA. Widiantara, MSF melakukan peletakan batu pertama pembangun-an Kapel di Wilayah Cemani. Kapel ini dibangun untuk menampung umat Katolik di Cemani yang bertambah karena tumbuhnya pemukiman baru di sekitar PT Batik Keris dan PT Dan Liris. Bulan September 1988, bangunan kapel itu diresmikan secara simbolis oleh Gubernur Jawa Tengah : H.M. Ismail. Dan secara khusus, pada tanggal 15 September 1990, bangunan kapel diresmikan oleh Uskup Agung Semarang yang diwakili oleh Romo Vikaris Jenderal, Romo J. Hadiwikarta, Pr. Dengan mengambil nama pelindung Gereja Santo Yusuf. Pemberkatan itu dihadiri umat Katolik Cemani, para pejabat desa, kecamatan dan kabupaten Sukoharjo.
Pada tahun 2001 Romo Kepala dijabat oleh Romo FX. Dwinugraha Sulistya, MSF, muncul sebuah ide untuk memperluas bangunan di belakang gereja. Dibangunnya gedung panti paroki dengan tujuan untuk menyediakan sarana dan prasarana yang representatif untuk kegiatan umat Purwosari. Peletakan batu pertama dilaksanakan tanggal 15 Mei 2001 yang dilakukan oleh Bapak Uskup Agung Semarang, Mgr. Ignatius Suharyo. Dalam waktu kira-kira setahun, Panti Paroki itu telah dapat diselesaikan. Pada tanggal 22 Juni 2002, Panti Paroki diresmikan oleh Mgr. Ignatius Suharyo dengan nama Wisma Dwi Dharma.
Setelah sekitar 64 tahun karya misi dan Pastoral terlaksana di Paroki Santo Petrus Purwosari, sampai akhir tahun 2005, jumlah umat mencapai lebih kurang 6.750 orang.
Sumber : http://historiadomus.multiply.com/journal/item/47?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
Gambar : http://www.parokiku.org/content/gereja-katolik-st-petrus-purwosari-surakarta
Wednesday, March 14, 2012
Sejarah Gereja Paroki Santo Petrus Purwosari Surakarta
Sejarah Gereja Paroki Santo Petrus Purwosari Surakarta
Reviewed by Your Friend
on
6:27 PM
Rating: 5
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment