Latest News

Monday, April 16, 2012

Paroki St. Aloysius Gonzaga Cijantung

PROFILE PAROKI
Buku Paroki :

Pada tanggal 21 Juni 1979 resmi menjadi paroki ke-32 di KAJ. Peletakan batu pertama pembangunan gedung gereja dilangsungkan tanggal 17 Februari 1980. Diberkati oleh Uskup Agung Leo Soekoto, SJ dan diresmikan pemakaiannya oleh Gubernur DKI Jakarta Letjen Purn. Tjokropranolo pada tanggal 23 Nopember 1980.

Alamat Paroki :
Jl. Pendidikan III/2, Cijantung II, Jakarta Timur 13770
Telepon 8400465, 8408958

Pastor Paroki :
Christoforus Harry Liong, Pr
Agustinus Malo Bolu, CSsR

Statistik umat (per Agustus 2006)
Jumlah Wilayah : 12
Jumlah Lingkungan : 43
Jumlah KK : 1,910 KK
Jumlah umat : 8,500 jiwa

Batas wilayah :
a. Sebelah utara berbatasan dengan Condet Batuampar, wilayah Paroki Cililitan
b. Sebelah barat berbatasan dengan sungai Ciliwung yang memisahkan paroki Cijantung dengan Paroki Jagakarsa.
c. Sebelah timur berbatasan dengan jalan tol Jagorawi yang memisahkan paroki Cijantung dengan paroki Kalvari (timur laut) dan paroki Cilangkap (timur)
d. Sebelah selatan berbatasan dengan propinsi Jawa Barat di mana paroki terdekat adalah Paroki St. Thomas, Kelapa Dua

UMAT PERDANA - Cikal bakal itu tumbuh dari komunitas tentara
Berdirinya paroki St. Aloysius Gonzaga Cijantung tidak terlepas dari peranan Pusat Rawatan Rohani Katolik TNI AD beserta keluarga Katolik baik sipil maupun militer yang berada di wilayah Cijantung. Selama belasan tahun mereka menghidupi kebutuhan rohaninya dengan berbagai kegiatan-kegiatan sekitar altar. Sejarah mencatat bahwa merekalah sesungguhnya penabur benih-benih sebagai cikal bakal umat di paroki ini. Bagaimana kisah ini berawal, berikut ini adalah penuturan beberapa saksi hidup yang mencoba meniti kembali perjalanan mereka.

Bermula dari adanya proyek pembangunan perumahan Angkatan Darat yang diberi nama Proyek Gatot Subroto. Proyek ini muncul sekitar tahun 1960-an, yang merupakan rencana yang sudah diatur oleh TNI khususnya Angkatan Darat. Saat itu sudah banyak perumahan TNI AD yang dibangun seperti komplek Rajawali, Gunung Sahari, Ksatrian dan Kota namun jumlahnya tidak memungkinkan lagi menampung anggotanya sehingga perlu dilakukan penambahan mengingat area yang ada sangat terbatas. Daerah Cijantung menjadi salah satu pilihan untuk mengembangkan proyek ini karena memiliki lahan yang sangat luas yang terbentang sepanjang komplek Cijantung I (RPKAD), Cijantung II (Komplek Perwira dan Komplek Sederhana). Bahkan di kemudian hari pembangunan perumahan ini mencapai tahap berikutnya hingga mencapai daerah Cijantung III (Komplek Yonkav 7), dan Cijantung IV (Komplek Hubad, Komplek Yonkav 1).

Adanya proyek ini menjadikan banyak perpindahan anggota tentara AD dari daerah Kota menuju Cijantung secara besar-besaran. Dalam proses pemindahan ini sangat dimungkinkan terdapat beberapa tentara yang beragama Katolik namun jumlahnya sangat sedikit. Tidak mudah menjumpai umat Katolik di sekitar wilayah Cijantung I dan II karena mereka tersebar ke berbagai komplek. Melalui beberapa perjumpaan dengan segelintir orang Katolik dan demi memenuhi kebutuhan rohani akhirnya diadakan pertemuan rutin yang dihadiri beberapa orang Katolik. Sejak itu terbentuklah sebuah komunitas orang Katolik TNI AD di Cijantung.

Adanya komunitas ini sangat membantu diantaranya mengatur keberangkatan anggota yang ingin pergi mengikuti misa hari Minggu ke paroki terdekat. Biasanya mereka mengikuti perayaan ekaristi di paroki Bidaracina (Polonia) atau malah di Gereja Katedral. Bagi anggota yang mempunyai kendaraan sendiri dapat membawa sebagian dari mereka untuk berangkat bersama-sama sementara bagi yang tidak mendapatkan fasilitas kendaraan maka komunitas ini yang berusaha meminjam kendaraan dinas. Pada masa itu di mana alat transportasi tidak mudah dijangkau, rasanya terlalu jauh dan amat sulit jika harus menghadiri misa hari Minggu tanpa memakai kendaraan.

Seiring dengan perjalanan waktu, perkembangan umat semakin lama semakin bertambah meski belum mencapai angka ratusan. Di antara mereka sudah saling mengenal satu dengan yang lainnya. Maka tidaklah mengherankan jika ikatan emosional di antara mereka sangat kental bagai keluarga sendiri.

Ada suatu pengharapan di dalam benak mereka seandainya mereka bisa mengadakan suatu misa di komplek mereka sehingga tidak perlu pusing-pusing lagi untuk mencari kendaraan pergi dan pulang antara Cijantung dan Bidaracina. Berawal dari pengharapan inilah akhirnya, demi menanggapi kebutuhan ini, mereka mencoba mewujudkannya dengan menghubungi bagian Pusat Rawatan Rohani (Pusroh) Katolik TNI AD yang berada di Jalan Gunung Sahari. Tujuannya sudah jelas yaitu agar diusahakan ada misa kudus di komplek Cijantung. Permintaan itu tidak serta merta langsung dikabulkan karena harus dikaji terlebih dahulu di antaranya adalah bahwa untuk menyelenggarakan suatu misa kudus umat yang terlibat paling sedikit harus 50 orang, sementara umat perdana di Cijantung hanya ada 12 keluarga. Maka demi mencukupi quota ini, beberapa aktivis, sebut saja salah satunya adalah Bapak FX Djokosoejono, berinisiatif mendatangkan beberapa anggota yang adalah para katekis militer dari komplek Jalan Gunung Sahari, komplek Rajawali, dan komplek Ksatrian untuk ikut serta dalam perayaan ekaristi tersebut.

Sejarah mencatat bahwa misa perdana bagi umat Cijantung terwujud pada tahun 1962. Pastor Ch. Widjajasuparto, Pr dari Pusroh Katolik AD yang mempersembahkan misa ini dan dihadiri oleh 12 KK ditambah beberapa orang katekis. Sejak saat itu, umat Cijantung bisa mengikuti perayaan ekaristi tanpa harus jauh-jauh pergi ke Paroki Bidaracina. Untuk selanjutnya penyelenggaraan misa ini hanya dilaksanakan sebulan sekali dengan tempat yang selalu berpindah-pindah dari rumah ke rumah mengingat jumlah mereka masih sedikit.

Dapat dibayangkan bahwa dalam setiap pertemuan yang sebulan sekali itu terbangun suasana yang lebih akrab dan hangat. Kadang-kadang selepas pertemuan itu masih dilanjutkan dengan acara yang lain, sebut saja misalnya permandian bayi, upacara perkawinan dan pelajaran agama. Walaupun pertemuan - pertemuan berjalan cukup panjang dan melelahkan, umat tetap semangat dan tidak merasa bosan.

Melihat antusias yang begitu besar, akhirnya Pusrohkat AD menunjuk Bapak FX Djokosoejono sebagai penanggungjawab komunitas di wilayah ini khususnya dalam hal penyelenggaraan misa. Tugas ini meliputi mencari pastor, menyiapkan tempat untuk misa hingga memobilisasi umat agar bisa datang menghadiri misa sebanyak-banyaknya.

Memasuki tahun 1964 umat Cijantung telah berjumlah 125 jiwa. Jumlah sebanyak ini rupanya sudah tidak mungkin lagi menyelenggarakan misa dari rumah ke rumah. Ketika jumlah umat semakin bertambah, maka kebutuhan tempat untuk berkumpul yang lebih memadai mulai dirasakan. Mulai saat itulah perayaan ekaristi dilaksanakan dengan berpindah-pindah dari satu gedung ke gedung yang lain. Sebut saja salah satunya adalah ruang kelas SD Persit KWK Cijantung II. Kemudian dari sini lalu pindah di ruang tunggu Poliklinik Kesdam V/Jaya Cijantung II. Di tempat ini diperlukan persiapan-persiapan yang cukup lama mulai dari mengepel lantai, mengubah ruang loket menjadi ruang pengakuan dosa dan mengatur bangku-bangku. Sementara itu pastor yang memimpin perayaan ekaristi masih didatangkan dari Jalan Gunung Sahari.

Dari poliklinik lalu kemudian pindah lagi ke ruang kantin RPKAD di Cijantung I. Di tempat ini segala kesibukan masih tetap sama, bahkan harus lebih cepat lagi mengingat seusai perayaan ekaristi segera disusul upacara kebaktian dari saudara-saudara yang beragama Kristen Protestan. Di tempat ini pula perayaan Natal dan Paskah serta upacara-upacara perkawinan pernah diadakan. Kemudian dari ruang kantin RPKAD pindah lagi ke koridor barak bujangan anggota RPKAD. Di kemudian hari misa itu berpindah ke salah satu ruang belajar prajurit di deretan kantor resimen.

Begitulah situasi yang terjadi saat itu. Kebutuhan tempat ibadat begitu sangat mendesak yang membuat para aktivis ini harus menyiapkan tempat yang cukup luas, mengubahnya menjadi altar lalu harus pula berpindah-pindah. Sungguh suatu perjuangan yang berat yang harus dilakoni sebagai konsekuensi logis terpenuhinya kebutuhan rohani demi berkembangnya iman umat.

