Seperti gereja-gereja tua di kota besar, Gereja Kristus Raja Surabaya dibangun dengan arsitektur yang unik. Tak heran, Gereja Kristus Raja tercatat sebagai salah satu cagar budaya di Kota Surabaya.
Menurut Romo John Tondowidjojo CM, bangunan gereja di Jalan Residen Sudirman 3 ini mengacu pada nilai-nilai lokal. Menara lonceng menjulang tinggi di ujung atap. Ini merupakan perpaduan atap joglo dengan menara gaya Barat yang runcing dan tinggi.
Pembagian tata ruang dalam (interior) terasa lapang dan longgar. Dalam ruang utama, menurut Romo Tondo, titik pandang kita akan tertuju ke panti imam. Sehingga, secara tidak sengaja pandangan umat seakan-akan dituntun ke arah tabernakel.
�Ini disebabkan pancaran sinar dari jendela kaca patri di dinding panti imam. Secara keseluruhan berjumlah 53 buah,� papar Romo Tondo yang juga guru besar ilmu komunikasi Universitas Bhayangkara Surabaya itu.
Panti imam sendiri ditata sedemikian rupa seperti bagian dalam rumah adat Jawa yang disebut senthong. Bagian tengahnya menjadi tempat paling sakral, yaitu tabernakel. Ruang di kanan panti imam adalah sakristi. Tempat pastor dan misdinar (putra altar) berganti pakaian.
Mewakili pastor paroki yang berhalangan hadir, kemarin Romo Tondo menceritakan kembali sejarah singkat Gereja Kristus Raja di hadapan ribuan jemaat. Menurut Tondo, keberadaan Gereja Kristus Raja tak lepas dari rintisan Monsinyur Th de Backere CM yang konsen pada karya pendidikan. Pada 1 April 1929, Monsinyur de Backere meletakkan batu pertama pembangunan gedung sekolah untuk anak-anak pribumi di kawasan Ketabang.
Tiga bulan kemudian, Juli 1929, gedung sekolah tersebut kelar dan diresmikan. Namanya nama HIS (Hollands Indische School) Santa Theresia. Sekolah yang setara dengan sekolah dasar. Kegiatan belajar-mengajarnya dimulai tahun 1930.
Nah, pada saat itu, setiap hari Minggu, gedung sekolah itu dipakai juga sebagai gereja bagi umat Katolik di kawasan Ketabang dan sekitarnya. Gereja darurat itu kemudian dikenal sebagai Santa Theresia Hulpkerk atau Gereja Bantu Santa Theresia.
Setelah dirintis 80 tahun silam, Santa Theresia Hulpkerk atau Gereja Bantu Santa Theresia terus berkembang. Pada 1933 dibangun gereja baru di bekas bangunan taman kanak-kanak.
Nama gereja tetap sama: Santa Theresia Hulpkerk. Sebagian gedungnya masih disekat untuk taman kanak-kanak. Karena gedung pastoran sudah selesai dibangun, sejak saat itu Romo J Haest CM selaku pastor paroki bersama Romo G van Ravensteijn CM menetap di Ketabang.
Tidak lama kemudian, Prefek Apostolik (cikal bakal Keuskupan Surabaya) Monsinyur Th de Backere CM ikut pindah ke Pastoran Santa Theresia Ketabang. Sejak 1933 Stasi Ketabang berubah status menjadi paroki. Paroki ketiga di Surabaya menyusul Gereja Kelahiran Santa Perawan Maria (Kepanjen) dan Gereja Hati Kudus Yesus atau Katedral di Jalan Polisi Istimewa.
Pada 1929 Monsinyur Th de Backere CM menggagas pembangunan gereja ketiga di Surabaya. Dia kemudian menyewa rumah di Ambengan 45 dan membeli sebidang tanah di kompleks gereja sekarang. Monsinyur menugaskan Romo G. Ter Veer CM untuk merealisasikan gereja baru.
Pada 1930, bersamaan dengan perayaan hari jadi Ratu Wilhelmina, gereja ini resmi berdiri. Pada 1933 dibangun pastoran dan pada 1938 gedung Taman Kanak-Kanak Santa Theresia. Karena umat semakin banyak, pada 1953 gereja diperluas (renovasi). Gedung gereja baru ini diberkati oleh Mgr JAM Klooster CM pada 1957.
Mengingat Gereja Theresia Ketabang masih darurat, pada 1938 diadakan renovasi dan diperluas. Bangunan yang tadinya sebagian dipakai untuk sekolah kini sepenuhnya sebagai gereja. Nama gereja yang semula Santa Theresia Hulpkerk diubah menjadi Kristus Koningkerk atau Gereja Kristus Raja.
Ketika tentara Jepang masuk pada awal Maret 1942 di Surabaya, Sekolah Santa Theresia dan Gereja Kristus Raja diduduki tentara Jepang. Semua pastor berkebangsaan Belanda ditangkap dan diinternir tentara Jepang.
�Sehingga, kegiatan rohani diasuh dua romo asal Jawa Tengah, yakni Romo PCL Dwidjosoesanto dan Romo Padmoseputra,� tutur Romo John Tondowidjojo. Mantan Pastor Paroki Kristus Raja ini secara khusus menulis buku peringatan 80 tahun Gereja Kristus Raja.
Setelah Jepang kalah perang, Romo Haest CM dan Romo E van Mensvoort CM kembali ke Ketabang. Di masa kemerdekaan, meski masih dengan berbagai keterbatasan, jumlah jemaat terus bertambah. Gereja sederhana yang dibangun pada 1933 sudah tidak lagi menampung umat.
Maka, pada 1956 Romo Dijkstra CM bersama Romo Passchier CM berinisiatif untuk membangun sebuah gereja baru. Setahun kemudian, 1957, Gereja Kristus Raja diresmikan oleh Uskup Surabaya Monsinyur JAM Klooster CM. Nah, bangunan gereja inilah yang bertahan sampai sekarang.
Sumber : http://hurek.blogspot.com/2010/11/gereja-kristus-raja-80-tahun.html
Tuesday, March 27, 2012
Jejak Paroki Kristus Raja Surabaya
Reviewed by Your Friend
on
8:50 AM
Rating: 5
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment