Latest News

Wednesday, February 29, 2012

Sejarah Gereja Kelahiran Santa Perawan Maria, Kepanjen, Surabaya

Imam Katolik yang pertama mendarat di Surabaya ialah Pastor Hendrikus Waanders Pr. dan Pastor Philipus Wedding Pr, yaitu pada tanggal 12 Juli 1810. Tetapi Pastor Wedding Pr selanjutnya ditugaskan di Jakarta, sedangkan pastor Waanders menetap di Surabaya dan mendirikan rumah sekaligus digunakan untuk gereja di jalan Gatotan. Dan pada tanggal 10 Maret 1811 sudah mulai ada orang yang dibaptis untuk pertama kali ( yaitu : Jan George dan Johanna Elizabeth).

Pada tahun 1815 Pastor Hendrikus Waanders Pr. mendirikan stasi yang pertama di Surabaya (merupakan stasi kelima di Indonesia setelah Jakarta/Batavia - Semarang (23 Desember 1808) - Ambarawa - Yogyakarta). Sampai pada tahun 1811 ada 7 orang pastor yang berkarya di Indonesia, yaitu 2 pastor di Batavia, 2 pastor di Surabaya, 2 pastor di Semarang dan 1 pastor di Makasar.

Pada tahun 1815, stasi Surabaya dijadikan Paroki. Tahun 1821 timbul wabah kolera yang menyerang pulau Jawa. Peristiwa ini merupakan kesempatan yang baik bagi Pastor Waanders dan para misionaris lain untuk menunjukkan keperwiraannya. Akibatnya Pastor Waanders dikagumi dan dikenal oleh banyak orang. Oleh sebab itu setelah selama 7 tahun stasi Surabaya berdiri tanpa memiliki gedung gereja yang permanen, maka Pastor Waanders memberanikan diri untuk membangun gedung gereja yang pertama dan diresmikan pada tanggal 22 Maret 1822 dan terletak di tikungan Roomsche Kerkstraat dan Komedienplein (kira-kira di Jl. Cenderawasih dan Jl. Merak). Itulah gereja yang pertama di Jawa Timur. Gereja yang indah, agung, tetapi sederhana itu dipersembahkan kepada Santa Perawan Maria oleh Mgr. Prinsen.

Pada waktu pemberkatan banyak tamu dan umat yang hadir. Para tamu terdiri atas para pejabat sipil dan militer, satu detasemen infanteri yang sebagian besar tidak beragama Katolik. Hal ini menunjukkan bahwa prasangka terhadap kebiasaan katolik akan berubah menjadi sikap yang menghormati berkat adanya pengertian. Sebagai hiburan, digelar musik vokal dan instrumental.

Pada kesempatan itu, J.C. Schmidt seorang jenius mempersembahkan lukisan Kristus yang wafat disalib. Piala misa: �SEMBAH BEKTI DAN PUJI SYUKUR, SURABAYA 1821�. Ini sebagai pengakuan kepada Pastor Waanders Pr. yang berjuang di tengah wabah kolera. Bahkan uniknya pula, bangunan gereja yang belum rampung seluruhnya itu dipakai untuk rumah sakit darurat. Sampai tahun 1827 Pastor Waanders bekerja sendirian untuk melayani daerah kegerejaan Surabaya, karena tepatnya pada tanggal 12 Februari 1827 Pastor Waanders pensiun sebab matanya buta. Pastor Waanders Pr. wafat dan dimakamkan pada tanggal 9 November 1833.

Pastor Waanders lahir di Ankeveen - negeri Belanda dan ditahbiskan sebagai imam pada tanggal1805, menjadi kapelan di Bunnik. Pada tahun 1809 berangkat ke Surabaya dan wafat pada tanggal 9 November 1833.

Babat Gereja Kelahiran Santa Perawan Maria

Gereja Kelahiran Santa Perawan Maria yang sekarang terletak di jalan Kepanjen 6 Surabaya didirikan untuk menggantikan gedung gereja pertama yang rusak (kira-kira di jalan Cenderawasih dan Merak) dan sekarang sudah tidak ada lagi bekasnya.

Sejarah dibangunnya gedung gereja yang sekarang setelah wafatnya Pastor Waanders adalah sebagai berikut: Pastor Moonen Pr. seorang dari tiga imam yang diajak Mgr. Vrancken, langsung berangkat ke Surabaya setelah retret selama 8 hari di Jakarta. Pastor Moonen tiba di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 1847.

Perhatian untuk membina anak-anak, terlebih mereka yang ditinggalkan oleh orangtuanya sangat tinggi. Karena itu pada tahun 1856 didirikan SSV yang namanya lebih dikenal sebagai �Dana Bantuan Santo Vincentius�. Perhatian kedua ialah memugar gereja, sumbangan umat dan subsidi dari pemerintahan. Selain
pemugaran, beliau juga membeli organ dan altar yang di impor dari kota �s Bosch, tetapi sayang sekali karena ukiran dan gambar reliefnya rusak pada saat perjalanan.

Jaman terus berkembang dan jumlah umat semakin bertambah. Hal ini membuat Mgr. Vrancken merasa gundah karena kesulitan mendapatkan imam-imam projo. Akhirnya berkat uluran tangan Pastor Provinsial Yesuit, Pastor Van de Elzen SJ dan Pastor Pallinckx SJ. (baca: Paling) mendarat di Bandara Jakarta pada tanggal 9 Juli 1859 dan langsung ditugaskan di Surabaya. Sejak itu pelayanan rohani umat Katolik ditangani oleh kedua Pastor Yesuit tersebut.

Di bawah dua imam Yesuit ini, karya misi di Surabaya bertambah mekar. Mereka membuka sekolah katolik yang pertama. Atas penyelenggaraan ilahi, seorang donatur menyumbang f. 20.000,00 (dua puluh ribu gulden) untuk membeli sebidang tanah (mungkin Susteran Kepanjen sekarang). Berturut-turut pada tanggal 28 Mei 1862, empat Broeder Aloysius (CSA) mendarat di surabaya, disusul oleh lima Suster Ursulin (OSU) pada tanggal 14 Oktober 1863. Biarawan/wati ini bergerak dalam karya sosial dan pendidikan.

Suster Ursulin membeli rumah di Jalan Kepanjen (Susteran SPM sekarang dan perhatikan tulisan St. Ursula).
Karena ada kompleks Marinir di Ujung dan mengingat pelabuhan Tanjung Perak lebih besar dari pada Tanjung Priok, maka Gubernur Jederal minta kesediaan imam alumsenir (imam militer) untuk memberi pelayanan rohani. Peristiwa inilah yang merupakan cikal bakal gereja tua di Ujung, Surabaya.

Pastor Pallinckx selanjutnya ditugaskan mendirikan stasi baru di Yogyakarta. Beliau diganti oleh Pastor Van de Hagen SY yang menjadi Pastor dan Superior pada tahun 1866. Pastor Hagen inilah yang membeli tanah pastoran di Jalan Kepanjen dengan harga f. 21.000,00. Pada tanggal 27 November 1868 Pastor Van de Hagen SY wafat dan digantikan oleh Pastor Terwindt SY. sampai dengan tahun 1886.

Paroki terus berkembang pesat dan sudah barang tentu tempat ibadat yang lebih luas sangat didambakan. Akibat gempa bumi pada tahun 1867 gereja mulai retak. Hal ini mendorong pemikiran perlunya untuk membangun gedung gereja baru.

Pembangunan Gereja Kelahiran Santa Perawan Maria

Pada tahun 1889 SSV Paroki dapat membeli sebidang tanah yang bagus dari pemerintah seharga f. 8.815,00 . Di bawah pimpinan Pastor van Santen SJ umat mulai mengumpulkan dana lewat lotere, edaran sumbangan, pinjaman kredit dan permohonan kepada pemerintah.

Pada saat pelaksanaan pembangunan dimulai, timbul kesulitan teknis, karena 4 meter di bawah tanah keadaannya sangat jelek dan tidak stabil. Setelah berbagai saran masuk, akhirnya diadakan pemeriksaan lebih lanjut dengan melakukan pengeboran tanah sampai didapatkan tanah wadas yang kuat. Ternyata setelah dibor sedalam 16 meter baru didapatkan tanah yang dimaksud. Rencana semula akan membuat pondasi pada dasar tersebut dan ditambah pilar-pilar ukuran 10-12 meter. Tetapi ternyata kedalamannya rata-rata memang 16-17 meter. Pilar pertama dipasang pada tanggal 18 April 1899. Pilar yang dibutuhkan sebanyak 790 buah. Pilar tersebut terdiri dari kayu galam yang didatangkan dari Kalimantan.

Peletakan batu pertama baru dilaksanakan pada tanggal 19 Agustus 1899 oleh Pastor van Santen SJ. Untuk mendasari pilar tersebut, maka bahannya didatangkan dari Eropa dan demikian pula bahan bangunan yang lain. Seluruh bangunan tembok dari bata yang juga didatangkan dari Eropa dipasang sesuai dengan warna aslinya. Khusus untuk bangunan kayu diambilkan dari kayu jati, sedanghkan kap dan puncak menara dipakai sirap dari kayu besi. Biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan gedung gereja tersebut adalah sebagai berikut:

- Menara : f. 10.000,00
- Pondasi : f. 60.000,00
- Bangunan : f. 95.000,00
- T o t a l : f. 165.000,00

Ukuran gereja adalah sebagai berikut: panjang as bagian dalam 47.60 meter, lebar tangan gereja 30.70 meter, transep 12.70 meter, dar lantai sampai ujung gawel 17.40 meter. Setelah gereja selesai, mebelnya diusahakan selaras dengan bentuknya, yaitu gaya gotik lancip. Pemberkatan gedung gereja dilaksanakan oleh Mgr. Prinsen pada tanggal 5 Agustus 1900 pukul 08.00.

Setelah usahanya berhasil dengan memuaskan, Pastor van Santen SJ. dipindahkan ke Bandung. Sebelum dipindahkan, yaitu pada tanggal 18 Desember 1906 Pastor van Santen SJ memimpin rapat Pimpinan Paroki (Kerkbestuur) untuk mengucapkan terima kasih kepada semua anggota. Pator Hout, sekretarisnya, atas nama semua anggota membalas dengan ucapan terima kasih pula kepada Pastor van Santen SJ, begitu besar jasa beliau atas paroki ini.

Tahun 1923 Merupakan Tonggak Sejarah Keuskupan Surabaya. Jumlah umat Katolik pada tahun 1900 - 1923 menurut Pastor Boonekamp, CM. dalam tulisan �Sejarah Gereja Katolik di Wilayah Keuskupan Surabaya� berdasarkan statistik tahun 1900 adalah sebanyak 3465 orang. Dari jumlah itu, sebanyak 2608 orang tinggal di kota Surabaya. Sedangkan pada tahun 1900 untuk pertama kalinya tercatan ada 10 orang Katolik pribumi di kota Surabaya.

Kemudian pada tahun 1921tercatat hanya ada 25 orangKatolik bangsa Indonesia dan 10 orang dari bangsa Asia. Paroki Surabaya dikenal sebagai paroki yang luas, tetapi pada tahun 1923 hanya dilayani oleh 2 orang pastor Yesuit, sedangkan yang satu orang selalu berada dalam perjalanan dinas. Dengan demikian, sampai pada tahun 1923 kegiatan pastoral terpaksa dijalankan dikalangan orang Katolik berkebangsaan Belanda saja.

Di samping harus melayani umat di dalam kota yang meliputi dua kersidenan, pastor paroki Surabaya waktu itu juga harus melayani sebagian besar Ujung Timur Jawa Timur sampai daerah Banyuwangi (sampai tahun 1992). Pulau Madura (sampai tahun 1923), Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur (sampai tahun 1905) dam sewaktu-waktu juga harus melayani Bali, Lombok dan Ujung Pandang (Makasar).

Pada Tahun 1923, diambil kebijaksanaan untuk membagi wilayah Gerejani yang berdiri sendiri. Satu wilayah di bagian Timur (Malang) diserahkan kepada Ordo Karmel dan wilayah lainnya, yaitu bagian Barat (daerah Karesidenan Surabaya, Kediri dan Rembang) diserahkan kepada pastor Lazaris (CM) yang sampai tahun 1928 masih berstatus Prefektur Apostolik di bawah Vikariat Apostolik Batavia.

Pada hari Sabtu, 30 Juni 1923 anggota-anggota kedua ordo tersebut (Karmel dan Lazaris) mendarat di Tanjung Priok, Jakarta. Adapun pastor-pastor Lazaris (CM) yang bertugas di Surabaya ialah:

1. Pastor Dr. Th. E. de Backere, CM.
2. Pastor C. Klamer, CM.
3. Pastor E. Sarneel, CM.
4. Pastor J. Wolters, CM.
5. Pastor Th. Heuvelmans, CM.

Pada hari Minggu, 1 Juli 1923 para Pastor Yesuit minta diri karena tugas pelayanan rohani selanjutnya akan dilaksanakan oleh Ordo Karmel dan Kongregasi Misi. Dalam Misa Syukur, umat yang hadir sangat melimpah, demikian pula waktu resepsi. Tidak ada tempat duduk yang kosong, bahkan banyak umat yang berdiri, baik dari umat sendiri maupun para undangan. Pada waktu itu hadir pula Bapak Residen, Regen, walikota serta Asisten Residen. Untuk mengenang jasa para pastor Yesuit, maka ketua panitia mengatakan bahwa gambar/patung St. Ignatius dan Fransiskus akan dipasang di gereja Kepanjen dan gereja Darmo. Bapak Residen yang mewakili hadirin yang tidak katolik menyatakan rasa simpatinya. Juga koran-koran Surabaya menulis artikel yang sangat menghargai karya misi para pastor Yesuit.

Dengan demikian, dapat ditarik kesimulan, bahwa gereja Katolik Kepanjen yang hingga kini masih menjadi rumah pusat imam-imam Kongregasi Misi (CM) merupakan awal dari perkembangan Gereja Katolik di Surabaya atau bahkan Jawa Timur.

Gereja Katolik Kelahiran Santa Perawan Maria - Kepanjen, masih mempertahankan arsitektur aslinya, hanya kedua menara dan kaca-kaca jendela yang mengalami perubahan. Kaca-kaca jendela menjadi lebih modern dan masing-masing gambar yang terlukis pada kaca jendela tersebut mengandung arti sesuai dengan Kitab Suci, terutama Injil.


Gereja Katolik Kelahiran Santa Perawan Maria
Jl. Kepanjeng 4-6
Surabaya

Sumber : gerejakelsapa.com
http://sdksantomikael-surabaya.blogspot.com/2010/08/gereja-kelahiran-santa-perawan-maria.html

Saturday, February 25, 2012

Sejarah Singkat Gereja Santa Maria Assumpta Babarsari

Februari 1991 Dewan Stasi Santo Florentinus Babarsari mengeluarkan SK No. 04/FBRS/X/90 serta memberi mandat kepada Panitia Pembangunan Gereja. Pada tanggal 15 Agustus 1994 dimulai peletakan batu pertama oleh Bapak drs, Arifin Ilyas, Bupati Kepala Daerah Tk. II Sleman disaksikan oleh Vikjen Keuskupan Agung Semarang mewakili Uskup Keuskupan Agung Semarang. Tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari berdirinya Gereja Maria Assumpta, Stasi Florentinus Babarsari, Paroki Kristus Raja Baciro, Yogyakarta.

Rupanya, umat percaya bahwa Allah yang telah memulai karyaNya akan menuntun dan menyelesaikannya. Paling tidak dalam perjalanan Gereja setempat, nampak dan terasa kerjasama Allah dan GerejaNya. Semangat kerjasama, saling membantu, dan melalui perjuangan dan pengorbanan akhirnya pada tanggal 16 Februari 2003 Gereja Maria Assumpta diresmikan dan dipakai umat Babarsari sarnpai sekarang.

Gereja tersebut dibangun lengkap dengan pastoran dan ruangan untuk aktivitas umat termasuk mahasiswa Katolik yang berdomisili di sekitarnya. Seiring dengan perkembangan wilayah dan tumbuhnya kampus-kampus perguruan tinggi dengan mahasiswanya yang datang dan berbagai daerah di Indonesia, Gereja Maria Assumpta Babarsari dengan reksa pastoralnya menjadi penyanggga kegiatan umat dan mahasiswa dan mempertajam visi latihan dan pengembangan dalam pembentukan karakter kader-kader Katolik, kaum muda, mahasiswa di masa depan. Dengan dernikian fungsi gereja menjadi nyata menjamin kebutuhan umat dimana tidak menutup diri terhadap masyarakat luas.

Gereja Maria Assumpta sangat menaruh perhatian khususnya kepedulian terhadap generasi muda dan mahasiswa terkait dengan iman dan kehidupan moralnya yang perlu mendapatkan pendampingan terus menerus agar menjadi kader-kader Katolik yang bertanggung jawab di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di masa yang akan datang.

Maka gereja sebagai pusat pelayanan dalam lingkungannya tentu memerlukan fasilitas pendukung gereja. Demi terlaksananya kegiatan tersebut, Panitia Perluasan atas persetujuan dan ijin Mgr. Ign. Suharyo Uskup Agung Semarang, pada tgl 15 Desember 2008 telah melaksanakan pembelian tanah seluas 2082 m2 yang letaknya bersebelahan dengan lahan Gereja Maria Assumpta sebelah Tirnur, dengan harga Rp. 1.250.000/m2.

Melalui surat nomor 01/DP/Status Grj/IX/2009, tanggal 08 September 2009, Dewan Paroki Kristus Raja Baciro, Yogyakarta mengajukan permohonan kepada Mgr. Ignatius Suharyo untuk berkenan meningkatkan status Stasi Santa Maria Assumpta Babarsari untuk menjadi sebuah Paroki yang mandiri. Menjelang kepindahan beliau ke Keuskupan Agung Jakarta, dengan surat keputusan nomor 0981/B/I/b-6a/09, tanggal 12 September 2009, Mgr. Ignatius Suharyo menjawab permohonan Dewan Paroki Kristus Raja Baciro Yogyakarta, Stasi Santa Maria Assumpta Babarsari menjadi PAROKI MANDIRI, per tanggal 20 September 2009.

Gereja Katolik St Maria Assumpta Babarsari, terletak di Jl Inspeksi Selokan Mataram, Babarsari, Sleman, Yogyakarta. +/- 10 tahun yang lalu Gereja ini berada ditengah tengah sawah yang luas, namun saat ini berada di tengah pusat bisnis dan pendidikan di Yogyakarta. Betapa cepat perkembangan Kota Yogyakarta.

Bangunan gereja tampak seperti rumah joglo modern. Di sisi gereja, berdiri tower lonceng tinggi dengan patung Bunda Maria di bawahnya. Di pintu depan, tampak patung Bunda Maria dengan mahkota bintang. Mungkin menunjukkan salah satu peristiwa mulia, Maria diangkat ke surga (assumpta / assumption).

Pastor Gregorius Kriswanta, Pr menjadi Pastor Kepala Paroki pertama di Gereja Santa Maria Assmpta Babarsari. Paroki baru ini mempunyai umat 1100 jiwa (akhir 2008) yang tersebar di 8 lingkungan: Babarsari, Puluhdadi, Seturan, Mundusaren, Kledokan, Tambakbayan, Janti dan Bantulan; yang berbatasan dengan:
di sebelah Utara : Paroki Santo Petrus dan Paulus Minomartani
di sebelah Selatan : Paroki Santo Mikael Pangkalan Angkatan Udara RI
di sebelah Barat : Paroki Santo Yohanes Rasul Pringwulung
di sebelah Timur : Gereja Maguwoharjo Paroki Marganingsih Kalasan

Sumber :
http://www.yacob-ivan.com/2011/06/st-mary-assumpta-church.html
http://baitallah.wordpress.com/2010/10/12/gereja-katolik-st-maria-assumpta-babarsari/
http://ourunity.blogspot.com/2009/07/perluasan-gereja-maria-assumpta.html
http://historiadomus.multiply.com/journal/item/103/089_SEJARAH_GEREJA_SANTA_MARIA_ASSUMPTA_BABARSARI

Wednesday, February 22, 2012

Sejarah Keuskupan Malang

Sejarah

Keuskupan Malang muncul dalam sejarah, terikat dalam ruang dan waktu. Keuskupan Malang berada dalam konteks pertemuan Gereja Katolik dengan bangsa, suku, budaya, keadaan sosial-politik-ekonomi wilayah teritorial yang mencakup eks karesidenan Malang, Besuki. Sebagai Paguyuban Umat Allah terbuka dan memasyarakat, Gereja Katolik Keuskupan Malang perlu memiliki kepekaan terhadap kebutuhan masyarakat di sini, untuk masa sekarang dan masa mendatang.

Rintisan jalan Kerajaan Allah di bagian timur Jawa sudah dimulai pada tahun 1580, ketika kapal bangsa Portugis karena badai berlabuh di Panarukan. Tidak jelas apakah waktu itu sudah ada usaha pewartaan, sebab kunjungan bangsa Portugis yang membawa Pastor Bernardino Ferrari singkat saja. Mereka meninggalkan Panarukan dan berlayar ke Maluku. Beberapa tahun kemudian Romo-romo dari Ordo Dominikan mencoba berkarya menyebarkan Injil di antara Panarukan dan Banyuwangi. Tercatat nama-nama Romo Emmanuele, Pascuale, Pietro dan Giorgio. Tidak ada keterangan, mengenai hasil karya Ordo Dominikan di abad 16 itu, hingga kabarnya mereka ditarik ke Malaka, meninggalkan salah seorang yaitu Pascuale sebagai martir.

Serikat Jesus (SJ), 1800 � 1923

Sejak permulaan 1800-an Romo-romo Serikat Yesus mulai berkarya di Surabaya (Romo H. Waanders, 1810). Mereka berusaha mengunjungi daerah-daerah utara, antara lain Pasuruan. Kronik Sejarah Misi mencatat kedatangan Romo Van der Elzen SJ dan Romo Palinckx SJ, pada tahun 1850 dan seorang awam, A.M. Anthonijsz pada 1895 menyumbangkan sebuah gereja kecil yang hingga sekarang masih dipakai, Gereja St. Antonius Pasuruan. Romo G. Jonckbloet SJ merupakan misionaris pertama yang mengolah Malang sebagai ladang Tuhan sejak 1896. Ia membuka paroki Malang yang berkedudukan di Kayutangan, 2 Juli 1896, dan mendirikan Gereja Hati Kudus. Dari sini gerakan misi merembes ke Lawang, tempat sebuah gereja pembantu didirikan pada 1915. Pada tahun 1900 Ordo Suster-suster (OSU) membangun rumah biara di Celaket, Malang, dan membuka sekolah (Cor Jesu) yang sampai saat ini masih bekerja. Karya para romo Serikat Jesus diakui sebagai fondasi misi di Malang, yang terentang antara Gereja Hati Kudus Kayutangan, Lawang, dan Gereja Antonius-Pasuruan. Dari 1896 hingga1923 tersebut pula nama Romo Van Meurs SJ, Romo Opdenkamp SJ, Romo Van Meerwijk, dan Romo Korndorffer SJ.

Ordo Karmel (O, Carm), mulai 1923

Romo-romo Karmelit masuk Malang pada tahun 1923. Di aula sekolah Ursulin, Celaket, suatu resepsi penyambutan kedatangan Romo Sondaal, O. Carm, Romo Fisscher, O. Carm dan Romo Van den Hewrd, O. Carm, diadakan pada 4 Juni 1923. Merekalah yang melanjutkan karya Romo-romo Serikat Jesus yang ditarik ke Batavia (Jakarta) dan Jawa Tengah, menebar benih Kerajaan Allah, resminya pada 1 Agustus 1923. Dari poros Kayutangan, Lawang, Pasuruan selanjutnya Romo Van der Pas, O. Carm, Romo Henckens, O. Carm dan Brenkel, O. Carm bergerak ke seluruh wilayah Residen Malang (waktu itu), antara lain mendirikan gereja Probolinggo (1924), gereja Balearjosari di malang selatan atas bantuan Bapak Blijdenstein, administratur kebun wilayah itu (1925). Romo Van der Pas bahkan menyeberang dari Probolinggo ke Madura (Sumenep) pada tahun 1927. Sementara itu terjadi gelombang perpindahan penduduk dari Kalibawang, Kulonprogo, Boro Jawa Tengah ke perkebunan-perkebunan sepanjang pantai selatan Jawa-Timur. Di antara mereka adalah orang-orang Katolik generasi pertama yang dibaptis sejak 1904. Umat awam ini ikut serta menebarkan benih Kerajaan Allah ditempat-tempat baru seperti Sumberjati dan Glagahagoeng, selatan kota Banyuwangi, dan Sukoreno (antara Lumajang-Jember), menyiapkan lahan bagi karya misi di wilayah ujung timur Jawa yang waktu itu termasuk kekuasaan adminiitrasi Residen Besuki.

PERFEKTUR APOSTOLIK

Pada bulan April 1927 secara administrasi status wilayah Misi Malang diubah menjadi Prefektur Apostolik. Dengan perubahan status ini segala kegiatan penyebaran dan pengembangan iman katolik dilepaskan dari tanggungjawab Gereja Katolik Belanda dan diambil alih oleh Vatikan, Roma. Romo Clemens vander Pas, O. Carm ditunjuk menjadi pemimpin ditempat setara uskup (prefek), diteguhkan dengan tahbisan oleh Mgr APF Van Velzen SJ, Uskup Jakarta (Batavia). Peristiwa itu dianggap titik tolak keberadaan Keuskupan Malang.

Garis Besar Lintas Sejarah:

* 1534 Awal resmi misi Indonesia: Pembaptisan orang pribumi pertama di Moro, Halmahera Utara. Abad XVII-XVIII Penghambatan karya misi katolik oleh Veregnigde Oost-Indische Compagnie. 1580 Kapal Portugis berlabuh di Panarukan, Situbondo karena badai.
* 1807 Gereja Katolik diperkenankan melaksanakan karya misi lagi oleh raja Lodewijk Napoleon. Prefektur Apostolik Batavia didirikan.
* 1826 Seluruh Hindia Belanda ditempatkan dibawah yurisdiksi Prefek Apostolik Batavia oleh Konggregasi Penyebaran Iman.
* 1842 Prefektur Apostolik Batavia diangkat menjadi Vikariat Apostolik Batavia.
* 1859 Serikat Yesus melayani seluruh Hindia Belanda.
* 1895 Gereja St. Antonius, Pasuruan.
* 1897 Gereja Hati Kudus Yesus, Kayutangan, Malang
* 1900 Serikat Yesus memusatkan karyanya di pulau Jawa, tetapi masih berkarya di Nusa Tenggara, khususnya Flores dan Timor, sampai kawasan ini diambil alih oleh SVD tahun 1914.
* 1902 Awal penyempitan wilayah Vikariat Apostolik Batavia dan pembagian wilayah-wilayah yang kemudian menjadi keuskupan-keuskupan di Indonesia.