Beberapa aktivis lain, antara lain Bpk. R.F. Soedirdjo merintis suatu wadah pendidikan tingkat SLTP pada tahun 1965 yang diberi nama SMP Gatot Soebroto. Sekolah ini menempati 4 buah gudang RPKAD di komplek Cijantung I. Sekolah yang dikelola bersama oleh Bapak M. Soemardi dan Bapak FX Djokosoejono ini mendatangkan guru pengajar dari para katekis militer yang berasal dari Gunung Sahari, Ksatrian-Bearland, dan Rajawali. Para katekis yang menjadi membantu mengajar itu antara lain Kapten YM Barus, Letnan F. Winardi, Letnan Sumasto, Letnan MYB Suyanto, Kapten RE. Soeharto dan Romo F. Salim. Usaha ini banyak dibantu oleh Letkol Sarwo Edhi Wibowo, komandan RPKAD waktu itu, dan Pusroh Katolik AD. Kontribusi yang tidak bisa dilupakan adalah sejak SMP ini berdiri pelaksanaan ibadat mempunyai tempatnya yang agak tetap dengan memakai salah satu ruang di sekolah ini. Perayaan ekaristi menjadi dua kali sebulan ditambah misa Jumat pertama pada sore hari. Pada tahun itu jumlah umat mencapai 200 jiwa. Pada perkembangan selanjutnya, sejak tahun ajaran 1972, SMP Gatot Soebroto ini dijadikan sekolah negeri dengan nama SMP Negeri 103 Jakarta

Dua tahun kemudian, tepatnya 1967 atas prakarsa kepala Pusrohkat AD, dalam hal ini Romo Letkol N. Pudjohandojo, Pr didirikanlah SMAK Ign. Slamet Riyadi (pernah diwartakan dalam iklan untuk pembukaannya di harian Kompas) sebagai kelanjutan jenjang pendidikan SMP yang telah dirintis sebelumnya. Prakarsa ini direstui oleh Uskup Agung Jakarta Mgr. A. Djajasepoetra, SJ. Sekolah ini menempati komplek yang sama dengan SMP Gatot Soebroto di komplek gudang RPKAD Cijantung I. Tempat ibadat dari SMP Gatot Subroto kemudian dipindahkan ke aula sekolah ini.

Pada akhir 1968 utusan umat Cijantung yaitu alm. Bapak Heribertus Slamet dan Bapak FX Djokosoejono datang menghadap Uskup Agung Mgr. Djajasepoetra di Klender untuk memohon agar Keuskupan Jakarta berkenan membangun kelas-kelas untuk belajar bagi siswa-siswi SMAK Ign. Slamet Riyadi di tanah hibah TNI AD ke Pusrohkat AD yang kini ditempati oleh Yayasan Ign. Slamet Riyadi. Permohonan yang disaksikan oleh Romo Looyman SJ itu dikabulkan dengan syarat akan dibangun tiga kelas dan sebuah aula yang harus dipakai untuk penyelenggaraan misa.

Tahun 1969 jumlah umat telah mencapai 300 jiwa. Perayaan ekaristi dan ibadat sabda masih tetap dilakukan dua kali dalam sebulan. Tempat ibadat akhirnya menggunakan aula SMAK Ign. Slamet Riyadi yang baru didirikan oleh keuskupan Jakarta. Dalam ibadat sabda umat dapat menyambut komuni kudus yang disiapkan dari Paroki Bidaracina.

Umat Cijantung terus berkembang baik dalam jumlah maupun partisipasinya. Awamlah yang senantiasa menggerakkan kehidupan menggereja ini. Ketika pelayanan pastoral menjadi sangat minim saat itu peranan awam justru menjadi ujung tombaknya. Memang hidup menggereja tidak hanya menjadi urusan kaum klerus tetapi juga awam. Dan ini sungguh terbukti di Cijantung yang berkembang melalui semangat menggereja kaum awamnya yang cukup konsisten dalam menanggapi kebutuhan rohani umat. Ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Stepanus Mujilan, yang namanya mulai dikenal di KAJ ketika 1973 mengunjungi umat Cijantung untuk turut membangkitkan semangat partisipasi umat. Pada saat itu jumlah umat Cijantung telah mencapai lebih dari 500 jiwa.

MENYANDANG STATUS STASI � Setelah 12 tahun perkembangannya
Sejak misa perdana diselenggarakan pada tahun 1962 yang dilaksanakan oleh Pusrohkat TNI AD kehidupan menggereja umat semakin lama semakin meningkat malah cenderung berkembang. Beberapa pelayanan pastoral selain misa juga diadakan seperti permandian bayi, pemberkatan perkawinan dan sebagainya. Namun karena Pusrohkat itu tidak memiliki kewenangan territorial di Keuskupan Agung Jakarta maka segala tanggung jawab administrasi umat menjadi kewenangan keuskupan. Untuk itu segala pelayanan pastoral yang terkait dengan administrasi diserahkan sepenuhnya kepada paroki terdekat yang waktu itu berada di paroki Santo Antonius Padua, Bidaracina. Maka sejak itulah Cijantung menjadi bagian dari wilayah Paroki Bidaracina dengan pelayanan pastoral sepenuhnya ditangani oleh Pusrohkat TNI AD.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Cijantung waktu itu sudah pantas menyandang status stasi di bawah Paroki Bidaracina? Tidak ada catatan resmi mengenai hal ini namun dari beberapa nara sumber yang sudah digali termasuk dari saksi sejarah pendiri Paroki Cijantung, bahwa secara de facto sejak 1962 umat Cijantung sudah mandiri artinya umat Cijantung dapat tumbuh dengan tidak bergantung pada induknya yaitu Paroki Bidaracina malah dalam hal penyelenggaraan pelayanan pastoral, seperti misa, pelayanan sakramen, dan ibadat-ibadat lain mampu mengusahakan sendiri baik tempat maupun tenaga pelayannya secara mandiri. Selain masalah administrasi, Cijantung memang sudah terbiasa mandiri mengingat komunitas mereka adalah komunitas tentara di mana dari atasan hingga bawahan memiliki jalur perintah tersendiri yang tidak dimiliki umat lain. Maka ketika kebutuhan rohani muncul jalur yang ada berada di bawah pendampingan Pusrohkat TNI AD.

Menurut catatan sejarah paroki Bidaracina dalam buku sejarahnya yang berjudul �JALAN KITA� hal. 28 menyebutkan demikian : ��Dalam perjalanan hidupnya Paroki Bidaracina melahirkan Paroki baru yaitu : Paroki Cililitan (1968). Kemudian hari Paroki Cililitan melahirkan Paroki Cijantung (1979). Dahulu Cililitan dan Cijantung termasuk territorial Paroki Bidaracina�� Kalimat ini memang tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa Cijantung pernah menjadi stasi Bidaracina namun hanya wilayah pelayanannya mencapai ujung selatan Bidaracina.

Dua tahun setelah Paroki St. Robertus Bellarminus, Cililitan berdiri atau tepatnya tahun 1970, Romo Rob Bakker SJ, pastor kepala paroki Cililitan, mempertimbangkan untuk memasukkan Cijantung menjadi salah satu stasinya karena secara territorial sangat berdekatan dengan Cililitan. Dan niat ini baru terwujud empat tahun kemudian. Maka sejak 1974 resmilah Cijantung sebagai stasi di paroki Cililitan. Ini berarti segala pelayanan pastoral ditangani langsung dari Paroki Cililitan. Jumlah umat pada waktu itu telah mencapai 375 jiwa.

Sejarah telah mencatat bahwa proses perkembangan umat Cijantung memiliki ciri khas tersendiri di mana kemandirian umat bukan atas pendampingan paroki induknya melainkan karena adanya komunitas tertentu yang didukung oleh institusinya dalam hal ini TNI AD. Maka sebenarnya ketika Paroki Cililitan baru berdiri umat Cijantung sudah mandiri dalam hal penyelenggaraan pelayanan pastoral yang didukung oleh Pusrohkat TNI AD.

Ada rentang waktu 6 tahun antara 1968 � 1974 setelah Paroki Cililitan berdiri, bahwa Cijantung masih menjadi bagian dari paroki Bidaracina. Apakah Cijantung dan Cililitan sudah menjadi stasi saat berada di wilayah Paroki Bidaracina atau memang baru 1974 itu Cijantung menjadi stasi ketika berada di paroki Cililitan? Berbagai sumber memberikan jawaban dengan pasti bahwa de jure Cijantung menjadi stasi di bawah Paroki Cililitan meski kenyataan sejarah mencatat bahwa kemandirian Cijantung sudah teruji sejak 1962 namun untuk menjadi sebuah stasi membutuhkan persiapan lain selain kemandirian yakni dukungan yang cukup intens dari pimpinan paroki Bidaracina.

Sejak resmi menjadi salah satu stasi Paroki Cililitan tugas penggembalaan umat ditangani oleh Pastor JB. Wiyana Haryadi, SJ dan kadang-kadang dibantu oleh para pastor militer. Tugas-tugas pastoral lebih ditingkatkan dan yang terpenting adalah adanya tempat ibadat yang layak dan tidak berpindah-pindah. Sarana yang dipakai adalah aula SMAK Ign. Slamet Riyadi yang dibangun di atas tanah Angkatan Darat oleh Keuskupan Agung Jakarta untuk menjadi tempat misa yang lebih luas dan menetap. Pengurus Dewan Stasi secara terus menerus menghimpun umat-umat di semua penjuru stasi tak terkecuali yang berada di luar komplek Cijantung yang wilayahnya meliputi Condet Balekambang (Utara), Gandaria (Selatan) hingga Cilangkap (Timur). Setiap penjuru stasi ditelusuri untuk mencari dan menemukan umat yang terpencil. Siapa yang menyangka bahwa jumlah umat ketika itu mencapai 729 jiwa yang terdiri dari : 184 orang tua; 91 dewasa; 438 anak-anak; 16 katekumen.

Dan demi memantapkan pembinaan umat maka dibentuklah lingkungan-lingkungan. Saat stasi, Cijantung sudah membentuk 7 lingkungan yang terdiri dari :
- Lingkungan Cijantung I
- Lingkungan Cijantung II (Sederhana)
- Lingkungan Kampung Susukan
- Lingkungan Ciracas
- Lingkungan Kampung Gedong
- Lingkungan Cibubur
- Lingkungan Munjul
- Lingkungan Gandaria

Empat tahun kemudian pada akhir tahun 1978 jumlah umat sudah mencapai 1.800 jiwa. Peningkatan jumlah umat ini selain karena permandian orang dewasa pada hari raya Paskah (tahun 1978 ada 27 orang baptisan dewasa) juga permandian bayi dan banyak pula kaum pendatang. Jumlah lingkungan telah dimekarkan menjadi 13 lingkungan karena memang perlu dimekarkan demi kebutuhan pelayanan umat

Tanggal 11 Februari 1979 Romo JB Wiyana Haryadi, SJ mengakhiri masa tugasnya di Cijantung. Beliau digantikan Romo JB Martosudjito, SJ yang sebelumnya bertugas di Paroki Pademangan. Selama 4 bulan pertama Romo Marto, demikian panggilan akrabnya, masih harus tinggal di Pastoran Cililitan karena belum ada rumah untuk pastor di Cijantung. Namun demikian, romo yang ditahbiskan di India ini bertugas sepenuhnya untuk Cijantung. Dengan cermat beliau melanjutkan usaha-usaha yang telah dirintis pendahulunya. Usaha menjadikan Cijantung sebagai paroki tersendiri sekaligus pembangunan sebuah gereja sebagai tempat ibadat yang tetap menjadi motivasi umat untuk terus membangun sikap mental berdikari, swadaya dan swasembada umat dituntut.

Setelah pastoran sementara selesai dibangun di komplek Ign. Slamet Riyadi, pada tanggal 20 Juni 1979 Romo Marto pindah dari pastoran Cililitan ke pastoran Cijantung.

Semenjak itu, misa harian mulai diadakan setiap pagi hari jam 05.45. Misa kudus hari Minggu menjadi tiga kali, yaitu pada hari Sabtu jam 18.00, hari Minggu jam 06.00 dan 08.00 di Aula Slamet Riyadi.

Sensus umat kembali digalakkan lagi untuk menggali sumber daya yang dimiliki umat Cijantung. Partisipasi umat lebih dibangkitkan antara lain dengan kewajiban menyerahkan iuran kartu merah.

PAROKI KE-32 ITU ADALAH CIJANTUNG
Setelah kurang lebih lima tahun berstatus stasi, tanggal 21 Juni 1979 Uskup Agung Mgr. Leo Soekoto, SJ akhirnya meresmikan stasi Cijantung menjadi paroki baru ke-32 di KAJ dengan nama Paroki St. Aloysius Gonzaga. Pastor Kepala Parokinya adalah Romo JB Martosudjito SJ. Jumlah umat saat Cijantung menjadi paroki mencapai 2,008 jiwa (385 KK) terbagi dalam 13 lingkungan.

Dengan menyandang predikat paroki ini, rencana baru muncul yaitu bagaimana membangun gedung gereja. Semangat yang menggebu-gebu ini ditandai dengan dibentuknya panitia persiapan pembangunan dengan dengan tugas menggalakkan usaha-usaha pencarian dana. Umat ikut berprihatin dalam keikutsertaannya membangun. Suasana pembangunan rumah ibadat benar-benar menjiwai setiap pertemuan dan pembicaraan umat di lingkungan-lingkungan.

Pada tanggal 17 Februari 1980 dimulai pembangunan gedung gereja yang ditandai peletakan batu pertama oleh Mgr. Leo Soekoto, SJ Uskup Agung Jakarta. Dalam rencana itu, sebuah komplek akan dibangun, di mana berdiri sebuah rumah ibadat, sebuah aula serbaguna dan gedung pastoran yang permanen. Pada tahap pertama dibangun gedung gereja dengan target waktu 8 bulan selesai. Dalam kotbahnya Mgr. Leo Soekoto menegaskan, ��kalau nanti gereja ini selesai dibangun, jangan sampai ada warga yang menyesal, karena untuk pembangunan gereja itu ia hanya menyumbang jauh di bawah kemampuannya; atau tidak menyumbang apa-apa, sebatang pakupun tidak; sebutir pasirpun tidak!...�

Kotbah ini cukup mengena. Semua warga bahu membahu sesuai dengan kemampuannya untuk mewujudkan berdirinya gedung gereja sesuai dengan targetnya. Mengenai target waktu pembangunan gereja ini, Romo Marto sempat mengingat kata-kata Uskup yang mengatakan demikian :
��dalam satu tahun lagi, saya akan tertawa. Tertawa senang kalau gereja Cijantung sungguh-sungguh selesai dibangun, atau tertawa mengejek kalau pembangunan belum selesai seperti janjinya��

Mendapat tantangan demikian, umat semakin bersemangat untuk segera menyelesaikan pembangunan gereja. Pencarian dana terus ditingkatkan antara lain dengan mengadakan �Malam Dana Pembangunan Gereja St. Aloysius Gonzaga� yang dilaksanakan pada tanggal 13 April 1980 di Flores Ballroom Hotel Borobudur Intercon-tinental. Dengan dibantu oleh Krisbiantoro sebagai MC, acara disemarakkan oleh para artis ibukota dan pagelaran sendratari dari padepokan Bagong Koesoediardjo.

Sementara untuk pembelian bangku-bangku gereja, sebagian dibantu oleh Bina Graha, khususnya melalui Sesdalobangnya waktu itu dipimpin Bapak Solihin GP. Pada akhirnya, walaupun ada perbedaan pendapat yang berujung pada pembubaran panitia pembangunan gereja/PGDP sebelum gereja itu selesai dibangun, semangat dan keinginan umat untuk memiliki gereja tetap berkobar dan kompak.

Delapan bulan setelah peletakan batu pertama atau tepatnya 23 November 1980, gedung gereja akhirnya diber-kati oleh Mgr. Leo Soekoto. Pada hari yang sama pula gedung gereja ini diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta, Bapak Tjokropranolo.

Di tengah semangat membangun yang terus menyala, 2,500 jiwa umat menyambut pemberkatan gedung gereja dengan penuh rasa syukur. Mereka kini telah memiliki gedung gereja yang cukup besar dan megah. Ketika Paroki Cijantung telah memiliki gedung gerejanya sendiri yang lebih permanen, wilayahnya telah tersebar cukup luas yang terbagi atas 4 wilayah dan 15 lingkungan yaitu :
Wilayah I :
Lingk. St. Yakobus Senior
Lingk. Sta Maria Dolorosa
Lingk. St. Yakobus Yunior

Wilayah II :
Lingk. Sta. Anna
Lingk. St. Yohannes
Lingk. St. Thomas
Lingk. St. Stanislaus Kotska

Wilayah III :
Lingk. St. Yohannes Berchmans
Lingk. St. Ignatius

Wilayah IV :
Lingk. Sta. Maria Ratu Rosario
Lingk. St. Carolus Borromeus
Lingk. St. Paulus
Lingk. Sta. Maria Asumpta
Lingk. St. Petrus
Lingk. St. Antonius

Pembangunan gedung gereja telah selesai namun langkah masih panjang karena masih ada 2 bangunan lagi yang harus berdiri yaitu gedung pastoran dan gedung serbaguna yang letaknya di kiri dan kanan gedung gereja. Maka tahun berikutnya mulailah memasuki tahap untuk membangun pastoran dan baru selesai pada bulan April 1982.

Mgr. Leo Soekoto sepertinya melihat bahwa tugas Romo Marto membangun paroki Cijantung sudah selesai dengan telah berdirinya 2 bangunan yaitu gereja dan pastoran. Pada tanggal 31 Juli 1982 Romo JB Martosoedjito, SJ harus mengakhiri masa tugasnya di Paroki Cijantung. Tiga tahun masa pengabdiannya dari menyiapkan paroki hingga membangun gereja benar-benar memiliki kesan yang sangat luar biasa bagi umat Cijantung. Mereka sepertinya tidak rela melepaskan Romo Marto dari Cijantung. Bagi sebagian umat yang merasa pernah berjuang bersama beliau dalam suka dan duka ini pasti akan menjadi kenangan tersendiri pada masa-masa 3 tahun pengabdian beliau.

Romo Marto digantikan oleh Romo Aloysius Soesiloharso Siswopranoto, SJ atau lebih dikenal dengan nama Romo Sis, yang sebelumnya berkarya di Paroki Pasar Minggu. Selain tugas penggembalaan umat, Romo Sis juga mengemban tugas khusus dari Uskup untuk membenahi persekolahan Ignatius Slamet Riyadi yang carut marut saat itu. Bagi Romo Sis Cijantung bukanlah daerah baru karena sejak tahun 1969 beliau pernah melayani umat di sini pada waktu menjadi pastor paroki di Bidaracina. Menurut catatan sejarah Paroki Bidaracina, Romo Sis bertugas di paroki tersebut pada tahun 1969 (Agustus?) setelah Romo Kijm, SJ pindah pada tanggal 24 Maret 1969.