Perjalanan sejarah gereja Katolik Jawa Timur melalui:

a. Gelombang masuknya para pengusaha perkebunan tebu, teh, kopi, tembakau, cokelat di wilayah Jawa Timur. Salah satu pimpinan pabrik gula membuka stasi di daerah Malang bagian Selatan dan mempekerjakan orang-orang Katolik dari Kalibawang, daerah lumajang dan Banyuwangi. Stasi yang berkembang antara lain Sukoreno, Curahjati.Mereka didatangkan dari kalibawang pada tahun 1924.

b. Guru-guru dari Muntilan dan Ambarawa datang ke kota Malang dan kota-kota lain dengan prioritas perhatian pada pendidikan putra-putri pribumi, Tionghoa dan pendatang dari Eropa.

c. Para pedagang Tionghoa yang cukup mewarnai paroki di kota.
* 01-08-1923 Penyerahan dari misi di Malang Serikat Jesus ke Ordo Karmel
* 27-04-1927 Prefektur Apostolik Malang.
* 15-03-1939 Vikariat Apostolik Malang.
* 03-01-1961 Dari Constitutio apostolica �quod Christus� Paus Yohanes XXIII Vikariat Apostolik Malang menjadi Keuskupan Malang
* 24-27 JULI 2002 Sinode Keuskupan Malang

REFLEKSI SINODE KEUSKUPAN MALANG ATAS SEJARAH

1. SECARA KONTEKSTUAL MENYATU DENGAN MASYARAKAT.
�Katolik� berarti � universal�, artinya tak terikat pada budaya tertentu, melainkan bersedia diperkaya dan memperkaya lingkungannya, bahkan menyatu dengan masyarakat setempat. Adapun lingkungan Indonesia pada umumnya dan wilayah Keuskupan Malang pada khususnya bercirikan kemajemukan. Antara lain, terdapat aneka suku bangsa serta kebudayaannya, aneka agama dan aliran kepercayaan, aneka lapisan masyarakat. Gereja memahami diri sebagai sakramen, artinya sebagai tanda dan sarana keselamatan seluruh umat manusia (bdk. LG 1).

2. MAKIN PEKA TERHADAP KEBUTUHAN MASYARAKAT.
Keuskupan Malang adalah Gereja partikular, Umat Allah yang terbuka bagi lingkungannya dan berupaya memasyarakat sekarang dan di sini, antara lain dengan meningkatkan kepekaannnya terhadap kebutuhan dasar masyarakat.

3. PERANSERTA KEUSKUPAN MALANG DALAM UPAYA MENCERDASKAN BANGSA.
Sejak awal dengan karya persekolahannya Gereja berperanserta dalam upaya mencerdaskan bangsa, yang dicita-citakan oleh gerakan kebangkitan nasional, dan kemudian disadari peran pentingnya dalam mengisi kemerdekaan. Kini dengan meningkatnya arus globalisasi juga perlu ditingkatkan kualitas pribadi denganmemperdalam dan memperluas upaya pendidikan itu.

4. PERAN SERTA DALAM PELAYANAN KESEHATAN.
Juga di bidang pelayanan kesehatan Gereja berperanserta secara aktif, tidak hanya dengan memperhatikan aspek-aspek profesional, melainkan juga aspek-aspek etis dan kemanusiaan. Beberapa hal yang patut lebih dieprhatikan dewasa ini ialah: pelayanan kesehatan yang terjangkau bagi ekbanyakan orang: kode etik, aspek etis dan spiritualitas pelayan kesehatan.

5. PERHATIAN BAGI MANUSIA SEUTUHNYA SEJAK AWAL KEUSKUPAN MALANG.
Perhatian Gereja Keuskupan Malang terhadap manusia seutuhnya nyata antara lain dari prakarsa Prefek Apostolik pertama, Mgr. Clemens van der Pas O, Carm, yang mengundang Konggregasi Misericordia untuk melayani bidang kesehatan. Kiranya pelayanan ini perlu dikembangkan lebih lanjut.

6. STASI-STASI SEBAGAI CIKAL BAKAL PAROKI.
Pendirian paroki tak lepas dari stasi-stasi sebagai cikal bakalnya berkat pelayanan para misionaris, meskipun ada juga stasi yang lenyap entah karena umatnya pergi, entah karena kurang diperhatikan. Hanya sebagai contoh konkret: Beberapa stasi yang berkembang, misalnya stasi Jajag, stasi Ambulu, stasi Japanan, stasi Kraksaan, stasi Dampit, stasi Kedungrejo, stasi Pronojiwo, stasi Landungsari, stasi Sengkaling, stasi Asembagus, stasi Panarukan, stasi Besuki, stasi Muncar, stasi Pasanggaran, dari 107 stasi.

7. PUKULAN BERAT PADA JAMAN JEPANG.
Keuskupan Malang mengalami pukulan berat di jaman Jepang karena para misionaris diinternir. Tetapi dalam keadaan sulit itu ada beberapa tokoh yang melanjutkan pelayanan pastoral, antara lain: Romo G. Singgih, O. Carm, Romo A. Gondowardoyo, O. Carm, Mere Laurence, OSU.

8. PERSEKOLAHAN DAN KARYA PASTORAL LAIN.
Di jaman Vikariat Apostolik didirikan banyak sekolah yang telah amat berjasa, tetapi dewasa ini kiranya juga perlu lebih diperhatikan bidang-bidang pastoral lain, mengingat keperluan umat dan masyarakat di waktu mendatang.

9. BELAJAR DARI SEJARAH.
Kiranya bebarapa gejala perlu mendapat perhatian besar. Mobilitas tinggi masyarakat dengan aneka dampak atas bidang sosial, ekonomis, dan urbanisasi; Meningkatnya kepekaan dan kepedulian sosial serta solidaritas umat; Persaudaraan sejati yang dikembangkan aneka pihak dan makin meluas; Harapan maysarakat untuk keluar dari krisis ekonomi dan mengentaskan kemiskinan; Kebhinekaan suku dan budaya dalam masyarakat.

10. UPAYA MEMBERDAYAKAN UMAT.
Kiranya upaya-upaya karitatif (yang memang tetap perlu) tak mencukupi. Perlu ada uapaya-upaya untuk memberdayakan umat, seperti dahulu sesuai dengan jamannnya (dilakukan Pater Van Lith SJ) agar dapat berperan dalam masyarakat.

11. MEREKA YANG BELUM TERJANGKAU.
Gereja sebagai sarana dan tanda keselamatan universal (LG 1) seharusnya menjangkau segala bangsa dan suku bangsa. Tetapi ada sejumlah suku di wilayah Keuskupan Malang yang belum tersentuh, maka perlu diusahakan agar para petugas pastoral lebih mengenal mereka, budaya dan bahasanya.

12. DIPERKOTAAN DAN PEDESAAN
Kabar baik dimaksudkan bagi semua. Tidak cukup hanya menyapa orang-orang diperkotaan, melainkan juga perlu menyapa mereka yang berada dipedesaan. Diharapkan agar pemberdayaan komunitas basis insani juga dapat mempunyai dampak positif atas penyebaran Kerajaan Allah.

GAMBARAN GEREJA KEUSKUPAN MALANG DEWASA INI

KONTEKS ASIA
Harapan besar diarahkan kepada Gereja di Asia. Sumbangan yang khas dan tanggung jawab di masa mendatang baik dalam konteks Asia maupun visi Katolisitas .

* Benua terbesar dengan jumlah penduduk terbanyak dengan segalapermasalahannya: toleransi-intoleransi, kekayaan alamkemiskinan,masyarakat kota-pinggiran, pengangguran, persoalan HAM Gender.
* Tempat kelahiran agama-agama besar dengan tradisi budaya yang tinggi: heterogenitas dan pluralitas yang tinggi.
* Perubahan peta politis kenegaraan.
* Keanekaka ragaman dampak modernitas: ideologi perkembangan yang terpacu dengan cepat: sekularisasi, materialisme,konsumerisme sekaligus kecenderungan fundamentalisme.
* Pengaruh pola sudut pandangan yang masih kuat setelah runtuhnya ideologi komunisme: Timur-Barat. Gereja masih dipandang sebagai warisan Barat.
* Sumbangan Gereja: berada bersama (companionship), pembaharuan motivasi berdasar pengalaman iman yang kaya akan tradisi spiritualitas, keberanian paritisipasi umat untuk membagikan tak sekedar menerima dan merayakan iman, peranana orang kristianis yang terbentuk dan terdidik sebagai penginjil bagi rekan sebaya.

KONTEKS KEUSKUPAN MALANG

GEOGRAFIS:
Keuskupan Malang meliputi bagian timur Propinsi Jawa Timur:
1. Wilayah Pembantu Gubernur (Eks Karesidenan) Malang meliputi:
* Kotamadya dan Kabupaten Malang.
* Kota Batu.
* Kotamadya dan Kabupaten Pasuruan.
* Kotamadya dan Kabupaten Probolinggo.
* Kabupatenj Lumajang.

2. Wilayah Pembantu Gubernur (Eks Karesidenan Besuki) meliputi:
* Kabupaten dan Kotif Jember.
* Kabupaten Bondowoso.
* Kabupaten Situbondo.
* Kabupaten Banyuwangi.

3. Wilayah Pembantu Gubernur (Eks Karesidenan Madura) meliputi:
* Kabupaten Bangkalan.
* Kabupaten Sampang.
* Kabupaten Pamekasan.
* Kabupaten Sumenep.

Demografis:

Jawa Timur merupakan penduduk paling padat sebagai propinsi Indonesia.

Sosioreligius:
1. Mayoritas penduduk beragama Islam dengan sentra-sentra pendidikan islam: pesantren-pesantren dan pengaruh panutan keagamaan (kyai) yang sangat tinggi dan bertumbuhnya iklim kaum intelektual Islam khususnya di kalangan kaum muda Islam.
2. Banyaknya sekte Kristen dengan Kota Malang sebagai pusat pendidikan evangelis.
3. Iklim FKUB yang cukup membantu persoalan hubungan antar keagamaan.

Sosiokultural:
1. Sebagian terbesar keberadaan gereja Katolik berada di kota.
2. Kecenderungan urbanisasi dari desa ke kota, termasuk juga warga potensial di gereja pedesaan.
3. Multikultural umat: Jawa, Tionghoa, Flores, Kalimantan, Papua dll.
4. Pengaruh modernisasi-global dalam pola hidup.

Sosioekonomi:
1. Umat terdiri dari pegawai negeri, petani, pedagang, sebagian besar sebagai karyawan
2. Kesenjangan masih menjadi faktor kerawanan.

BIDANG PERHATIAN KEUSKUPAN MALANG

PAGUYUBAN
Faktor Sejarah:

* Dulu: Agama KAtolik dikenal sebagai agama pendatang, agama penjajah. Dengan latar belakang para misionaris memakai jalur yang dipakai para pendatang dari Eropa. Pelayanan lebih terfokus untuk pelayanan warga Katolik Eropa yang bekerja di pemerintahan kolonial, sektor perkebunan dan militer.
* Sekarang: Faktor kebersamaan yang dihayati masyarakat agamis menjadi landasan pembangunan Komunitas Basis yang terbuka dan memasyarakat.

Wujud:
* Membangun diri sebagai komunitas partisipatif.
* Penumbuhkembangan sensus ecclesiae.
* Pastoral umat dengan menumbuh kembangkan iman yang mendalam, yang dewasa dan mandiri,berakar pada budaya setempat,imana yang menggereja, iman yang memasyarakat dan misioner-dialogial.
* Lingkup Keuskupan, Paroki, Wilayah/Stasi/Blok/ Kelompok Kategorial-fungsional, Komunitas, Keluarga,persaudaraan-dialog dengan umat Kristen-Potestan, Islam dan umat beragama lain termasuk aliran kepercayaan.
* Hidup berbangsa dan bernegara: Kesadaran Pancasila sebagai pandangan hidup dan ideologi negara yang menyatukan sekaligus kesadaran akan tipisnya penghayatan �kebhinekatunggalikaan� )

PEWARTAAN
* Acuan: Mrk 16,15: Pergilah ke seluruh dunia, beritakan Injil kepada segala makhluk�; Allah menghendaki agar semua manusia diselamatkan (AG 7).
* Dilaksanakan dengan menjadi kawan dan mitra yang berbela rasa dengan semua orang dalam perjalanan menuju kepenuhan hidup dalam Kerajaan Allah.
* Dilaksanakan secara berkesinambungan melalui dialog: dengan iman kepercayaan lain, kaum miskin dan kebudayaan setempat.
* Dibutuhkan kemampuan membaca tanda-tanda jaman dan kesaksian hidup.
* Dibutuhkan katekese yang berkesinambungan: bina usia dini, bina iman, anak, bina iman remaja, bina iman umat dewasa.
* Pemanfaatan peluang katekese: Masa Katekumenat, Kotbah, Pendalaman iman, masa liturugis gerejani.

LITURGI
Perhatian dan pengertian lebih besar yang terwujud dalam:
* � Kebiasaan mempersiapkan diri secara lahiriah dan batiniah.
* � Kinerja yang baik dari pemimpin dan petugas.
* � Sarana memadai.
* � Peluang untuk perayaan yang inkulturatif dan kategorial.

Untuk itu diperlukan katekese liturgi, teladan, suasana danpendidikan liturgi untuk: pemahaman liturgi, pengadaan petugas, pengkajian.

KESAKSIAN
* Pengedepanan nilai: keteladanan, kritis-profetis, kesetiaankonsistensi,keadilan,cinta, kejujuran, pemebabasan.
* Menghindari yang hal-hal (gaya hidup,penampilan diri, kegiatan, fasilitas,gedung)dapat merugikan wajah gereja dalam masyarakat.
* Pemanfaatan media massa.
* Memfasilitasi individu dan kelompok melalui talenta atau karyakhusus yang dapat menyebarkan nilai Injili.

PELAYANAN
* Pelayanan sebagai ungkapan dan sarana perwujudan karisma dan kesaksian kristiani baik
* Dibidang: pendidikan, kesehatan, sosial-kemasyarakatan, komunikasi masal, pastoral dan pendampingan kaum muda.
* Perlunya pembekalan semangat pelayanan untuk pengemban profesi dan pejabat.