Dalam melaksanakan tugas pastoralnya, beliau dibantu Romo F Mardi Prasetyo, SJ yang juga sempat membantu Romo Marto. Romo yang bertubuh kecil dan berambut keriting ini rupanya hanya sebentar berkarya di Cijantung. Pada tahun Januari 1984 beliau harus berangkat ke Roma untuk tugas studi di sana. Jadilah Romo Sis berjuang sendiri melayani umat Cijantung yang pada pertengahan 1983, jumlah umatnya telah mencapai sekitar 4,382 jiwa dan berkembang dalam 6 wilayah dan 23 lingkungan. Wilayah-wilayah dan lingkungan itu meliputi :

Wilayah I :
Lingk. St. Yakobus Senior
Lingk. Sta Maria Dolorosa
Lingk. St. Yakobus Yunior

Wilayah II :
Lingk. Sta. Anna
Lingk. St. Yohannes
Lingk. St. Thomas
Lingk. St. Stanislaus Kotska

Wilayah III :
Lingk. St. Theresia
Lingk. St. Mateus
Lingk. St. Markus
Lingk. St. Alfonsus

Wilayah IV :
Lingk. St. Petrus
Lingk. St Paulus
Lingk. St. Antonius
Lingk. St. Yaokim

Wilayah V :
Lingk. Sta. Maria Ratu Rosario
Lingk. Sta. Maria Asumpta
Lingk. St. Hieronimus
Lingk. St. Carolus Borromeus
Lingk. St. Agustinus

Wilayah VI :
Lingk. St. Ignatius
Lingk. St. Stephanus
Lingk. St. Yosef

Lima bulan berselang setelah kepindahan Romo Mardi, tepatnya tanggal 1 Juni 1984, hadir Romo Ign. Madya Utama, SJ untuk membantu tugas-tugas Romo Sis. Gagasan yang cukup menggemparkan dan ini menurut catatan beliau saat bertugas bersama dengan Romo Sis adalah mengembangkan kebijakan pastoran terbuka yang merupakan ide visitasi provinsilaat SJ di mana masa itu kecenderungan pastoran dan biara itu seperti rumah kaca, tak tersentuh oleh umat. Dengan lahirnya gagasan ini dan melihat keadaan umat Cijantung yang kebanyakan hidup dalam serba kekurangan, menjadikan pastoran seperti rumah mereka. Umat boleh masuk ke sana bahkan ke meja makan sekalipun.

Tanggal 8 Januari 1986 Romo Madya meninggalkan Cijantung untuk tugas belajar ke Philipina. Beruntung sebelum kepergian Romo Madya ini, pada bulan Nopember 1985, telah hadir di tengah-tengah umat Cijantung seorang Frater Senior yang turut membantu pelayanan pastoral yaitu Frater Emmanuel Widayat Tri Nugroho, Pr. Setelah membantu Romo Sis sekitar 9 bulan, tanggal 15 Agustus 1986 Fr. Widayat menerima tahbisan imamat dari Uskup Agung Jakarta. Kemudian beliau ditempatkan sebagai pastor pembantu di Paroki Cijantung tanpa masa adaptasi lagi.

MEMBANGUN SAMBIL BERBENAH DIRI
Membangun entah membangun fisik ataupun membangun umat menjadi pekerjaan rumah sebuah paroki baru. Kedua rencana ini harus berjalan beriringan sehingga ketika pembangunan fisik dijalankan, sikap mental umat juga disiapkan. Membangun fisik menjadi bagian yang tidak terpisahkan bagi Cijantung demi lancarnya pembangunan umat.

Ketika gedung gereja dan pastoran sudah berdiri, umat membutuhkan kenyamanan untuk mencapai komplek gereja. Ini tidak terkecuali membicarakan soal jalan. Pada saat itu, Jalan Pendidikan III yang merupakan akses satu-satunya menuju komplek gereja masih merupakan jalan tanah. Bila musim hujan tiba, kondisinya sangat becek dan membahayakan para pengguna jalan. Akhirnya disepakati bahwa paroki akan merenovasi jalan tersebut. Jalan sepanjang 250 meter dan lebar 4 meter itu kemudian diaspal mulus (hot mixed). Renovasi jalan itu cepat selesai berkat bantuan dari Yonzikon Zeni AD yang lokasinya berdampingan dengan komplek gereja. Pembangunan jalan ini juga merupakan wujud nyata pelayanan warga Paroki St. Aloysius Gonzaga, Cijantung kepada masyarakat sekitarnya, sekaligus untuk memperingati sewindu hari jadi paroki dan sebagai hadiah pesta perak imamat Romo Sis. Pada waktu peresmian jalan tersebut, Romo Sis menyerahkan hadiah pesta peraknya kepada masyarakat sekitar melalui Bapak Lurah Cijantung.

Tahun 1987 Romo Sis mengakhiri masa tugasnya di paroki Cijantung dan beliau dipindah ke Paroki Tanjung Priok. Penggantinya adalah Romo Alexius Widianto, Pr. Pada tahun itu pula menandai berakhirnya pelayanan imam-imam Jesuit di Cijantung dan hingga tahun 2005 penggembalaan umat diserahkan sepenuhnya kepada imam-imam dioses KAJ. Umat paroki Cijantung saat digembalakan oleh Romo Widi telah mencapai 5.524 jiwa. Romo yang sebelumnya bertugas di Pasar Minggu ini dalam tugas-tugas hariannya dibantu Romo YA Imam Subagyo, Pr yang menggantikan Romo Th. Widayat Trinugroho, Pr. karena harus pergi studi ke Roma.

Pertumbuhan jumlah umat yang bergerak cepat harus diimbangi dengan sarana-sarana fisik yang memadai. Muncul kembali kebutuhan umat untuk membangun gedung serbaguna paroki berlantai satu, yang akan dipakai untuk acara-acara pertemuan, pelajaran agama, kursus-kursus dan lain-lain. Dengan segera dibentuklah panitia pembangunan gedung paroki. Rencana semula gedung yang akan dibangun hanya berlantai satu, tetapi dalam pelaksanaannya berubah menjadi tiga lantai. Pembangunan itu menghabiskan dana yang tidak sedikit. Selain swadaya dari umat, pembangunan itu juga didukung oleh banyak pihak, termasuk bantuan dari Bina Graha. Fungsi utama pembangunan gedung serbaguna ini selain untuk tempat pertemuan-pertemuan, gedung yang cukup megah itu juga dipakai untuk melayani umat yang berkaitan dengan
administrasi serta seksi-seksi tingkat paroki.

Di tengah kesibukan membangun gedung paroki, hadir Frater Diakon Ferdinandus Kuswardianto, Pr. Seperti Romo Widayat, setelah Frater ini ditahbiskan menjadi imam, Romo Anto � demikian panggilannya � ditugaskan kembali di Paroki Cijantung. Pada saat yang hampir bersamaan hadir pula Romo Y Wiyanto Harjopranoto yang menggantikan Romo Imam yang pindah tugas ke Paroki Theresia.

Setelah gedung serba guna ini selesai dibangun, Romo Widi harus mengakhiri masa tugasnya di Paroki Cijantung pada tahun 1993 dan digantikan sementara oleh Romo C Hardosuyatno, MSF. Kemudian pada tahun 1994 Romo Anto juga harus pindah tugas menjadi pastor pamong di Seminari Menengah Wacana Bhakti, Pejaten. Beliau digantikan oleh Romo P Ekosusanto, Pr yang sebelumnya bertugas di Paroki Kelapa Gading.

Tidak lama kemudian Romo Hardosuyatno, MSF yang memang hanya menjadi pastor kepala paroki sementara akhirnya menerima tugas sebagai pastor Polri sepenuhnya. Tepatnya tanggal 1 September 1994 beliau digantikan Romo LBS Wiryowardoyo, Pr yang sebelumnya bertugas di Paroki Bojong Indah. Pada waktu yang berdekatan pula Romo Wiyanto ganti bertugas di Paroki Bojong Indah.

Tanggal 1 Maret 1996 Romo Eko meninggalkan Paroki Cijantung untuk tugas studi ke Philipina. Beliau digantikan Romo A Yus Noron, Pr yang sebelumnya bertugas di Paroki Jatibening. Romo Yus Noron, Pr inipun sewaktu masih menjadi frater pernah juga menjadi tenaga assistensi pastoral pada tahun 1982. Buat beliau Cijantung bukan hal yang baru karena di paroki inilah beliau pernah melayani. Kemudian pada bulan Februari 1997 Romo Frans Talinau Doy, Pr ikut memperkuat tugas penggembalaan di Paroki Cijantung.

Rotasi tugas para pastor ini boleh dibilang mengalami perputaran yang sangat cepat sehingga umat seperti kehilangan pola atau ciri penggembalaan pastornya karena dalam kurun waktu 10 tahun sudah 10 pastor yang keluar masuk mendampingi umat.

MENYIAPKAN SEBUAH PAROKI BARU
Di bawah Romo Wiryo selaku pastor kepala, pembinaan iman umat terus ditingkatkan. Selain itu, pada masa beliaulah pembangunan fisik sarana dan prasarana rumah ibadat direnovasi secara besar-besaran mulai dari merenovasi rumah pastoran hingga memperluas kapasitas gedung gereja dengan panti imam yang cukup artistik. Hal ini dirasakan amat mendesak mengingat sampai akhir tahun 1996 Paroki Cijantung telah memiliki jumlah umat di atas angka 10,000an jiwa yang terdiri dari 2.323 KK.

Jumlah umat yang demikian besar ini menjadikan gedung gereja tidak mampu lagi menampung umatnya. Harus disadari bahwa pertumbuhan umat yang demikian pesat ini dapat dikategorikan menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah baptisan baru yang terdiri dari baptisan bayi dan baptisan dewasa. Bagian kedua merupakan warga baru yang diterima dari gereja lain (Protestan). Bagian ketiga adalah warga Katolik baru yang pindah dari daerah lain.

Perpindahan umat ini dapat dilacak sejak tahun 1970-an di mana ketika perusahaan multinasional mulai diijinkan masuk ke Indonesia mereka banyak terdapat di wilayah Cijantung dan sekitarnya, para karyawannya banyak juga yang beragama Katolik. Maka secara administrative mereka masuk sebagai warga Paroki Cijantung. Cijantung yang pada mulanya adalah komunitas tentara yang tinggal di Komplek Cijantung I dan II. Hingga paruh kedua tahun 1990-an wilayahnya semakin luas, terdiri dari 3 kecamatan dan 16 kelurahan. Kini umat bukan hanya dari kalangan militer saja, tetapi sudah beragam profesi dan pekerjaan, status social, golongan dan lain-lain. Demikian besarnya hingga waktu itu, secara administrative Paroki Cijantung pernah memiliki 15 wilayah dan 49 lingkungan. Pesatnya pertumbuhan umat dan luasnya wilayah yang harus dilayani ini, membawa konsekuensi dan reksa pastoral khusus.

Pertama, timbul gagasan dari dewan paroki untuk memekarkan paroki ini dan membentuk paroki baru yaitu Paroki Cipayung. Gagasan ini mengemuka ketika Bapak Kardinal Yulius Darmaatmaja, SJ mengadakan kunjungan pastoral di paroki ini, sekaligus untuk memberkati altar baru pada tanggal 10 Mei 1997.

Pada prinsipnya Uskup Yulius Kardinal Darmaatmaja, SJ setuju tetapi dengan catatan agar persekutuan umat di wilayah Cilangkap diperkokoh dahulu dan jangan tergesa-gesa membangun gereja.

Pada tahun 1998 Paroki Cijantung yang telah berjumlah 10,825 jiwa merealisasikan pemekaran wilayahnya dan membentuk paroki baru yang bernama Paroki St. Yohannes Maria Vianney, Cilangkap dengan pastor kepalanya Romo Yohannes Maria Vianey Sudarmo O.Carm. Gugusan Paroki Cijantung yang menjadi Wilayah Paroki Cilangkap adalah meliputi Cilangkap, Cipayung, Ciracas, Kelapa Dua Wetan, Munjul, Pekayon, Pondok Ranggon, Cibubur dan Setu. Embrio umat basis Paroki Santo Yohanes Maria Vianney Cilangkap berawal dari 2 gugusan komunitas basis Paroki Santo Robertus Bellarminus Cilitan dari satu sisi dan gugusan umat basis Paroki Santo Aloysius Gonzaga Cijantung di sisi lain. Jumlah umat Cijantung yang pindah ada sekitar 34% sehingga umat Paroki Cijantung menjadi 7,157 jiwa.

Ada catatan tersendiri mengenai masalah batas wilayah ini yaitu ketika bergabungnya lingkungan St. Carolus Borromeus ke Paroki St. Thomas Kelapa Dua. Banyak warga lingkungan ini tinggal di wilayah yang melintasi tapal batas Jakarta � Jawa Barat. Menurut administrasi paroki, lingkungan ini menjadi bagian dari wilayah paroki Cijantung, namun sejak pemekaran ini, lingkungan St. Carolus yang seharusnya bergabung ke dalam wilayah Paroki Cilangkap, akhirnya memutuskan untuk menyatukan diri dengan Paroki Kelapa Dua yang berada di bawah Ordinaris Keuskupan Bogor. Paroki Cijantung tidak mungkin melupakan kontribusi lingkungan yang satu ini setidaknya tetap tercatat dalam sejarah paroki bahwa dahulu mereka pernah menyatu dan membangun paroki bersama dengan lingkungan-lingkungan yang lain.

Ketika lingkungan ini berdiri, luas wilayahnya memang melintasi batas antar Ordinaris baik Bogor maupun Jakarta. Saat itu Paroki St. Thomas belum berdiri dan paroki terdekat hanya Cijantung. Pemekaran lingkungan yang terus berlangsung saat di paroki Cijantung, menyisakan umat yang berdomisili di wilayah tapal batas Bogor. Maka sah-sah saja jika mereka punya keinginan untuk masuk ke Paroki St. Thomas, keuskupan Bogor yang baru resmi berdiri tahun 1991.

Kedua, pertumbuhan umat yang pesat membutuhkan sarana-sarana fisik yang memadai. Untuk itu perlu dilakukan renovasi beberapa bangunan yang ada. Yang perlu dibenahi dulu adalah pastoran. Gedung pastoran ditata sedemikian rupa dan diberi AC. Lalu pada saat itu juga dibangun menara lonceng yang berdiri megah. Ruangan sakristi yang semula terletak di belakang altar, dipindah ke samping gereja dan membentuk bangunan tersendiri berlantai dua. Biaya renovasi ini diperoleh dari kolekte umat setiap Minggu, bantuan dari para pejabat sipil/militer dan pinjaman dari bank.

Pertumbuhan umat yang pesat berdampak tidak tertampungnya umat di gedung gereja pada saat mengikuti misa. Tak jarang terpaksa umat harus berdiri di halaman depan gereja. Hal ini sangat terasa pada saat misa Minggu pagi jam 08.00. Karena itu gedung gereja juga perlu dipugar. Gedung lama dipugar dan diperluas ke belakang, sementara bagian samping bersatu atap dengan gedung paroki dan pastoran. Untuk menyesuaikan, altar lama kemudian diganti dengan altar baru. Setelah selesai, rencananya bagian depan gereja akan diperluas dan dimajukan lagi. Sambil menunggu realisasinya, kemudian dibangun Gua Maria yang cukup besar di depan gedung paroki agar umat dapat berdevosi kepada Bunda Maria dengan lebih khusuk. Agar umat merasa lebih tenang beribadah, pagar di depan gereja dipugar dan diganti dengan pagar baru yang lebih kokoh dan tinggi. Telah banyak yang dibenahi dan tetap dituntut partisipasi yang lebih besar dari umat.

Pembangunan sarana fisik harus diimbangi dengan pembangunan hidup rohani umat. Justru yang kedua ini yang lebih penting. Agar hidup rohani iman jemaat semakin bertumbuh, gereja menyediakan banyak sarana pelayanan yaitu seksi-seksi dan organisasi paroki. Inilah focus penggembalaan Romo Wiryo selaku pastor kepala paroki Cijantung.

Pada tahun 1999, Romo Wiryo harus pindah tugas setelah 5 tahun membangun Cijantung menuju Paroki Pulo Gebang. Beliau digantikan oleh Romo Yus Noron yang saat itu menjadi pastor pembantu di Cijantung.

Romo Yus melanjutkan program kerja yang telah dicanangkan oleh pendahulunya. Tidak banyak yang pembangunan fisik yang dilakukan pada masanya karena memang sudah dituntaskan oleh Romo Wiryo.

Pada bulan Nopember 2001, Romo Yus pindah tugas ke Paroki Kelapa Gading. Beliau digantikan oleh Romo Jakobus Tarigan. Romo Jack, demikian panggilannya dibantu oleh Romo Rochadi sebagai pastor pembantu.

Semasa Romo Jack inilah kehidupan liturgi umat mengalami masa-masa dinamikanya yang cukup mencolok. Kekeliruan cara beribadat umat dibenahinya sehingga secara sontak umat seperti dikagetkan oleh aturan-aturan liturgis yang berlaku. Selain itu kedisplinan umat benar-benar disentilnya habis. Tidak jarang Romo Jack harus turun dari panti imam untuk memberi peringatan kepada umat agar mengikuti misa dengan baik. Dan tidak jarang pula beliau mengulangi misa jika umat tidak siap memulainya.

Luar biasa yang dilakukan oleh Romo Jack ini sehingga umat mau tidak mau mengikuti aturannya. Timbul pro dan kontra itu sudah menjadi resiko yang harus dialami jika ingin kehidupan liturgi umat menjadi baik, demikian kilahnya

Salah satu perkembangan terbaru di Paroki Cijantung pada masa beliau adalah selesainya renovasi Kapel St. Yakobus di Wilayah I dan diresmikan penggunaannya kembali pada tanggal 28 Maret 2004. Kapel milik Kopassus inipun diubah namanya menjadi St. Valentino dan sudah tidak disebut kapel lagi melainkan gereja.

Romo Jack mengakhiri tugasnya di Cijantung pada bulan Agustus 2005 dan beliau diganti oleh Romo Maximus Woga, CSsR. Bersama Romo Maxi ini, tugas-tugas pastoral dijalani bersama dengan Romo V. Adi Prasojo, Pr. Romo Adipun tidak lama bertugas di Cijantung karena pada September 2006, beliau digantikan oleh Romo Harry Liong yang semula bertugas di Paroki Ignatius Jalan Malang.

Cukup panjang perjalanan paroki Cijantung sejak cikal bakal itu tumbuh tahun 1962. Dari sebuah komunitas tentara yang berjumlah 12 KK itu mampu hidup, tumbuh dan berkembang menjadi sebuah paroki yang cukup besar perkembangan umatnya. Semula hanya satu profesi saja tetapi sekarang berbagai profesi tumbuh bersama, hidup dan berkembang, mewarnai keaneka ragaman paroki ini hingga saat ini. Sungguh Roh Kudus benar-benar bekerja mendampingi mereka melalui pelayanan beberapa orang, kesungguhan Pusrohkat AD dan tentunya kegigihan mereka untuk tetap hidup dan menghidupi kebutuhan rohani mereka. Kita patut mengimani karya Roh Kudus ini dan mengamininya. Andai semuanya itu tidak pernah terjadi, Paroki Cijantung mungkin tidak pernah ada.

PERKEMBANGAN PAROKI CIJANTUNG
Buku induk paroki Cijantung telah ada dan mulai melakukan pencatatan atas baptisan pertama kali pada tanggal 16 Desember 1973. Ini berarti ketika Cijantung belum menjadi stasi, buku induk itu sudah mulai dipersiapkan. Pada tahun-tahun sebelum tanggal itu, pencatatan atas baptisan umat Cijantung dimuat dalam buku induk Paroki Bidaracina. Sebenarnya tidak hanya catatan pembaptisan umat saja yang tercantum dalam buku induk paroki Bidaracina tetapi juga perkawinan yang dilangsungkan pada masa-masa tahun 1962 hingga awal 1973. Melihat catatan buku induk paroki yang dimulai tahun 1973, maka kecil kemungkinan ada pembaptisan atau perkawinan warga yang dilangsungkan di Cijantung dan dicatat dalam buku induk paroki Cililitan.