KEPEMIMPINAN DAN SUMBER DAYA MANUSIA
* Partisipasi umat dalam tritugas Kristus dalam kepemimpinan partisipatif dalam gereja.
* Kepemimpinan gerejani: visi dan seni leadership yang memperhatikan aturan main manajemen, kesekretariatan-kearsipan yang memadai.
* Kinerja sesuai dengan program kerja dan berpedoman pada kepentingan umum..
* Prinsip subsidiaritas.
* Peta kebutuhan tenaga, penelitan, pengembangan SDM dengan:
a. integritas, komitmen dan dedikasi.
b. Pendidikan/pengetahuan yang memadai.
c. Kemauan/kesanggupan yang stabil.
d. Kemampuan profesional.
e. Perhatian penyegaran petugas pastoral dan kesejahteraan karyawan.

PRIORITAS PERHATIAN
KARYA PASTORAL PENDIDIKAN

* Peningkatan mutu dan kualitas pribadi, selain pencerdasan bangsa.
* Perhatian kepada jenis pendidikan yang memadai kebutuhan lokal dan melibatkan partisipasi umat setempat.
* Karya pendidikan non formal yang menekankan nilai-nilai kristiani untuk pembebasan dari ketertindasan.
* Peningkatan dan dukungan terhadap karya sekolah yang telah ditangani lembaga relijius.
* Karya sekolah yang dikelola keuskupan lebih menjangkau masyarakat yang kesulitan baik soal beaya atau lokasi yang berjauhan.

KARYA KESEHATAN
* Sebagai mitra pemerintah dalam karya pelayanan kesehatan yang terjangkau masyarakat kebanyakan.

KARYA EVANGELISASI
* Stasi sebagai cikal bakal dari pertumbuhan paroki.
* Kunjungan keluarga, kunjungan stasi terutama yang jauh dari pusat paroki menjadi salah satu kekuatan jemaat untuk bertahan dan berkembang.
* Pengoptimalan panggilan Imam Diosesan, perberdayaan Awam Pemuka Jemaat dan Religius.
* Karakateristik masyarakat Jawa Timur: mobilitas tinggi, sikap kepedulian-solidaritas tinggi, persaudaraan lintas agama, harapan untuk gerakan peduli pengentasan rakyat kecil, budaya-adat istiadat setempat. Kultur: Jawa?, Osing(Banyuwangi), Madura (Pulau Madura dan masyarakat pinggiran kota di Jawa Timur, Tengger (perbukitan Bromo- Semeru), Mandarin.
* Pewartaan yang inovatif dan kontekstual

KARYA J & P
* Pelayanan secara integral terhadp kaum mistin dan membelea yang tertindas.
* Promosi kemanusiaa yang menjunjung HAM

HUBUNGAN DENGAN AGAMA LAIN
* Dialog, terbuka, mendengar, menghormati yang berkeyakinan lain (NA2).
* Menggalang persaudaraan sejati dan menjalin kerja sama yang berkehendak baik untuk menegakkan komunitas insani yang dijiwai kedamaian, keadilan dan cinta kasih.

Sumber : http://keuskupan-malang.web.id/?page_id=8

Sekilas Sejarah Gereja Santo Ignatius Cimahi

Tahun 1908 merupakan tonggak utama sejarah pelayanan gereja katolik Cimahi di mana pada tahun tersebut bangunan gereja yang didirikan oleh para imam dari ordo Serikat Jesus (SJ) secara resmi menggunakan nama pendiri ordo tersebut, Santo Ignasius Loyola (1491~1556) sebagai nama pelindung gereja yang terletak di Jalan Baros No. 8. Cimahi.

Namun demikian agama katolik atau umat yang beragama katolik di Cimahi, sudah ada jauh sebelum tahun 1908. Mereka bukan penduduk asli tetapi mereka mula-mula adalah para pendatang yang berasal dari negeri Belanda maupun yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka ditugaskan di Cimahi sebagai tentara Kerajaan Belanda (KL) maupun sebagai Tentara Pemerintahan Hindia Belanda (KNIL). Jadi pengambilan tahun 1908 sebagai tonggak bukanlah tahun dimana untuk pertama kali ada umat katolik di Cimahi tetapi tahun dimana untuk pertama kalinya digunakan nama St. Ignatius Loyola untuk gedung gereja yang dibangun di Cimahi yang pada tahun 2008 berusia 100 tahun.

Bahwa umat katolik Cimahi sudah ada sebelum tahun 1908 dapat dibuktikan dengan adanya berbagai pelayanan yang diberikan kepada umat, dan pembangunan gedung gereja yang dilakukan oleh pastor-pastor SJ. Kedatangan pastor-pastor SJ ke Cimahi bersamaan dengan dijadikannya Cimahi sebagai pangkalan militer Hindia Belanda sebagai bagian dari wilayah pertahanan militer kolonial Belanda di tanah Priangan.

Cimahi Kota Militer

Sejak masa pemerintahan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels (1808-1811), Cimahi direncanakan untuk dijadikan sebagai daerah pangkalan militer Pemerintah Hindia Belanda guna membantu pertahanan militer di pulau Jawa. Dipilihnya Cimahi sebagai daerah pangkalan militer dengan pertimbangan; letak geografisnya yang strategis, berada di daerah pedalaman yang dilalui jalur rel kereta api maupun jalan raya Bogor � Bandung dan Cikampek serta jalur kereta api Batavia � Bandung. Pada perkembangannya kemudian Cimahi juga merupakan benteng pertahanan untuk menjaga dan melindungi Pangkalan Udara Militer di Andir Bandung.

Untuk mewujudkan Cimahi menjadi kota militer, berbagai sarana penunjang seperti Kompleks Perumahan Perwira (di Jalan Gedung Empat sekarang), Markas Militer (sekarang Markas Kodim), Rumah Sakit Garnisun (sekarang RS Dustira), barak / tangsi (tersebar, saat ini menjadi berbagai pusat pendidikan TNI AD) Sositeit Perwira dan Penjara Militer (sekarang Rumah Tahanan Militer Poncol) dibangun antara tahun 1886 � 1887.

Cimahi juga merupakan kota markas besar garnisun militer Belanda yang mengawal pertahanan kota Bandung, didukung oleh tiga batalyon yaitu: Infanteri, Genie (Zeni) dan Artileri yang diresmikan pada bulan September 1896 dengan komandan pertamanya Majoor Infanteri C.A. Loenen dan ajudannya Luitenat J. A. Kohler.

Dengan dijadikannya Cimahi sebagai pangkalan militer, maka terjadilah penempatan tentara dalam jumlah relatif besar, baik Tentara Kerajaan Belanda (KL) maupun Tentara Hindia Belanda (KNIL) yang kebanyakan berasal dari Flores, Timor, Ambon, Menado dan Jawa. Tidak sedikit di antara keluarga tentara tersebut terdapat keluarga yang beragama katolik.

Untuk memenuhi kebutuhan rohani umat akan kegiatan beribadah, maka umat katolik yang berasal dari kalangan tentara dilayani oleh pastor tentara (aalmoezenir) sedangkan umat katolik yang bukan tentara dilayani oleh pastor yang berasal dari Cirebon karena sejak tahun 1878 Cirebon menjadi salah satu stasi dari Vikaris (wilayah pelayanan gereja katolik) Batavia yang dipercayakan kepada Pastor Adolphus Philippus Caspar Van Moorsel SJ. untuk melayani daerah Priangan dan Tegal. Dua tahun kemudian, pada tahun 1880 stasi Cirebon ditingkatkan statusnya menjadi Gereja Cirebon yang diresmikan oleh Uskup Mgr.A.Claessens dan diberi nama pelindung Santo Yosep.

Pada tahun 1895, Mgr. Walterus Staal SJ, Vikaris Apostolik Batavia meresmikan dan memberkati gedung gereja katolik pertama di Bandung yang diberi nama pelindung Santo Fransiskus Regis di sudut Jalan Scoolweg (Sekarang Gedung Bank Indonesia di Jl. Merdeka) dan Jalan Kerkweg (kini Jl. Wastukencana). Gereja tersebut kemudian dijadikan sebagai gedung pertemuan Katoliek Sociale Bond (KSB) setelah gereja Katedral St. Petrus yang terletak diseberangnya (sudut Jalan Jawa dengan Jalan Merdeka) dibangun dan diresmikan pada tanggal tahun 1922 oleh Mgr. E.Luypen.

Pendirian gereja tersebut dilatarbelakangi oleh semakin berkembangnya umat katolik di kota Bandung yang berasal dari kalangan pegawai pemerintah Hindia Belanda yang beragama katolik. Perkembangan itu terjadi karena sejak tahun 1884 hubungan kereta api antara Bandung dan Batavia semakin intensif sehingga Bandung berkembang menjadi kota besar.

Dengan berdirinya Gereja St. Fransiskus Regis, maka sejak tahun 1907 Bandung menjadi stasi baru dengan pastornya J. Timmers SJ. dan dibantu oleh pastor Fv. Santen SJ, maka umat katolik yang berada di Cimahi dilayani secara lebih intensif oleh kedua pastor tersebut secara bergantian sebulan sekali. Hal ini terjadi karena Cimahi termasuk wilayah stasi Bandung yang semula merupakan bagian dari Paroki Santo Yosep Cirebon. Pada tanggal 13 Februari 1907 Cimahi terpisah dari Cirebon dan berdiri sendiri sebagai stasi. Mengenai perkembangan umat, ada sebuah catatan di buku permandian Paroki St. Yosep Cirebon yang menunjukkan bahwa pada tahun 1903 di Cimahi sudah ada umat yang dipermandikan.

Pembangunan Gedung Gereja

Sebulan sekali perayaan misa ekaristi dipersembahkan di sebuah ruang kelas di Ambonsche School di Tagog (SMP Negeri I Cimahi sekarang). Hal itu dinilai kurang memadai karena kehidupan beragama yang lebih semarak dan bersemangat dinilai sulit dikembangkan dengan sarana yang terbatas tersebut. Melihat kenyataan itu, Vikaris Apostolik Batavia Mgr. Edmundus S. Luypens SJ. (1898-1923) menganjurkan agar di daerah-daerah yang ada umat katoliknya, dibangun gedung gereja sebagai identitas diri umat katolik.

Maka pada tahun 1906 dimulai usaha pembangunan gedung gereja di Cimahi di atas sebidang tanah bantuan dari Pemerintah Hindia Belanda yang lokasinya di pertigaan Baros Weg (Jalan Baros) dan Prins Hendrik Laan (sekarang Jalan Jend. Sudirman).
Dana yang dipakai untuk pembangunan gedung gereja diperoleh dari Dep. Onderwys en Eridienst (Dep. Pendidikan dan Agama) atas prakarsa seorang awam bernama Riviera de Verninas, serta bantuan dari para opsir-opsir bagian Genie/Zeni dan sumbangan dari negeri Belanda.

Pembangunan gedung gereja awal yang luasnya 8 x 16 meter ini, berbentuk lurus dengan fascade (tampak muka) bergaya neo romantic dengan langit-langit dan jendela berbentu melengkung. Altar menyatu dengan tabernakel terbuat dari kayu jati berukir bergaya gothic dengan salib dari baja bertengger di bumbungan gereja. Pada waktu perluasan gereja, salib itu dipindahkan di atas atap pintu utama sebelah selatan sampai sekarang. Pembangunan periode tersebut dilakukan dibawah pengawasan Pastor Martinus Timmers SJ dan Pastor Jacobus van Santen SJ (1907), diteruskan oleh Pastor Joanes Kremer SJ (1908). Pembangunan yang tidak disertai gedung pastoran itu, memakan waktu lebih kurang 2 tahun, selesai pada tanggal 20 Desember 1908 dan mampu menampung umat sebanyak 100 � 150 orang.

Pemberkatan dan Pemberian Nama

Pemberkatan gedung gereja yang dibangun tanpa kupel (menara) itu dilakukan pada tanggal 20 Desember 1908 oleh Pastor Joanes Kremer SJ dan diberi nama pelindung Santo Ignatius Loyola. Ignasius adalah seorang Santo (orang suci dalam iman katolik) mantan perwira Kerajaan Spanyol yang menjadi imam dan pendiri Ordo Serikat Yesus. Pemberian nama tersebut sangat mungkin berkaitan erat dengan keberadaan kota Cimahi sebagai kota garnisun, gedung gereja yang ada di tengah-tengah perumahan militer dan umat perdananya adalah kalangan militer.

Meskipun pemberkatan dilakukan pada tanggal 20 Desember 1908, tetapi hari jadi Gereja Santo Ignatius Cimahi diperingati setiap tanggal 31 Juli, sesuai dengan peringatan pesta nama St. Ignatius Loyola.

Pembangunan Perluasan Bangunan Gereja

Seiring dengan berjalannya waktu, maka perkembangan jumlah umat semakin hari semakin bertambah sehingga dirasa perlu untuk memperluas gedung gereja. Pada tanggal 30 April 1925, gedung gereja diperpanjang sehingga ukurannya menjadi 8 x 24 meter.
Sedangkan bentuk gedung gereja seperti salib dengan menara seperti yang ada sekarang, adalah hasil pelebaran yang dilakukan pada tanggal 31 Juli 1930 oleh pastor J. de Rooij OSC. Selain pelebaran gedung gereja, dibangun pula pastoran (rumah tinggal pastor) dan gedung pertemuan yaitu gedung Sugiyapranoto sekarang. Peresmiannya dilakukan oleh Mgr. J. H. Goummans OSC pada tanggal 2 April 1933 bertepatan dengan 25 tahun berdirinya gereja di Cimahi.

Selain berkarya dan memberikan pelayanan di bidang rohani, gereja saat itu telah memberikan pelayanan dibidang sosial, pendidikan dan kesehatan, meskipun masih sangat terbatas.

Berdirinya Paroki St. Ignatius Cimahi

Sebelum serah terima dilakukan, gereja St. Ignatius Cimahi berubah statusnya dari Stasi menjadi Paroki pada tanggal 7 Juni 1928. Meskipun demikian, Paroki baru ini belum memiliki pastoran sehingga belum ada pastor yang tinggal menetap.
Pelayanan terhadap umat masih dilakukan oleh pastor-pastor yang berasal dari Bandung. Pada saat itu jumlah umat tercatat sebanyak lebih kurang 135 orang yang terdiri dari 115Orang Eropa dan 20 orang non Eropa.