Dalam buku induk Paroki Cijantung akan kita temukan bahwa pembaptisan bayi pertama sebelum Cijantung menjadi stasi adalah Vincentius Galih Siswanto yang lahir pada tanggal 16 April 1973. Bayi dari pasangan Yohannes Berchmans Subangun dengan Christina Maria Sri Rahayu dari Lingkungan St. Anna ini dibaptis oleh Romo Wiyana Haryadi, SJ pada tanggal 16 Desember 1973. Pada bulan dan tahun yang sama atau tepatnya tanggal 24 Desember 1973 (malam Natal) telah dicatat pula pembaptisan dewasa atas nama Stephanus Sunardji. Pembaptisan itu dilakukan juga oleh Romo Wiyana Haryadi, SJ.

Itu adalah sekelumit catatan-catatan kecil yang menjadi sejarah di paroki ini. Masih banyak catatan-catatan lain namun dalam hal perkembangan umat, di bawah ini kami sajikan statistik perkembangan umat dari tahun ke tahun.

GERAK DAN LANGKAH UMAT
Sejak perintisannya dari tahun 1962 hingga saat ini, kesadaran umat dalam hal pembinaan iman/rohani terus digalakkan dengan penuh semangat dan berkesinambungan. Umat Cijantung patut berbangga hati karena sejak awal beih-benih iman itu tumbuh tidak kurang dari 78 orang imam pernah mendampingi kehidupan rohani umat. Berbagai seksi dan organisasi kategorial pernah hadir memberikan kontribusinya bagi pengembangan iman umat. Seksi atau organisasi yang ada yaitu Liturgi, Sosial, Pewartaan, PA/PBM, WKRI, Legio Maria, Warakawuri, ME, Mudika, GSM, Svara Gonzaga, PDKK, dsb adalah merupakan bentuk kesadaran umat untuk mau berkembang. PS Aloysius Gonzaga Voices, misalnya, lahir karena adanya kesamaan minat dalam paduan suara saat lomba paduan suara se-dekenat timur ybl, atau GIM (Gerakan Imam Maria) yang tercetus karena adanya ikatan emosional kaum orangtua seminari, dan sebagainya. Itu semua muncul karena memang umat punya kesadaran yang cukup tinggi untuk mengembangkan imannya. Namun di lain pihak ada juga yang pernah tumbuh dan akhirnya lekang dimakan waktu, sebut saja Antiokhia dan Choice yang sempat menjadi salah satu organisasi kategorial yang cukup dikenal orang muda saat itu kini sudah tidak muncul lagi. Patah tumbuh hilang berganti, begitulah dinamika umat Cijantung dalam usaha mengembangkan perwujudan imannya.

Banyaknya kegiatan umat ini patut dibanggakan namun sekaligus kerja keras bagi para imam untuk tetap mendampingi mereka agar tidak salah dalam melangkah.

======================================================
Daftar Pustaka :
1. Buku Pemberkatan Gereja Paroki St. Aloysius Gonzaga, 23 November 1980.
2. Buku Sewindu Paroki dan Pesta Perak Imamat Pastor A. Siswopranoto, SJ, 20 Juni 1987
3. Pedoman Kerja Dewan Paroki Pleno St. Aloysius Gonzaga, Cijantung, Jakarta: 1994-1997
4. Majalah �Hidup� No. 25, Th. XLIX, 18 Juni 1995
5. Majalah �Bentara� No. 3, Th. 1996
6. Majalah �Bentara� No. 4, Th. 1996
7. Buku Kenangan 18 Tahun Paroki St. Aloysius Gonzaga, Cijantung: Tumbuh dan Berkembang dalam Kristus, 1997
8. Paroki St. Aloysius Gonzaga-Cijantung � Edisi Khusus Paskah 1999
9. Jalan Kita � Setelah 65 tahun Paroki Bidaracina 1938-2003, September 2003
10. Buku Kenangan Pesta Perak Paroki St. Aloysius Gonzaga KAJ: Syukur kepada-Mu ya Tuhan, 2004

Sumber-sumber lain :
1. Informasi data dan statistic - Sekretariat Paroki
2. Pelurusan sejarah - Interview FX Djokosoejono
3. Pelurusan Sejarah - Interview Hieronimus Kasman
4. Dokumentasi pribadi Hieronimus Kasman
5. Dokumentasi paroki
6. Situs http://www.paroki-cilangkap.com
7. Situs http://parokicijantung.blogspot.com/

Monday, April 9, 2012

Sejarah Paroki Gembala Baik

Sebelum tahun 1935 Batu masih menjadi stasi dari Paroki Kayutangan Malang. Pada bulan September 1935, Uskup Malang Mgr. A.E.G. Albers, O.Carm. mengangkat Rm. E. Woulters, O.Carm. menjadi Pastor Paroki yang pertama di Batu dengan nama pelindung paroki �St. Simon Stock� (Seorang Kudus dari Ordo Karmel). Jumlah umat tercatat lima orang warga Belanda dan empat orang warga Indonesia. Baptisan pertama tercatat pada tanggal 1 September 1935 atas nama Raymundus Ronny usia 11 bulan asal kelahiran Surabaya.

Pada tanggal 25 November 1935 Mgr. A.E.G. Albers, O.Carm. memberkati biara dan sekolah milik suster-suster Sang Timur di Jl. Panglima Sudirman 61 (dahulu bernama Jl. Trunojoyo). Waktu itu gedung sekolah dan gedung gereja belum ada, pada hari biasa biara suster dipakai untuk ruang kelas Sekolah Rakyat Sang Timur dengan Kepala Sekolah Sr. J. Cornelia, P.I.J. dan pada hari minggu dialihfungsikan sebagai Gereja.

Baru pada tahun 1939 gedung Gereja dan Sekolah SRK Sang Timur didirikan di Jl. P. Sudirman 57. Karena itu kesehatan Rm. Woulters, O.Carm. semakin menurun, pada tahun 1940 diangkatlah Rm. L. Henckens, O.Carm. sebagai penggantinya.

Tahun 1944 Rm. L. Henckens, O.Carm. diganti oleh Pastor P. Singgih, O.Carm. (Pastor Militer). Ketika Jepang masuk ke Indonesia (tahun 1942), situasi Gereja sangat menyedihkan. Sekolah Katolik ditutup, kaum wanita, anak-anak, semua pastor berkebangsaan Belanda dan para suster diinternir demi keamanan. Bahkan pada tahun 1945 sempat vacum. Pada tahun 1946 baru mulai aktif lagi dan masih dipimpin Pastor P. Singgih, O.Carm. sampai tahun 1948 dan selanjutnya diganti oleh Pastor B. Djajoes, O.Carm.

Pada tanggal 31 Juli 1948 suster-suster Sang Timur kembali ke Batu untuk memulai babak baru lagi. Sejak tahun 1950 hingga saat ini boleh dikatakan tidak ada hambatan berarti bagi perkembangan Gereja Katolik di Batu.

Dengan semakin meningkatnya jumlah umat Katolik di Batu, maka pada tahun 1983 Rm. PJ. Vollering, O.Carm. selaku Pastor Paroki saat itu menggagas untuk membangun gereja yang lebih luas. Gagasan tersebut disambut dengan baik bahkan menjadi tekad yang bulat dari umat Paroki Batu untuk membangun gereja baru dengan swadaya umat dan bantuan dari banyak donatur.

Keuskupan Malang juga menyambut baik keinginan umat Paroki Batu dengan menyediakan lahan milik Keuskupan Malang seluas 5000 m2 di Jl Ridwan. Maka pada tgl 28 Agustus 1984 dibentuklah Panitia Pembangunan Gereja Baru yang diketuai oleh Bp. St. Roebiman.

Pada tanggal 27 Oktober 1985, Uskup Malang Mgr. F.X. Hadisumarto, O.Carm. melakukan peletakan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan gedung gereja yang baru dan pada tanggal 1 Desember 1985 secara resmi dimulailah pengerjaan proyek pembangunannya. Bangunan yang memiliki luas 1000 m2 itu semula diperkirakan membutuhkan dana Rp 100.000.000,00 (Seratus Juta Rupiah) dan akan selesai tahun 1986 atau selambatnya awal tahun 1987.

Dana pembangunan berasal dari swadaya umat Katolik Paroki Batu dan dermawan dari luar Paroki Batu serta dari Keuskupan Malang. Bendahara Keuskupan Malang saat itu Rm. Anton Kristiyanto Gunawan , O.Carm. juga melibatkan diri secara total dalam memberikan sumbangan pemikiran dan dana. Segi artistik-liturgis gereja dirancang oleh Bruder Andreas, O.Carm. dan sebagai pelaksana ditunjuk Sonny Architectural Consultant.

Pada perkembangannya sampai akhir Oktober 1986 pembangunan telah menyerap dana sebesar Rp 125.000.000,00 bahkan sampai terselesaikannya pembangunan biaya mencapai Rp 175.000.000,00. Akhirnya tanggal 13 Juni 1987 Bupati Malang Bp. Abdul Hamid meresmikan gedung gereja yang baru dan tanggal 14 Juni 1987 diberkati oleh Uskup Malang Mgr. F.X. Hadisumarto, O.Carm.

Bersamaan dengan itu bergantilah nama pelindung �St. Simon Stock� menjadi Paroki �Gembala Baik�.


Sekilas Kisah Pembangunan Gereja Gembala Baik

Sejak kehadiran Gereja Katolik di wilayah Kecamatan Batu tahun 1935, jumlah umat terus berkembang. Tahun 1987, jumlah umat Katolik di Paroki Batu berjumlah 3000 jiwa.