Tahun 1928 sekumpulan opsir yang beragama katolik membeli sebuah rumah di daerah Tagog untuk tempat rekreasi dan pertemuan. Rumah tersebut diberi nama Militer te Huis dan kemudian pada tahun 1960 an namanya diganti menjadi Panti Cengkrama. Rumah tersebut akhirnya dihibahkan kepada gereja dan oleh gereja dibangun menjadi gedung serba guna dan Gereja St. Agustinus sampai sekarang.

Pada tahun 1930 Pastor Johanes de Rooij OSC. tinggal dan menetap di Cimahi, mula-mula di daerah Tagog (sekitar daerah apotik Omega sekarang) kemudian pindah ke rumah sewaan di Prins Hendrik Laan (sekarang letaknya di Ubug pas di tusuk sate ujung jalan Oerip Soemoharjo). Ia adalah pastor pertama yang menetap di Cimahi. Setelah kurang lebih 3 tahun bekerja sendiri, kemudian datang pastor Dirk Koster OSC. sebagai pastor pembantu pada tahun 1933, karena semakin luasnya wilayah pelayanan dan umat yang harus dilayani.

Disaat itulah mulai dipikirkan untuk membangun gedung pastoran, gedung pertemuan dan gedung sekolah. Rencana pembangunan gedung sekolah dibatalkan karena lahan yang tersedia kurang luas.

Pembangunan Gedung Pastoran, Gedung Peremuan dan Perluasan Gereja

Pada tanggal 31 Juli 1930 dimulailah upaya pembangunan gedung pastoran dan gedung pertemuan sekaligus perluasan gedung gereja oleh Pastor J. de Rooij, sebagai pastor paroki. Gedung gereja yang semula berukuran 8m x 16m diperluas, ukurannya menjadi 8m x 24m, bentuknya lurus, posisi mengarah ke Timur � Barat dengan pintu utama di sebelah Timur. Gedung pastoran dibangun di sebelah Utara gereja agak ke arah Timur Laut dan digunakan sampai awal tahun 2004. Pastor J. de Rooij adalah pastor paroki pertama yang untuk pertama kalinya menempati pastoran baru tersebut. Sedangkan gedung pertemuan yaitu Gedung A. Sugiyapranoto yang digunakan sampai sekarang dibangun di samping sebelah Timur gereja.

Pada tanggal 20 September 1933 dilakukan peletakan batu pertama pada acara perluasan gedung gereja dilakukan oleh pastor Antonius van Asseldonk. Bangunan gereja yang diperluas berbentuk salib dilengkapi dengan sebuah menara lonceng dan sebuah lonceng besar yang diberi nama Angelus (para malaikat) digantungkan disitu sejak 9 Juni 1935. Pembangunan dilakukan oleh pemborong yang bernama Lim A Goh dari Bandung dibawah pengawasan de Leeuw sebagai toezicht. Biaya yang dihabiskan untuk pembangunan tersebut sekitar 9.000 gulden.

Pada tanggal 2 April 1934, bertepatan dengan Hari Raya Paskah dan 25 tahun gereja St. Ignatius Cimahi, Mgr. Jacobus Hubertus Gouman OSC meresmikan bangunan gereja yang sudah selesai diperluas. Perluasan gedung gereja dilakukan kembali karena umat paroki Cimahi semakin bertambah dan wilayah pelayanan pastoralnya semakin luas.
Gedung gereja yang sudah diperluas bentuknya seperti gedung gereja sekarang ini dan mampu menampung umat sebanyak 500- 600 jemaat.

25 Tahun Gereja Santo Ignatius Cimahi

Peringatan seperempat abad gereja St. Ignatius Cimahi ditandai dengan peresmian perluasan bangunan gereja yang sebelumnya sudah diperluas oleh Mgr. J.H.Gouman OSC. Prefek Apostolik Bandung I yang diangkat pada tanggal 27 Mei 1932 dan dilantik oleh Vikaris Apostolik Batavia Mgr. Antonius van Velsen SJ. pada tanggal 15 Agustus 1932 di gereja St.Petrus Bandung.

Hal itu terjadi karena sejak tanggal 20 April 1932, berdasarkan Brevis Apostolica Paus Pius XI, wilayah Bandung dipisahkan dari Vikaris Batavia menjadi Perfektus Bandung.

Dalam usianya yang sudah 25 tahun, kegiatan pelayanan diberikan kepada umat khususnya berkaitan dengan permandian, komuni pertama, sakramen penguatan dan perkawinan.

Wilayah pelayanan paroki Cimahi saat itu sangat luas meliputi Purwakarta, Cikampek, Karawang, Pamanukan, Subang dan daerah-daerah disekitarnya. Hal inipun tentu membutuhkan jumlah pelayan/pastor yang memadai. Untuk kebutuhan itu, maka didatangkan seorang pastor pembantu yaitu pastor Dirk Koster OSC.

Masa Menjelang dan Paska Kemerdekaan

Periode 25 tahun kedua atau 31 tahun setelah pastor-pastor OSC berkarya di Cimahi, paroki St. Ignatius mencatat berbagai peristiwa penting yang membawa dampak bagi kemajuan dan perkembangan umat katolik maupun peristiwa yang berdampak tidak menguntungkan. Peristiwa-peristiwa tersebut secara kronologis diuraikan di bawah ini.

Kedatangan Suster-Suster OP dan Tentara KNIL di Cimahi

Menindaklanjuti perlunya sarana pendidikan dalam rangka pengembangan kedewasaan pikiran dan sikap mental umat, maka pastor Johanes de Rooij sebagai pastor paroki menulis surat kepada suster-suster Ordo Santo Dominikus atau Ordo Praedicatorum (OP) yang memiliki biara induk di Cilacap, untuk berkarya di Cimahi. Undangan tersebut mendapat sambutan yang positif, maka pada tanggal 2 Juli 1934 beberapa suster Dominikanes tiba di Cimahi. Mereka bermaksud membeli tanah di daerah Hotel Berglust (dikenal sekarang sebagai Berkles di Jln. Sukimun), tetapi batal dan akhirnya membeli tanah didaerah Baros sekarang dari seorang pemilik yang bernama Timmerman. Di atas lahan itulah dibangun rumah biara dan sebuah local Taman Kanak-Kanak (Frobel School) St. Theresia dan Sekolah Dasar (Largere School) St. Maria. Bangunan tersebut masih terbuat dari bilik bambu dan diresmikan pada tanggal 1 Agustus 1934, sedangkan kompleks bangunan yang permanent baru dibangun pada tanggal 23 Mei 1935 di mana Uskup Bandung, Mgr.J.H.Goumans OSC meletakkan batu pertama pada pembangunan Sekolah Katolik dan Kapel Suster Dominikanes tersebut. Setelah pembangunan selesai, kompleks sekolah dan kapel baru tersebut diberkati pada tanggal 12 Agustus 1935 oleh Mgr. J.H. Goumans OSC.

Pelayanan pendidikan yang diselenggarakan oleh para suster Dominikanes, semakin hari semakin berkembang. Oleh karena itu untuk melayani pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi yaitu Sekolah Dasar, perlu ada ruangan kelas yang baru. Menyadari akan adanya kebutuhan tersebut, maka pada tanggal 1Agustus 1938 dibangun Sekolah Dasar yang lokasinya di lapangan biara susteran.

Kemajuan paroki sangat ditunjang oleh umat yang berpendidikan dan terampil dalam mengolah setiap persoalan hidup menggereja ditengah-tengah masyarakat. Untuk hal itu, maka generasi muda gereja harus dibekali dengan pendidikan dan keterampilan yang memadai. Supaya generasi muda gereja memiliki keterampilan praktis dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi, paling tidak untuk kepentingannya, maka pada tanggal 15 Agustus 1940 didirikan dan diresmikan sebuah sekolah kejuruan.

Selain kedatangan suster-suster OP, pada tahun yang sama datang pula tentara KNIL dari Menado, Flores dan Jawa beserta keluarganya yang ditugaskan di Cimahi. Kedatangan mereka mengakibatkan jumlah umat katolik di paroki semakin bertambah karena banyak diantara mereka yang beragama katolik. Tugas pembinaan rohani anggota KNIL dilakukan oleh pastor Leenders OSC. sebagai pastor tentara yang datang ke Cimahi pada tahun 1937 menggantikan pastor Antonius Kooyman OSC.

Pendudukan Balatentara Jepang

Invasi balatentara Jepang ke Indonesia pada tahun 1942, mengakibatkan wilayah Indonesia dikuasai oleh pemerintah Jepang. Pada bulan Maret 1942 tentara Jepang masuk dan menguasai kota Bandung dan juga kota Cimahi. Pendudukan Jepang mendatangkan kesulitan bagi gereja karena para pastor dan suster banyak yang ditawan dan dipenjarakan, gereja dijadikan sebagai gudang logistik, kegiatan peribadatan umat dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena dilarang, termasuk membunyikan lonceng �Angelus�di gereja setiap pukul 12.00. Larangan itu terjadi karena gereja tetap membunyikan lonceng Angelus setiap pukul 13.30, padahal sejak tanggal 23 Maret 1942, Waktu Jawa dihapus dan diganti oleh Waktu Nippon yang selisihnya maju 1,5 jam, maka pihak Jepang menyadari bahwa gereja masih tetap menggunakan waktu Jawa.

Gedung gereja dan pastoran dijadikan markas dan gudang logistik bagi tentara Jepang. Pastor Bart Leenders dan Pastor Scheerder ditawan dan dipenjarakan. Setelah beberapa kali pindah kamp tawanan, akhirnya mereka ditawan di Kamp IV (sekarang Pusdikhub, sebelah utara Kantor Pos Cimahi). Dengan ditawannya para pastor, maka pelayanan umat diseluruh Vikariat Bandung dilakukan oleh pastor H. Reichert, satu-satunya pastor asing yang tidak ditawan dan dipenjarakan. Ini adalah suatu tugas dan tanggung jawab yang hampir berada di luar bataskemampuan manusia untuk mempertahankan Gereja Katolik. Pada tanggal 5 April 1943, salah seorang pastor yang ditawan di Cimahi yaitu pastor A. van Dijk meninggal dunia.

Pada masa sulit tersebut, seorang katekis awam yang bernama Pedro Mawi Amang yang berasal dari Flores, sempat mengurusi dan memberikan pelayanan rohani pada umat, sampai akhirnya ketika sedang memimpin perayaan ibadat, tentara Jepang menangkapnya dan kemudian membunuhnya. Ia menjadi semacam martir bagi umat paroki Cimahi. Beberapa suster pribumi yang tidak ditawan yaitu Sr. Clara dan Pst. Padmawidjaja MSC. dari Vikariat Purwokerto sempat memberikan pelayanan pada umat, bahkan mempermandikan beberapa umat di Cimahi.

Penataan Paroki Setelah Kemerdekaan

Pada tahun 1945, setelah Jepang menyerah dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, para pastor dan suster yang ditawan dan dipenjarakan oleh Jepang, dibebaskan. Pastor Bart Leender, setelah dibebaskan kembali ke Cimahi, ia dihadapkan pada kondisi gedung gereja dan pastoran yang porak poranda serta umat yang tercerai berai. Ia berusaha membenahi dan memperbaiki kerusakan, tetapi karena situasi kota Cimahi yang tidak aman, maka ia memutuskan kembali ke kamp tawanan untuk mengamankan diri dan menunggu sampai situasi aman.

Sekitar bulan Juli 1946, keadaan kota Cimahi mulai aman, maka pastor Bart Leender dengan bantuan militer Belanda, memperbaiki gereja dan pastoran tetapi sekolah belum dapat dibuka kembali, karena Suster-suster Dominikanes belum kembali ke Cimahi. Baru pada tanggal 1 September 1947 suster-suster Dominikanes mulai membuka Sekolah Dasar St. Yusuf (satu kompleks bangunan dengan SD Santa Maria) dan pada tanggal 1 November 1947 sekolah kejuruan mulai dibuka kembali.

Pada tahun 1947 pastor Jan Dohne OSC (umat asli Cimahi yang menjadi pastor pertama) menggantikan pastor Anton Kooyman OSC dan pastor Reiner Kloeg OSC yang adalah pastor tentara. Kesulitan yang dialami para pastor baru ini adalah penggunaan bahasa Indonesia/Melayu saat memberi homili. Penggunaan tata bahasa yang tidak teratur, pemakaian kata yang tidak tepat, sering mengakibatkan timbulnya salah pengertian dalam berkomunikasi. Tetapi meskipun demikian, umat dapat menerima kekurangan tersebut.

Upaya penataan kembali kehidupan menggereja di paroki Cimahi berlangsung sampai dengan tahun 1950-an. Walaupun upaya ini dirasa berjalan lambat, tetapi sedikit demi sedikit berbagai persoalan yang dihadapi seperti tersebut di atas, dapat diselesaikan berkat bantuan dari semua pihak yang sangat peduli terhadap perkembangan kehidupan menggereja di kota Cimahi yang lebih baik.

Pemulangan Tentara Belanda (KL) Ke Negeri Belanda

Sebagai kota militer, Cimahi menjadi sangat peka terhadap perubahan situasi politik yang terjadi baik di pusat maupun di daerah. Hal itu dapat dilihat selama kurun waktu 1950-1960 yang ditandai dengan terjadinya berbagai peristiwa seperti pemberontakan DI/TII dibawah pimpinan Kartosuwiryo, perkembangan partai komunis yang semakin kuat dan konflik Irian Barat antar pemerintah Indonesia dan Belanda. Peristiwa-peristiwa tersebut membawa dampak terhadap kehidupan menggereja di paroki Cimahi.

Terjadinya konflik antara pemerintah Indonesia dan Belanda karena Belanda belum mau mengakui kedaulatan Republik Indonesia yang sudah merdeka, mengakibatkan terjadinya pemulangan Tentara Belanda sehingga jumlah umat paroki Cimahi menjadi berkurang Pada tahun 1950an, umat paroki berkurang sangat mencolok dari jumlah 2400 umat berkurang menjadi tinggal 600 orang.

Namun sebaliknya, kedatangan TNI dan keluarganya ke Cimahi kemudian, membawa pengaruh yang cukup besar pada perkembangan umat di paroki Cimahi, karena diantara keluarga tersebut ada yang beragama katolik dan mereka mulai aktif terlibat dalam kehidupan menggereja.

Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan oleh suster-suster Dominikanes sebagai salah satu bentuk pelayanan di bidang pendidikan terhadap umat di paroki Cimahi, terlebih setelah dibukanya SMP St. Mikael pada tanggal 1 Agustus 1950, membawa implikasi bagi terbentuknya Persatuan Guru Katolik di Cimahi.

Demikianlah sekilas perjalanan sejarah Gereja Katolik Santo Ignasius meretas masa-masa awal yang penuh gejolak yang tidak sedikit menuntut dan menyita pengorbanan yang luar biasa dari para pelakunya. Namun hal ini menjadi batu karang yang kokoh bagi landasan bangunan hidup menggereja umat dan para gembalanya.

Tidak sepesat perubahan bangunan dan prasarananya, perkembangan kehidupan menggereja umat lebih mewarnai perkembangan Gereja Katolik utama dan pertama di Kota Cimahi yang pemerintahannya tahun ini genap berusia 6 tahun. Berbagai organisasi, baik yang menjadi bagian internal gereja, maupun organisasi atau kelompok yang berafiliasi dengan gereja, semakin hari semakin mewujud dan senantiasa bergerak menjalankan misinya masing-masing yang pada akhirnya bermuara pada pelayanan sesama untuk semakin memuliakan Allah. Saat ini umat katolik Cimahi berjumlah lebih dari 2750 keluarga dengan jumlah umat sekitar 8000 jiwa.

Adapun daerah cakupan pelayanan Paroki Santo Ignasius Cimahi adalah:
* Sebelah Utara: berbatasan dengan Lembang Bandung (Kel. Cisarua)
* Sebelah Timur: berbatasan dengan Paroki Waringin dan Paroki Pandu (Ciwaruga)
* Sebelah Selatan: Sungai Citarum (Nanjung)
* Sebelah Barat: berbatasan dengan Paroki Cianjur (Rajamandala) dan Paroki Purwakarta (Plered)

Dalam cakupan wilayah yang luas tersebut, keragaman etnis memperkaya kehidupan hidup menggereja di Paroki Cimahi ini. Dari jumlah 2750 keluarga, di antaranya berasal dari berbagai etnis, seperti Jawa, Sunda, Batak, Dayak, Manado, Ambon, Flores, Timor, Papua dan Tionghoa.

Seluruh umat dalam paroki ini dilayani oleh empat orang pastor. Sebagai Pastor Kepala adalah Pastor Aloysius Supandoyo OSC., yang dibantu oleh Pastor Ignasius Putranto OSC.

Sumber : http://ignatiuscimahi.blogspot.com/
Gambar : http://ignatiuscimahi.blogspot.com/
http://baitallah.wordpress.com/

Tuesday, February 21, 2012

Sejarah Gereja Paroki Santa Maria Assumpta Gamping

Gereja Paroki Santa Maria Assumpta Gamping terletak di Dusun Gamping Tengah, Desa Ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Terletak lebih kurang 5 km sebelah barat pusat Kota Yogyakarta.

Umat Pertama

Pertumbuhan umat paroki Gamping sangat erat hubungannya dengan Kramaredja, cucu dari Raden Panewu Djajaanggada, abdi dalaem Kasultanan Ngayojakarta Hadiningrat yang bekerja sebagai penjuang gamping. Karena pada saat itu Desa Gamping merupakan pusat produksi batu gamping di mana sebagian besar penduduknya bekerja sebagai panambang batu gamping. Hal ini menyebabkan desa Gamping dikenal luas di daerah Yogyakarta, Muntilan hingga Magelang.

Kramaredja pada saat itusering mengantarku gamping ke Muntilan kepada Romo Frans van Lith SJ (seoerang pastor Belanda berjiwa Jawa) sehingga mempunyai kedekatan dengan yang saat itu sedang mendirikan gedung Kolese Xaverius di Muntilan.

Bendot Djajautama, anak sulung Kramaredja, atas petunjuk ayahnya yang mempunyai kedekatan dengan Romo Frans van Lith SJ mengikuti pendidikan guru. Sewaktu menjadi guru di Indramayu, ia berkenalan dengan Den Mas Djajus, seorang guru yang beragama Katoli berasal dari Sala. Dari situlah ia kemudian mendalami agama Katolik dan dibaptis sekitar tahun 1918.

Setelah dibaptis, Bendot Djajantama membimbing adik-adiknya yaitu Sarwana Bratqaanggada supaya belajar di Normaalschool di Muntilan, dan dibaptis di Muntilan pada tahun 1919. Juga mengarahkan adik perempuannya untuk belajar baca tulis dan bekerja di pabrik cerutu Negresco (sekarang Tarumartani). Dengan cara itulah adik-adiknya dan orangtuanya menjadi Katolik. Kramaredja sendiri dibaptis dengan nama baptis Bartolomeus pada tanggal 10 Nopember 1920 oleh Rm. H. Van Driessche, SJ. Beliaulah yang tercatat menjadi umat pertama di Gamping.

Tumbuhnya biji sesawi

Demikianlah umat pertama di Gamping, berkat biji sesawi yang tumbuh dalam keluarga Kramredja, iman kristiani tumbuh pula pada keluarga lain dan menyebar ke desap-desa sekitar Gamping, seperti Banyuraden, Onggobayan, Mejing, Pasekan, dan Gancahan.

Berbicara tentang perkembangan iman Kristiani di Gamping ini, selain peran dari Rama Frans van Lith SJ lewat Normaalschool dan Kweekschool di Muntilan, juga Rm. H. Van Driessche, SJ yang mempunyai keahlian dalam berbahasa Jawa. Dan kemudian tahun 1917 mendirikan Standardschool yaitu sekolah bagian orang pribumi di Kumendaman. Mengingat kondisi kesehatan Rm. H. Van Driesssche SJ memburuk, maka Rama F. Straeter SJ ditugaskan membantu dan meneruskan misi tersebut, selanjutnya beliau menggunakan sekolah-sekolah Kanisius sebagai ujung tombak kerasulan.

Pada tahun 1923, Rm. F. Straeter SJ membuka Volkschool di Mejing, bertempat di kediaman Partadikrama dengan guru al. Bendot Djajautama dibantu Reksaatmadja.

Ketika umat berjumlah 50 orang, mereka mendapatkan misa sebulan sekali. Lambat laun ketika umat di Gamping berkembang menjadi 100 orang, mereka mendapatkan misa sebanyak dua kali dalam sebulan, bertempat di SD Kanisius Mejing. Akan tetapi pada minggu-minggu biasa sebagian dari mereka harus berjalan kaki ke kota, antara lain ke gereja Kidulloji, Kumetiran dan Kotabaru, dan Pugeran untuk mengikuti misa.

Perkembangan umat pada zaman Jepang

Tanggal 8 Maret 1942 Jepang menguasai seluruh pelosok Nusantara. Masa pendudukan Jepang ini merupakan masa-masa sulit bagi perkembangan umat. Hal itu disebabkan gereja Katolik dilarang untuk memberikan pendidikan dan pengajaran Katolik. Banyak imam, biarawan maupun awam ditangkap dan dipenjarakan.

Pada tahun 1943, umat paroki Gamping berjumlah sekitar 150 orang. Rama F. Straeter SJ mungkin telah menyadari adanya malapetaka yang akan terjadi, kemudian meminta Jacobus Mertadikrama dari Gamping Lor agar mengamankan altar dan peralatan misa dari sekolah ke rumah.

Tahun 1944 banyak gereja, biara, rumah sakit dan sekolah Katolik dirampas Jepang untuk dijadikan kantor pemerintah, penjara, atau markas militer. Berhubung dengan itu maka penyelenggaraan misa dilakukan di rumah Martadikrama hingga tahun 1948. Setelah ia meninggal tahun 1945, peralatan dan pakaian misa disimpan di rumah Bonifacius Tjaraka.

Zaman Revolusi Fisik

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dengan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar Negara. Paroki Kotabaru dan gereja-gereja lainnya dibuka kembali dengan semangat baru. Di Kumetiran, meski peralatan misa tidak ada, akan tetapi jemaat yang telah terbentuk tidak bubar. Pada tanggal 31 Oktober 1945, umat di Kumetiran membentuk paroki sendiri dengan nama Hati Santa Perawan Maria Tak Bercela, dan Gamping menjadi salah satu stasi dari Paroki Kumetiran. Sejak saat itu pula dibentuk pengurus persiapan Paroki Gamping, dengan tugas mengelola umatnya agar lebih berkembang. Stasi Gamping dibagi menjadi wilayak Gamping, Gancahan, Nyamplung, dan Mejing.

Angin Perubahan tidak berlangsung lama, serangan-serangan Belanda mengakibatkan pemerintah RI semakin sempit, dan pada tahun 1946 Ibukota RI dipindah ke Yogyakarta. Dikuasainya Yogjakarta oleh Belanda, turut mempengaruhi keberadaan umat di Gamping. Tentara Belanda membuat markas pertahanannya di Gamping Kidul, Pasekan dan Klangon. Akibat adanya peperangan tersebut peralatan misa yang saat itu disimpan di rumah Bonifacius Tjaraka selalu berpindah-pindah tempat. Dengan bantuan beberapa teman, Bonifacius Tjaraka mengungsikan pakaian dan peralatan misa ke tempat Mudji Mudjosusanto di Gejawan. Sedangkan altar dibawa oleh beberapa pemuda ke rumah Prawirasukardja di Nyamplung. Dengan demikian perayaan Ekaristi kemudian diadakan di Nyamplung, dipimpi al. oleh Rama A. Pudjahandaja, Pr.

Setelah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia pada tahun 1949, misa diselenggarakan di kediaman Jacobus Mertadikrama. Seiring dengan pertambahan umat, membuat rumah Mertadikrama tidak dapat menampung lagi. Melihat hal tersebut Cornelius Muljata selaku ketua Stasi Gamping berbicara dengan Raden Wedono Sastrawanadardja yang memiliki rumah besar. Walau pada saat itu beliau belum menjadi pemeluk Katolik, tetapi ia memperbolehkan untuk dipakai melaksanakan Ekaristi. Hal ini terjadi mulai dari tahun 1950 hingga berdirinya Gereja Santa Maria Assumpta Gamping pada tahun 1961. Kemudian salah seorang putra Raden Wedono Sastrawanadardja yaitu Mgr. Blasius Pujaraharja menjadi Uskup Ketapang.

Perkembangan umat di Gamping sangat subur, sehingga umat mendesak pastor Paroki Kumetiran untuk mempersiapkan beridirinya gereja di Gamping. Berhubung status Gamping belum tegas, apakah menjadi bagian dari paroki Kotabaru atau paroki Kumetiran, maka Rama Alexander Sandiwan Brata, Pr pada tahun 1954 menulis surat ke Vikariat Apostolik Semarang. Surat tadi berisi tentang penegasan status bahwa Gamping memilih menjadi bagian dari paroki Kumetiran daripada paroki Kotabaru, melihat dari keeratan hubungan Gamping � Kumetiran dan kebiasaan umat Gamping beribadat ke gereja Kumetiran.

Setelah terjadinya penegasan tersebut, pengurus Stasi Gamping membentuk Panitia Persiapan Pendirian Gereja, yang bertugas untuk mengusahakan tanah dan pendirian gereja dan pastoran di Gamping. Kepanitiaan tersebut terdiri atas: Petrus Honosudjatmo, Bonifacius Tjaraka, Hardjasuprapta, Subardi, Suhardi dengan pelindung Rm. Alexander Sandiwa Brata, Pr.

Seraya mengurus pendirian gereja � pastoran � sekolah, Panitia Persiapan Pendirian Gereja berupaya mencari tanah yang cocok untuk lokasi gereja � pastoran. Setelah beberapa waktu bekerja, Panitia memberi laporan berupa pilihan lokasi kepada Rm. Alexander Sandiwan Brata, Pr.

Alternatif pilihan lokasi rencana gereja al. :
- tanah di sebelah utara Kantor Pos Gamping;
- tanah bekas Kawedanan di Delingsari;
- tanah dengan bangunan kosong milik Rd. Wedana Pradjanarmada, Wedana Wates, Kulon Progo;

Setelah melewati berbagai pertimbangan, maka pilihan jatuh kepada tanah Rd. Wedana Pradjanarmada. Negosiasi tanah sendiri membutuhkan waktu yang cukup lama, mulai dari tahun 1953 dan akhirya berkat kegigihan Panitia pada tahun 1957 tanah tersebut bisa dibeli dengan harga Rp. 725,- / m2,

Berhubung tanah yang dibeli Panitia kurang memadai luasnya untuk kompleks gereja dan pastoran, maka Petrus Honosudjatmo meminta Petrus Wakijahadisunardja untuk merelakan tanah miliknya. Dengan cara itu terjadilah lahan gereja seperti saat ini, yaitu tanah seluas 3.050 m2, berbentuk segitiga siku-siku, dengan jalan raya depan gereja pada sisi miringnya.

Mgr. Albertus Soegijapranata SJ yang dikenal memiliki wawasan jauh ke depan, dalam kesempatan menerimakan sakramen krisma di Gamping kepada 50 orang umat Gamping pada tanggal 14 September 1956 berkata, �Para sedulur, aja padha cilik ing ati. Sapa ngerti yen ing tembe buri bakal ana greja mundhuk-mundhuk teka ana ing Gamping kene� (Saudara sekalian, jangan kecil hati, siapa tahu besok akan ada gereja tiba-tiba muncul di Gamping sini).