Dengan adanya perkembangan dan pertambahan umat tersebut terasa bahwa gereja St. SIMON STOCK sudah tidak memadai lagi sebagai tempat ibadat. Pada hari Minggu, maupun hari-hari raya gerejani seperti Natal dan Paskah, umat nyaris tak tertampung. Sehingga terpaksa berdiri berjubel-jubel sampai di luar pintu gereja.

Gereja St. SIMON STOCK yang terletak di Jalan Panglima Sudirman no. 59 Batu, didirikan pada tahun 1939, dan kapasitas hanya untuk sekitar 250 umat saja. Di samping itu gereja yang terletak di tepi jalan raya itu, karena per�kembangan dan kemajuan kota Batu, juga lalu terasa bising dan ramai karena kesibukan lalu-lintas. Sehingga sering kali kekhusyukan umat dalam mengikuti Misa Kudus terganggu.

Mengingat hal-hal di atas, maka pada tahun 1983, mulailah timbul niat dalam hati umat dan Romo P.J. Vollering O�Carm, selaku Pastor Paroki Batu, untuk memikirkan kemungkinan membangun sebuah gedung gereja baru. Sebuah gereja yang lebih besar, luas, serta memadai sebagai tem�pat beribadat. Jika dapat, gereja baru itu hendaknya terle�tak agak jauh dari keramaian lalu-lintas.

Pelbagai Pendekatan

Niat yang mula-mula masih berupa gagasan itu, makin hari terasa makin mantap. Sehingga kemudian menjadi tekad yang bulat, dengan dimotori oleh Pastor Paroki, umat Batu bertekad untuk membangun sebuah gereja baru dengan swadaya dari umat.

Untuk itu mulai diadakan pendekatan kepada pelbagai pihak. Terutama kepada Bapak Uskup Malang, Mgr. F.X. Hadisumarta O.Carm, beserta staff. Pihak Keuskupan ternyata menyambut baik keinginan umat Paroki Batu. Kemu�dian Pihak Keuskupan memberikan tanah seluas 5000 M2 untuk digunakan sebagai lokasi pembangunan gereja. Tanah milik Keuskupan tersebut terletak di Jalan Ridwan (depan Susteran Karmelites), Desa Ngaglik, Kecamatan Batu.

Setelah kepastian tanah sebagai lokasi gereja didapat maka pada tanggal 5 Agustus 1984 umat mengadakan rapat untuk membentuk kepanitiaan pembangunan gereja baru. Pada tanggal 28 Agustus 1984 terbentuklah Panitia Besar Pembangunan Gereja Baru dengan ketuanya Bapak St. Roebiman. Kemudian karena sakit, Bapak Roebiman terpaksa non-aktif. Panitia lalu lebih intensif mengadakan pembicaraan, perencanaan, dan pengurusan izin guna mewujudkan cita-cita tersebut.

Surat permohonan izin mendirikan gereja kemudian disetujui oleh Bapak Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Malang, dengan keluarnya Surat Izin Pembangunan Tempat Ibadah, Nomor: 453/512/452.016/85, tertanggal Malang, 5 Maret 1985.

Sedangkan sebagai pelaksana pembangunan diserahkan kepada: Sonny Architectural Consultant Malang.

Meskipun demikian panitia tidak tinggal diam berpeluk tangan. Guna mengawasi kelancaran pembangunan gereja, dibentuk pula tim pengawas lapangan. Selain itu panitia juga tak henti-hentinya mengimbau seluruh umat agar ikut berperan-serta dalam usaha pembangunan gereja itu, de�ngan memberikan sumbangan keuangan. Untuk itu sejak Oktober 1984 diedarkan amplop sumbangan pembangunan gereja yang berlangsung sampai bulan Mei 1987.

Pelaksanaan Pembangunan

Pada tanggal 27 Oktober 1985, dilakukan upacara peletakan batu pertama oleh Bapak Uskup Malang. Dan pada tanggal 1 Desember 1985 secara resmi dimulailah pengerjaan proyek pembangunannya. Bangunan yang memiliki luas 1000 M2 itu diperkirakan akan membutuhkan biaya Rp. 100.000.000,- (Seratus juta rupiah), dan diperkirakan selesai pada akhir tahun 1986, atau selambat-lambatnya awal tahun 1987.

Dana pembangunan gereja terutama berasal dari swadaya umat Katolik Paroki Batu. Dalam hal ini sangat menggembirakan partisipasi umat yang selama dua tahun lebih terus menerus memberikan sumbangannya. Suatu hal yang patut dihargai dan menunjukkan kedewasaan umat itu sendiri. Di samping itu besar pula artinya bantuan dana dari Keuskupan Malang, dari para dermawan dari luar paroki Batu, seperti dari Malang, Surabaya, Jakarta dan lain-lain. Kesemuanya itulah yang memungkinkan terwujudnya pem�bangunan gereja kita.

Perkembangan

Pada permulaan biaya pembangunan sebesar Rp. 100.000.000,- diperkirakan telah mencukupi. Namun pada kenyataannya setelah dilaksanakan, jumlah tersebut masih kurang banyak. Sampai akhir Oktober 1986 telah terpakai biaya sebesar Rp. 125.000.000,-

Ada berbagai hal yang menyebabkan pembengkakan biaya tersebut. Antara lain untuk tambahan biaya pengurugan tanah sebagai lantai gereja, dan lain sebagainya.

Devaluasi rupiah sesuai keputusan Pemerintah, tanggal 12 September 1986, dengan sendirinya juga membawa akibat kenaikan biaya pembangunan disebabkan oleh kenaikan harga material bangunan.

Pelbagai hambatan tersebut sempat membuat kita bertanya, apakah gedung gereja itu akan bisa diselesaikan?

Namun, puji dan syukur kepada Tuhan, sebab Tuhan tetap memberikan jalan bagi penyelesaian rumahNya. Sehingga pembangunan terus bisa berjalan. Dalam hal ini kita sudah seharusnya mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada pihak Keuskupan Malang, dan peran serta Romo Anton Kristiyanto Gunawan O.Carm sebagai Bendahara Keuskupan Malang, yang sejak awal perencanaan pembangunan gereja kita, telah melibatkan diri secara total. Dengan sumbangan pemikiran dan bantuan dana, sehingga ge�reja bisa diselesaikan.

Rasa terima kasih itu juga kita sampaikan kepada Bruder Andreas O�Carm yang merencanakan segi artistik / liturgis gereja. Juga kepada Sonny Architectural Consultant sebagai pelaksana.

Penghargaan dan rasa terima kasih juga sangat layak kita layangkan kepada Romo P.J. Vollering O�Carm, para anggota Panitia Pembangunan Gereja, para dermawan, para penyumbang yang telah memungkinkan terlaksananya pembangunan gereja GEMBALA BAIK.

Kini gedung gereja yang bernilai Rp. 175.000.000,- ini telah tegak berdiri. Meskipun belum selesai seratus persen, namun umat paroki telah bisa menggunakannya sebagai tempat berkomunikasi dengan Tuhan sendiri. Maka dengan penuh rasa syukur sepantasnya apabila kita, umat Paroki GEMBALA BAIK, melambungkan madah dan pujian kepada Tuhan Allah kita.

�Yesus, Gembala Baik, jadikanlah tempat yang kami dirikan ini sebagai rumahMu. Amin.�

Sumber : http://gembalabaik.wordpress.com/

Wednesday, April 4, 2012

Sejarah Gereja Paroki Aloysius Gonzaga Mlati (2)

Sejarah Gereja Mlati Tahun 1936-1961

Dari Gereja Mlati umat bertumbuh
Pembangunan gereja Mlati selain alasan strategis sebagaimana diungkapkan dalam bagian di atas, juga terlebih karena alasan penggembalaan terhadap umat yang semakin bertumbuh. Dari buku baptis yang ada di Paroki Medari sebelum tahun 1936 atau sebelum adanya Buku Baptis di Mlati terdapat data hasil pencatatan oleh bapak FB. Driyanto dan Bp. P. Subardiyono (sekretaris Paroki Mlati) sebagai berikut:

1) Dari buku baptis tahun 1919 sd 1935 ada sebanyak 1443 baptisan yang tercatat di Paroki Medari. Di antara itu ada 582 baptisan berasal dari daerah yang sekarang ini termasuk wilayah paroki Mlati.
2) Dari 582 orang itu dapat dipaparkan perincian mengenai asal baptisan seturut dengan 15 Wilayah yang sekarang ini ada di paroki Mlati (Tambakrejo dan Karangmloko masih menjadi satu).

Berikut ini perinciannya:

Donoharjo Utara : 44 orang
Donoharjo Selatan : 9 orang
Dukuh : 91 orang
Tridadi : 40 orang
Warak : 49 orang
Cebongan : 29 orang
Getas : 14 orang
Plaosan : 70 orang
Mlati : 47 orang
Tambakrejo+Karangmloko : 23 orang
Duwet : 93 orang
Kronggahan : 3 orang
Brekisan : 41 orang
Bolawen : 3 orang
Jomblang : 7 orang
Luar �paroki Mlati�: Sayegan dll : 19 orang

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa:

a. Pada saat sebelum adanya gereja Mlati di wilayah yang sekarang ini termasuk paroki Mlati ada 40,3 % orang dari 1443 umat di wilayah yang sekarang termasuk Paroki Medari yang menerima baptisan. Tentu saja kesimpulan tersebut tidaklah valid 100% sebab hal itu hanya mendasarkan pada catatan buku baptis dan tidak memperhitungkan mutasi/perpindahan umat. Tetapi dari data itu sudah dapat memberikan gambaran betapa dalam 17 tahun sejak 1919 terjadi pertumbuhan umat sebanyak 582 umat yang dipermandikan dari wilayah Mlati yang sekarang menjadi wilayah Paroki Mlati.

b. Kesuburan jumlah baptisan berasal 3 wilayah asal terbesar adalah wilayah Duwet, Dukuh dan Plaosan. Kesuburan jumlah baptisan di suatu daerah tertentu dapat dibaca sebagai gerak karya Tuhan lewat para tokoh pada waktu yang bersangkutan.