Pernyataan beliau tersebut merupakan kabar gembira yang membuat hati umat di Gamping berkobar untuk mendirikan sebuah gereja.

Setelah tanah diperoleh, Panitia kemudian mengurus pengesahan hak kepemilikan atas tanah yang dilakukan dengan membuat Yayasan berbadan Hukum �PENGURUS GEREJA DAN PAPA MISKIN ROOMS KATOLIK DI WILAYAH GEREJA SANTA MARIA DIANGKAT KE SURGA DENGAN MULIA DI GAMPING, SLEMAN, YOGYAKARTA�. Yayasan ini disahkan pada tanggal 9 September 1958, di depan Notaris Raden Mas Soeprapto di Semarang dengan susunan pengurus:

Ketua : Romo G. Susanto Utojo, Pr
Sekretaris : Petrus Honosudjatmo
Fransiscus Slamet Hartono

Dengan adanya Yayasan tersebut, maka Gamping merupakan paroki pertama Paroki Kumetiran yang mampu mempunyai hak atas tanah yang dibeli. Kepemilikian hak atas tanah tersebut lebih kuat dengan adanya sertifikat dari Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman, yang terbit pada tahun 1994.

Nama pelindung �Maria Assumpta� diusulkan oleh Petrus Honosudjatmo, berangkat dari pengalaman yang tidak dapat ia lupakan, saat tertembak dalam peperangan melawan Belanda pada tanggal 19 Januari 1949. Dalam keadaan tak sadarkan diri karena kekurangan darah, ia seperti masuk ke dalam suasana serba gelap. Dalam suasana itu ia merasa ditemui oleh ibundanya Maria Pawirasukardja yang telah meninggal 13 November 1945. Ibu berkata, bahwa Tuhan akan mengabulkan permohonan bila dilaksanakan dengan perantaraan �SANG KENYA KANG PINUNDHUT MENYANG SWARGA, PENUH KAMULYAN�. P. Honosudjatmo kemudian mengajukan permohonan agar selamat dari maut dan umur panjang. Setelah 5 bulan dirawat di Panti Rapih ia kemudian sembuh.

Usulan nama pelindung �Sang Kenya Kang Pinundhut Menyang Swarga Penuh Kamulyan� disambut oleh Rama G. Susanto Utojo, Pr dan Rama Alexander Sandiwan Brata, Pr dengan gembira, bahkan menerangkan bahwa Paus Pius XII melalui Konstitusi Apostolik �Munificentissimus Deus� 1 November 1950 menegaskan bahwa keyakinan akan Maria Diangkat Ke Surga Dengan Mulia (�SANCTA MARIA ASSUMPTA�) masuk dalam jajaran dogma, dengan tanggal 15 Agustus sebagai hari pestanya.

Setelah memiliki tanah dan hak kepemilikan beres, Petrus Honosudjatmo menghubungi Vikariat Apostolik Semarang bahwa pembangunan gereja dimulai. Ketika menghadap, ia membawa gambar rencana gereja hasil karya Victorianus Prajitnadirdja lengkap dengan anggarannya. Rama B. Schouten SJ, Sekretaris Vikariat Apostolik Semarang, menegaskan bahwa gambar perlu diperiksa dan disempurnakan oleh bagian pembangunan Keuskupan Agung Semarang (KAS), sedang biaya pembangunan menjadi tanggungjawab Vikariat Apostolik Semarang.

Pada tahun 1959, Rama B. Schouten SJ mengajak Rama C. Romments SJ, yang saat itu menjadi Pastor Paroki Pakem datang meninjau lapangan. Rama B. Kieser SJ menerangkan bahwa Rama C. Rommens SJ adalah imam yang memperkenalkan model Gereja konstruksi kayu. Oleh karena itu, bentuk bangunan gereja Gamping mirip dengan bentuk bangunan gereja Pakem.

Setelah semua dipersiapkan di bawah arahan Panitia Gereja, umat dari kring Nyamplung, Gancahan, Mejing, dan Gamping bekerja bakti membersihkan lahan dan meratakan tanah seluas 3.050 m2 dengan ketinggian 1-4.5 m. Kemudian mereka menbumpulkan batu dan pasir serta membangun pagar penahan tanah urug dan bangunan.

Petrus Honosudjatmo yang saat itu bekerja di Perusahaan Garuda Indnesian Airways mengerahkan truk PT. JUSUP untuk mengangkut baru, tanah, pasir atau apa pun yang dikumpulkan umat. Pembangunan berjalan terus, namun ada beberapa kendala, antara lain:
- Menunggu kusen-kusen yang dikerjakan di Semarang;
- Kedatangan lem perekat yang dipesan dari Belanda;
- Salahnya pemasangan tiang yang mengakibatkan pembongkarsan genteng yang hampir seluruhnya terpasang.
- Ambrolnya pasangan baru penahan tanah urug karena air hujan.

Peletakan batu pertama, tanda dimulainya pembangunan gereja Gamping, dilakukan oleh Rama Thomas Hardjawarsito Pr awal tahun 1960.

Rama Henricus van Voorst tot Voorst SJ, mantan ekonom Keuskupan Agung Semarang, memberi keterangan bahwa gereja Gamping itu bisa diibaratkan �GEREJA TIBAN�. Maksudnya gambar konstruksi, penyediaan, dan pengerjaan dilakukan di Semarang atau tempat lain, setelah selesai kemudian dibawa ke Gamping untuk dipasang. Semuanya itu dikerjakan oleh Bagian Pembangunan Vikariat Apostolik Semarang.

Bapak G. Gunarto, mantan Kepala Bagian Pertanahan KAS, menambah penjelasan bahwa gambar gereja Gamping dikerjakan oleh Oei Ging Sing dari Semarang. Kayu jati yang dignakan disediakan oleh Bagian Pembangunan Vikariat Semarang di bawah pimpinan Br. J. Haeken SJ. Pelaksanaan pembangunan dikerjakan oleh Bagian Pembangunan Vikariat Semarang di bawah pimpinan Tjan Djie Tong. Adapun pelaksana di Gamping antara lain Petrus Sunarjo dari Semarang. Rama B. Schouten SJ berkunjung ke Gamping paling tidak dua minggu sekali. Luas bangunan 520 m2 dengan ukuran 13x40 m.

Ada beberapa hal yang istimewa dari gereja Gamping yang khas, yaitu:
- Semua jendela tidak ada yang berbentuk persegi, tetapi bulat dan trapezium;
- Tiang kayu sebanyak 12 batang. Per batang merupakan beberapa papan yang direkat dengan lem dan ditahan dengan baut sehingga menjadi sangat kuat.
- Dinding belakang altar dibuat dengan gaya semacam kayon atau pohon yang menggambarkan pohon kehidupan, diambil dari kisah wayang purwa.
- Lengkung kemenangan di depan altar dibuat dengan gaya burung Berli.
- Balkon belakang dibuat dari tangga pesawat terbang dan digambari motif kain �parang barong atau parang rusak�.

Pembangunan gereja dianggap selesai meski tidak dilengkapi dengan altar, mimbar, kursi imam, kursi misdinar dan dhingklik umat. Semua perlengkapan kemudian dilakukan dengan cara swadaya umat atau mencari bantuan dari paroki lain.

Setelah dianggap selesai, Mgr. Albertus Soegijapranata SJ kemudian hadir memberkati gereja pada tanggal 24 Desember 1961 pukul 07.00 WOB. Selesai pembekatan, diadakan ramah tamah sederhana antara umat dengan Bapak Uskup dan dihadiri oleh Penewu Pradjaatmaka dan Raden Wedana Pradjanarmada, pemilik tanah gereja sebelumnya.

Sejak saat itu perayaan misa pindah dari rumah Raden Wedana Sastrawanadirja ke gereja hingga saat ini.

Zaman Persiapan Menuju Paroki

Pastor yang bertugas: Rama Benardus Wonosunarjo, SJ (1961-1970); Rama Petrus Chrysologus Soeharso Soetapanitra SJ (1963-1969); Rama Bernardinus A. Sadji OFM (1974-1976); Rama F. Sutojo OFM (1976-1978).

Rama Benardus Wonosunarjo SJ (berkarya di Gamping 1961-1970).

Setelah punya gereja, umat suka menyatakan diri sebagai umat Paroki Gamping, meski sebenarnya status masih tingkat stasi di bawah koordinasi Paroki Kumetiran. Reksa rohani terlebih misa dilayani para pastor Paroki Kumetiran sebulan 2 kali, Minggu II dan Minggu IV dengan bahasa Jawa. Pastor yang sering melayani di Gamping antara lain Rama Bernardus Wonosunarja SJ yang biasa dipanggil Rama Liem.

Rama Petrus Chrysologus Soeharso Soetapanitra SJ (berkarya di Gamping 1963-1969). Umat Gamping mengenang Rama Petrus Chrysologus Soeharso Soetopanitra SJ sebagai imam sandal jepit, suka mengendarai sepeda butut dan berjubah kusam. Rokoknya tembakau lintingan. Bila berkunjung ke rumah umat suka mempir ke dapur untuk minta intip (kerak nasi).

Rama Petrus Chrysologus Soeharso Soetapanitra juga dikenal sebagai pencinta budaya Jawa, terutama pertunjukan wayang. Melalui cara ini beliau dapat bergauldengan semua lapisan masyarakat. Kemudian pada tahun 1967 beliau pernah nanggap wayang kulit yang dimainkan oleh Ki Dalang Suparman. Setelah punya pastoran, beliau memasang wayang kayon (gunungan) Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong sebagai simbol pelayanan dan pengabdian.

Sejak adanya pastoran, Rama Petrus Chrysologus Soeharso Soetapanitra SJ, sering menginap di Gamping, untuk mulai mengadakan misa di lingkungan-lingkungan. Beliau menata Gamping dalam 7 kring (lingkungan) yaitu: Onggobayan, Gamping, Mejing, Gesikan, Nyamplung, Gancahan,d an Sumber Gamol � Gejawsan � Paseban. Agar keadaan wilayah mudah dibaca, beliau berintis adanya peta stasi.

Rama Bernardinus A. Sadji OFM (berkarya di Gamping 1974-1976)

Agaknya beberapa umat kurang begitu bisa menerima kehadiran beliau sebagai gembala paroki dengan alasan masih terlalu muda dan belum banyak pengalaman, sehinga dirasa kurang berwibawa. Akibat dari sikap itu, �caos dhahar� sering terlantara, maka beliau sering ke umat yang menerima baik untuk minta makan malam. Dan pada tahun 1976 beliau pindah ke Jakarta.

Rama F. Sutoyo OFM (berkarya di Gamping 1976-1978)

Beliau menggantikan Rama Bernardinus A. Sadji OFM sampai tahun 1978. Umat mengenang Rama F. Sutoyo OFM sebagai rama yang menjunjung tinggi disiplin. Bila membuat janji, harus ditepati, meleset sediikit dari waktu yang ditetapkan, maka tidak akan dilayani.

Berdinynya Paroki

Rama Constantinus Harsasuwita SJ (berkarya di Gamping 1978-1988)

Rama Constantinus Harsasuwita SJ adalah imam yang membuat Stasi Gamping berdiri menjadi paroki. Ketika mulai berkarya di Gamping, beliau sudah berusia senja serta sering sakit. Umat mengenang beliau sebagai imam yang keras pendirian, dogmatis dalam ajaran dan pengarahan, suka menyanyi dan merayakan misa bahasa Latin. Paroki dikelola dengan mengutamakan hidup doa, kesalehan dan pelayanan sakramen. Aspirasi umat yang berkaitan dengan perubahan dan tuntunan zaman boleh dikata kurang mendapat tempat.

Rama Constantinus Harsasuwita SJ dikenang juga sebagai imam yang hampir tidak pernah khotbah. Khotbah biasaya dilakukan oleh awam, baik dari luar atau dari dalam paroki. Cintanya pada Gamping, mendorong beliau menambah ruang pastoran, tidak mau pindah, dan ingin bila meninggal dimakamkan di Gamping.

Rama Clemens Budiarto SJ (berkarya di Gamping 1988-1991)

Sejak Rama Constantinus Harsasuwita SJ istirahat ei Wisma Emmaus, Rama Clemens Budiarto SJ diangkat menadi Pastor Kepala Paroki Gamping mulai dari tahun 1988. Beliau dibantu oleh Br. Nicasius Haryono SJ. Dengan kehadiran beliau, Paroki Gamping mulai mengadakan pembenahan. Dengan dibantu oleh Rama Ignatius Madya Utama SJ selama satu semester pada tahun 1991, Paroki Gamping mencoba menerapkan konsep �Gereja Partisipatoris� dengan tekanan hakikat Gereja sebagai umat Allah yang terlibat partisipasinya. Dalam praksisnya, konsep itu dituangkan dengan merinci paroi dalam �stasi� sebagai satuan wilayah koordinasi dan kring sebagai satuan kecil himpunan umat yang tertempat tinggal berdekatan.

Selanjutnya Rama Clemens Budiarto SJ mengubah pembagian paroki yang tadinya 7 kring, menjadi 5 stasi (wilayah) dengan 15 kring (lingkungan). Dalam rangka membuata lingkungan menjadi basis kegiatan umat, beliau menghimpun mereka dengan pelayanan misa model selapanan (rotasi 35 hari) dan mendorong mereka berhimpun sendiri dengan mengadakan kegiatan seperti sembahyangan keluarga, rapat, arisan, dan koor. Berhubung Stasi Gancahan, Gesikan, dan Balecatur telah mempunyai kapel maka mereka mendapat pelayanan misa sebulan sekali.

Selain memberi arah dan menata wilayah, Rama Clemens Budiarto SJ juga membuat struktur paroki yang dituangkan dalam Pedoman Pelaksanaan Dewan paroki. Beliau juga memperhatikan kesenian Jawa antara lain dengan membeli gamelan dan menghidupkan �macapat� yang kemudian diintegrasikan dalam liturgi.

Rama Johanes Abdipranata SJ (berkarya di Gamping 1992-1993)

Rama Johanes Abdipranata SJ berkarya di Gamping cukup singkat, namun melekata di hati umat, terlebih karena khobah yang disampaikan bermutu dan sungguh dipersiapkan. Beliau dikenal amat disiplin, hati-hati dalam berkata maupun berbuat, akrab dan dekat dengan umat juga dengan generasi muda.

Karya peninggalan beliau seperti menggalakkan sarasehan, membuat ruang pertemuan dan sekretariat paroki. Masih banyak rencana yang akan dikerjakan, namun beliau harus segera meninggalkan Paroki Gamping untuk bertugas sebagai Socius Magister Novis Serikat Yesus di Girisonta.

Rama Johanes Mardiwidayat SJ (berkarya di Gamping 1993-1997)

Rama Johanes Mardiwidayat SJ hadir dengan tugas mempersiapkan paroki yang dikelola oleh Serikat Yesus untuk diserahkan kepada pihak Keuskupan Agung Semarang. Tugas itu beliau urai dalam empar prioritas:
1. Pembenahan struktur paroki;
2. Upaya membuat paroki menjadi swadana dan mandiri;

Menyempurnakan dengan pilar-pilar yaitu Liturgia, Kerigma, Koinonia, Diakonia, dan Marturia (kesaksian). Pilar-pilar itu kemudian ditopang dengan Pembangunan dan Dana-Usaha.

Dalam bidang usaha dana beliau merintis pendirian Koperasi Cinta Kasih (KC K) dan Tabungan Cinta Kasih (TCK) dengan tujuan untuk rencana Renovasi Gereja ke depan. Juga membuat Forum Sarasehan Rebo Pisanan.

Rama Christophorus Sutrasno Purwanto Pr (berkarya di Gamping 1997-2001)

Rama Christophorus Sutrasno Purwanto Pr adalah rama diosesan yang pertama bertugas di Paroki Gamping setelah pengelolaannya diserahkan dari Ordo Yesuit. Dalam perkembangannya beliau mendorong blok-blok di lingkungan untuk iman umat. Juga mendorong sarasehan-sarasehan di tingkat paroki, wilayah, maupun lingkungan.

Rama Christophorus Sutrasno Purwanto Pr juga merealisasikan pembelian tanah sebelah selatan gerja yagn saat ini digunakan untuk parkir. Pada tahun 2001 beliau mengadakan peringatan Pesta Nama ke � 40 tahun bersamaan dengan Krisma. Pada puncak perayaan Pesta Nama Gereja Gamping menghadirkan Bupati Sleman, Ibnu Subiyanto.

Rama Jakobus Winarto Widyosumarto Pr (berkarya di Gamping 2001-2007)

Rama Jakobus Winarto Widyosumarto Pr dikenal dekat dengan umat, menerapkan pelayanan murah hati sehingga sering disebut �rama misa�. Prinsip yang dijalankan adalah pembangunan umat paroki sebagai gereja kecil.

Semasa berkarya di Gamping telah memekarkan lingkungan di Wilayah Brayat Minulya Balecatur menjadi 6 (enam) lingkungan, yaitu dengan bertambahnya Lingkungan Santa Margaretha Gejawan Indah Puri. Di akhir masa karyanya di paroki Gamping memekarkan Wilayah Santo Aloysius Gonzaga dari 2 (dua) lingkungan menjadi 3 (tiga) lingkungan dengan bertambahnya Lingkungan Santa Veronika Gesikan III.

Setelah gempa bumi melanda Yogyakarta pada 27 Mei 2006, maka tugas yang paling berat adalah pembangunan kembali fisik gereja dan pastoran. Setelah perbaikan gereja 90 % terselesaikan, beliau digantikan oleh Rama Fransiskus Asisi Suntoro mulai 15 Juli 2007.

Sumber :http://historiadomus.multiply.com/journal/item/40/027_Sejarah_Gereja_Paroki_Santa_Maria_Assumpta_Gamping
Gambar : http://baitallah.wordpress.com/

Monday, February 20, 2012

Sejarah Gereja Hati Kudus Yesus Surabaya

Sejarah berdirinya Gereja Katolik Hati Kudus Surabaya tidak terlepas dari proses perkembangan umat katolik di Gereja Maria Geboorte (Gereja Kelahiran St. Perawan Maria) Kepanjen. Gereja yang pertama kali berdiri di kota Surabaya ini umatnya berkembang pesat, sementara pada masa itu Surabaya sebagai kota pelabuhan dengan tranportasi sungai dari utara menuju selatan berpengaruh pula berkembangnya umat ke wilayah selatan. Karena umat katolik di wilayah Surabaya selatan semakin berkembang pesat dan Gereja Kepanjen tidak menampung lagi maka timbullah pemikiran untuk membangun gereja baru di Surabaya bagian Selatan.

Catatan rapat tanggal 14 Mei 1911 timbul rencana penyediaan lahan untuk dibangun gereja, yaitu :

1. Menaksir persil di Tunjungan dekat apotik Rathkamp, luas 800 meter persegi dengan harga 24.000 Gulden.
2. Persil di Embong Wungu-Kaliasin, dengan pertimbangan jarak antara Surabaya Selatan dengan Surabaya kota tidak jauh, dan terletak persis di di tengan persimpangan jalan utama seluas 2633 meter persegi, dan jika dirasa kurang luas bisa ditambah seluas 1678 meter persegi dengan harga 43000 Gulden. Para suster sangat tertarik dengan persil ini, selain tempatnya yang strategis kalkulasi pembayarannyapun sesuai dengan kemampuan Gereja yaitu dengan cara kredit dalam waktu 1 tahun. Akan tetapi rencana tersebut gagal dikarenakan ada pemberitahuan tiba-tiba dari Kotapraja bahwa akan ada rencana pembuatan saluran air, sebab hasil survey membktikan bahwa air tanah di daerah ini masih setinggi 0,82 di atas paal rooster, akibatnya akan berbahaya jika di atas tanah itu dibangun sebuah gedung besar, akan terjadi ketidakseimbangan �berat jenis�
3. Sebuah persil di tegal sari dengan luas 6618 meter persegi, dengan harga 5 Gulden per meter persegi.
4. Di Ketabang ada tanah yang bisa dipergunakan tetapi tidak boleh dibeli, hanya boleh disewa selama 75 tahun.

Berdasarkan data tanggal 27 April 1914 mencatat bahwa ada rencana pengadaan obligasi sebesar 50.000 Gulden, tetapi sangat disayangkan hingga tanggal 31 Juli 1915 tidaki berhasil diwujudkan, selain itu ada juga protes dari warga Tegalsari untuk menutup tanah tersebut. Akhirnya tanah di Tegalsari tersebut diabaikan, dan dalam waktu satu tahun seorang makelar berhasil menjual kepada Sositet Cocordia dengan harga 132.360 Gulden, dan persil yang di jalan Embong Wungu/Kaliasin juga terjual kepada kepada perusahaan dengan harga 125 Gulden..

Polemik di mana letak gereja baru di Surabaya selatan akan dibangun berlangsung hingga tahun 1919. Pada tahun ini ada 2 persil tanah yang diincir untuk melanjutkan rencana semula:

1. Di daerah Hoogendorplaan, dengan luas tanah 7500 m2 diabatasi oleh jalan Reestraat, dan Jalan Idenburgstraat, dan jalan Brouwerstraat
2. Di Jalan Anita Bulevard (jalan Dr. Sutomo yang kini berubah menjadi Jl. Polisi Istimewa), dengan luas tanah 4200 m2 dan berdekatan dengan persil di Jalan Boschlaan dengan luas 3000 m2.

Akhirnya setelah melakukan pembahasan dengan intensif maka ditetapkan persil di Jl. Anita Boulevard dan jalan Boschlaan yang dipakai untuk dibangun gereja dan pastoran baru untuk Wilayah Surabaya Selatan. Tahap awal perencanaan pembangunan diserahkan kepada arsitek Mr. Beek dengan biaya yang dibutuhkan sebesar 160.000 Gulden. Rancangan desain gereja dibuat oleh arsitek ED Cypress Bureu dengan rangka denah berbentuk empat persegi panjang dan konstruksi bentuk Basilika dibangun oleh biro arsitek HUSWIT-FERMONT.

Upacara peletakan batu pertama pembangunan gereja Hati Kudus Yesus oleh romo Fleerakkers SJ. pada tanggal 11 Agustus 1920. Pada tanggal 21 Juli 1921 gereja sekaligus rumah pasturan diberkati oleh Mgr. Luypen dan diberi nama Gereja Hati Kudus Yesus Surabaya.

Romo-romo yang berkarya di Paroki Hati Kudus Yesus
1. Rm.Flerecjere, SJ. Th.1921-1923 (pastur paroki)
2. Rm. C. Klamer, CM Th. 1923 (pastur paroki)
3. Rm. C.J.J. Hal, CM Th. 1929 (pastur paroki)
4. Rm. TH. A, Smet, CM Th. 1929
5. Rm. W.J. Maessen Th. 1930
6. Rm. J.J. Zoetmulder, CM Th. 1934 (Vikaris Apostolik)
7. Rm. W.C. Van der Brand, CM Th. 1935
8. Rm. J.B. Schilder, CM Th. 1936
9. Rm. M. Th. Smet CM Th. 1936
10. Rm. C.A.A. Schoenmakers,CM Th. 1937
11. Rm. A.J.C. Ijlst, CM Th. 1937
12. Rm. Van Dril, CM Th. 1938 (pastur paroki)
13. Rm. P.A. Bastiaansen, CM Th. 1939 (pastur paroki)
14. Rm Th. H.Heuvelmans CM Th. 1939
15. Rm. I.J.S. Dwidjosoesastro, CM Th. 1941
16. Rm. M. Verhoeks, CM Th. 1941
17. Rm. Louis Nyssen, CM Th. 1943
18. Rm. TH. A, Smet, CM Th. 1947
19. Rm. J.A. Verbong, CM Th. 1947
20. Rm. P.J.A. Heulmans CM Th. 1948
21. Rm. Van Drieln CM Th. 1949
22. Rm. N.P.J. Boonekamp, CM Th. 1950
23. Rm. G.S. Bakel, CM Th. 1950
24. Rm. Th..P.H. Van Densen, CM Th. 1950
25. Rm. Kumoro Widjodjo, CM Th. 1951
26. Rm. J.J. Van Steen, CM Th. 1952
27. Rm. H.C. Haest, CM Th. 1953 (Rektor RSK)
28. Rm. Th.H Heuvelmans, CM Th. 1953
29. Mgr. J. Klooster, CM. Th. 1953 (Uskup SBY)
30. Rm. F. Peterse, CM Th. 1953
31. Rm. G.J. Boonekamp, CM Th. 1953
32. Rm. W.C. Van der Brand, CM Th. 1954
33. Rm. P.A. Boonekamp, CM. Th. 1955 (Sekr. Keuskupan)
34. Rm. A.A. Hadisoedarso, CM Th. 1955
35. Rm. J.J. Raets, CM Th. 1958
36. Rm. M. Van Driel, CM Th. 1959
37. Rm. L. Karyasumarta, CM Th. 1963
38. Rm. J.A.W. M. Van Mensvoort, CM Th. 1963
39. Mgr. A.J. Dibjokarjono, Pr. Th. 1964 (Uskup SBY)
40. Rm. H.J.G. Veel, CM Th. 1965 (Rektor RSK)
41. Rm. L.V. Cahyokusumo, CM Th. 1965
42. Rm. Louis Pandu CM. Th. 1965
43. Rm. H. Maessen CM. Th. 1966
44. Rm. S. Reksosusilo, CM Th. 1966
45. Rm. L. Suwondo Siswoatmodjo, CM Th. 1968
46. Rm. J.J. Reintjes, CM Th. 1970
47. Rm. Benny J. Agus Maryanto, Pr. Th. 1972
48. Rm. M. Utomo Purnomo, CM Th. 1973
49. Rm. B. Martokusumon CM Th. 1975
50. Rm. H. Nieesen, CM Th. 1977
51. Rm. T. Karyono Sapto Nugroho CM Th. 1978
52. Rm. F.X. Urotosastro Pr Th. 1979
53. Rm. J.H. Purwoputranto Pr Th. 1981
54. Rm. C. Reksosubroto CM Th. 1982 (pastur paroki)
55. Rm. FX. Hardi Aswinarno Pr Th. 1984
56. Rm. FX. Dumo Purnomo Pr Th. 1984
57. Rm. J. Haryono CM Th. 1985 (Bend. Keuskupan)
58. Rm. A. Wetzer SVD Th. 1986
59. Rm. A. Wahyo Bawono Pr. Th. 1987
60. Rm. F. Hardjodirono CM Th. 1989 (pastur paroki)
61. Rm. B. Justisianto Pr Th. 1989 (sek.Kesuskupan)
62. Rm. Y. Eko Budisusilo Pr Th. 1990
63. Rm. Alex B. Sokaleksmana CM Th. 1991 (bendahara keuskupan)
64. Rm. Chr. Katidjanarso CM Th. 1991
65. Rm. I.Y. Sumarno Pr Th. 1992
66. Rm. Anton Budianto Tanalepie CM Th. 1993 (pastur paroki)
67. Rm. A. Dwijoko Pr Th. 1994
68. Rm. Gengsi Sucahyo Pr Th. 1994
69. Mgr. J. Hadiwikarta, Pr Th. 1994
70. Rm. Y.P.H. Jelantik Pr. Th. 2000 (pastur paroki)
71 Rm. P. Ikwan Wibowo Pr Th. 2000
72. Rm. A. Gosal Pr Th. 2000
73. Rm. Dicki Rukmanto pr Th. 2006
74. Rm A. Eko Wiyono Pr Th. 2007
75. Rm. Ch. Trikuncoro Yekti Pr Th. 2007
76. Rm. Y. Eko Budi Susilo Pr Th. 2007 (pastur paroki)

Sumber : http://www.gerejahky.org/

Recent Post