Berikut ini beberapa gambaran peristiwa sejarah pada masa setelah adanya gereja Mlati berdasarkan buku Panca Windu Gereja Mlati hlm 25-28:

a) Setelah adanya gereja Mlati maka umat di daerah teritorial Mlati dijadikan sebagai stasi dalam penggembalaan pastor paropki Kotabaru. Perayaan Ekaristi diadakan 2 kali sebulan yakni pada hari minggu kedua dan keempat oleh romo dari Kotabaru. Sedangkan Perayaan Ekaristi pada minggu pertama dan ketiga diadakan di gereja Medari. Suasananya dapat digambarkan sebagai berikut:
� umat duduk di atas tikar
� bangku panjang untuk duduk baru ada 4 buah, dan satu bangku panjang untuk khusus menyambut komuni suci.

b) Perawatan gereja mula-mula didilakukan oleh bapak Fr. Sumitro dan diganti oleh bapak Sadat Daryosusiswo, seorang guru vervolgschool di Mlati dengan dibantu para muridnya.

c) Pada tahun 1938 di Mlati didirikan perkumpulan �Katholika Wandawa� yang kegiatannya antara lain mengurus kebutuhan gereja.

d) Bp. Daryosusiswo kemudian pindah ke Nguntaranadi Wonogiri menjadi guru di Sekolah Ongko Loro (Sekolah Negeri) dan digantikan oleh Bp. Maliki Jayawikarto.

e) Pelajaran agama juga diperankan oleh para guru sekolah Yayasan Kanisius yang didirikan oleh Rm. Strater SJ dibantu oleh para Frater dan para Bruder SJ. Pantas disebut jasa Br. Endrodarsono yang giat mengunjungi umat di wilayah Plaosan, Duwet, Mlati dan Tambakrejo dengan bersepeda. Kemudian beliau diganti oleh Br. Purnomo SJ.

f) Tahun 1938 Perayaan Ekaristi di gereja Mlati tidak hanya pada hari minggu kedua dan keempat tetapi juga pada hari Jumat Pertama tiap bulan. Selain itu pada hari minggu pertama diselenggarakan lof (astuti atau penghormatan kepada sakramen mahakudus). Selanjutnya pelayanan Ekaristi ditambah yakni pada hari raya yakni: Kristus Raja, Kenaikan Yesus, Bunda Maria diangkat ke surga. Bahkan juga diadakan perarakan sakramen Mahakudus pada hari raya Kristus Raja mengelilingi gereja dengan hiasan janur dan vandel yang didatangkan dari Kotabaru. Dalam acara seperti itu gereja penuh sesah karena umat datang melimpah. Keadaan itu berlangsung sampai tahun 1941

Penjajahan Jepang dan pengaruhnya terhadap umat katolik di wilayah Mlati (diolah dari buku PWGM hlm 29-35)

Pecahnya perang dunia II turut mempengaruhi situasi di Indonesia (dulu: Hindia Belanda). Bagi pemerintahan Hindia Belanda, Jepang menjadi ancaman bagi keberadaannya di Hindia Belanda. Pada tanggal 1 Maret 1942 Jepang mendarat di Pulau Jawa. Sebelum itu keadaan ekonomi morat-marit, hati tidak tenang dan kebingungan mencekam penduduk. Ajaran agama tidak terurus dengan baik, gereja nampak sepi hampir tak terkunjungi. Pada tanggal 28 Februari (1942?) para guru Misionaris atau Kanisius mendapat gaji dan ditambah gaji darurat untuk 3 bulan berikutnya.

Tanggal 1 Maret 1942 sekolah-sekolah Misi ditutup untuk jangka waktu yang tidak tentu. Sementara itu pada pada tanggal 4 Maret 1942 jam 03.30 tentara Jepang sudah berada di jalan Denggung dan menghadang tentara Belanda. Umat yang akan ke gereja pada Hari Jumat Pertam itu melihat keadaan itu lari mencari selamat. Selanjutnya pada tanggal 8 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang. Maka mulailah suasana penjajahan Jepang.

Berikut beberapa situasi/peristiwa yang memberi gambaran masa pendudukan Jepang dan pengaruhnya bagi karya misi Gereja.

a. Setelah menduduki Hindia Belanda, Jepang memerintahkan agar semua kantor, sekolahan, toko dan pasar untuk dibuka kembali agar kehidupan kembali seperti semula. Tetapi bagi mereka yang jatuh karena kekalahan rejim Belanda semua itu tinggal kenangan.

b. Sekolahan misi harus dibuka kembali. Para guru disuruh mengajar tetapi tidak mendapat gaji. Yayasan Kanisius pun tak ada uang untuk menggaji para guru. Yayasan bahkan menyerahkan pengelolaan sekolahan kepada para guru: mau dibuka atau ditutup.

c. Sampai dengan Juli 1942 aktivitas hidup katolik seperti biasanya. Persembahan Korban Misa pada Minggu kedua dan keempat berjalan biasa. Tetapi tekanan ekonomi dan rasa tidak senang terhadap orang-orang katolik yang dituduh pro Penjajah Belanda menyebabkan mengendornya semangat kekatolikan. Tak jarang mereka yang katolik (tokoh) dituduh mengadakan gerakan bawah tanah melawan Jepang. Banyak korban dalam hal ini.

d. Sementara itu Rm. Strater SJ tetap giat menyemangati umat siang malam di daerah Medari, Kalasan, Mlati, Kokap, Bantul dan Wates. Karena itulah beliau ditangkap oleh tentara Jepang di gedung Broederan Kidul Loji dan ditahan di Ngupasan tanggal 14 Agustus 1942. Peristiwa itu semakin menggelisahkan umat katolik di Yogyakarta, Magelang dan Solo.
Berikutnya beberapa tokoh yang mengalami penangkapan oleh Jepang yakni:
a) Bapak Kresnoamijoyo seorang tokoh umat dari Medari
b) Bapak Laman Joyosumarto seorang guru dan kepala sekolah di Dukuh Mlati.
c) Bapak Siswoharsono seorang tokoh katolik di Bantul.
d) Tanggal 20 Agustus 1942 bapak F. Sumitro juga ditangkap. Karena siksaan berat beliau meninggal di RS Bethesda tanggal 27 Agustus 1942.
e) Selanjutnya Rm. A. van Kalken dan Rm. A. Joyoseputro SJ juga ditangkap dan diadili di Jakarta.

e. Pada Januari 1945 gedung Seminari Agung di Jalan Code disita Jepang sehingga untuk sementara waktu menumpang di Panti Rapih menempati Novisiat para Suster CB.

f. Sejak Rm. Strater ditangkap maka penggembalaan umat di Mlati dilakukan oleh beberapa romo silih berganti. Sebagai gambarannya adalah sebagai berikut:
� Mulai Agustus 1942 pelayanan umat oleh Rm. G. Vriens SJ, diganti Rm. E. Koersen dan akhirnya Rm. Bastianse. Ketiganya akhirnya ditahan di Kotabaru dalam bulan September 1943.
� Lewat surat kabar �Sinar Matahari� diberitakan bahwa mereka yang ditahan (para romo dan tokoh umat) diputuskan untuk dihukum mati, atau dihukum seumur hidup, atau 20 tahun, 15 tahun dll. Dengan adanya keputusan itu para tahanan dipindahkan dari Jakarta ke Bandung. Romo Strater dan bapak Joyosumarto meninggal di dalam hukuman di Bandung.

g. Beberapa Romo dan Bruder ada yang ditahan di Kesilir, sebelah barat Banyuwangi daerah Blambangan. Bruder Timoteus memberikankesaksian tentang hal itu karena beliau meninjau para tahanan dengan membawa surat izin dari Tahta Suci Roma.

h. Rm. G. de Quay SJ sekretaris Mgr. Soegijapranata SJ ditawan dan digantikan oleh Rm. T. Wignyasupadmo SJ yang membawa surat dari Rm. G. van Baal, Superior SJ yang isinya menyerahkan kedudukan Superior SJ kepada Mgr. Soegijapranata SJ. Dengan demikian maka kedudukan Mgr. Soegijapranata SJ juga menjadi Superior SJ. Selanjutnya RM C. Martawardaya SJ dijadikan wakil Superior.

i. Mgr. Soegijopranata SJ berkenan mentahbiskan Rm. Harjowarsito Pr. Selanjutnya menjadi Presiden Seminari Tinggi serta ditambah urusan pelayanan luar kota termasuk di Mlati. Beliau bekerja juga bersama Rm. C. Martawardaya SJ hingga bulan September 1945.

Kemerdekaan RI, revolusi kemerdekaan dan pengaruhnya (terhadap Gereja di Mlati) (diolah dari buku PWGM hlm 36-40)

Peristiwa sekitar kemerdekaan masih sangat memberi warna situasi: rakyat berhadapan dengan Sekutu dengan Belanda yang masih membonceng tentara Sekutu. Keadaan ekonomi sosial yang carut-marut melemahkan niat memelihara kehidupan iman. Bahkan ada desas-desus bahwa pemeluk agama Katolik adalah pro Belanda sehingga membuat orang katolik takut menampakkan dirinya.

Bulan Oktober 1945 urusan Gereja Mlati dipercayakan kepada Rm. Soemarna SJ, lalu Rm. Mertawardaya SJ, dan akhirnya Rm. A. Djajaseputra SJ.

Pada malam Jumat Kliwon 7 Januari 1949 segerombolan pemuda yang telah membumihanguskan bangunan kecamatan Mlati mendatangi kediaman bapak Sudino, dan rumah bapak C. Wignyosudarmo yang kosong. Bapak Sudino dibunuh sedang bapak Wignyosudarmo selamat kerena sedang berada di Plaosan.

Niat membumihanguskan gereja Mlati dengan alasan agar tidak menjadi markas Belanda dapat dicegah oleh bapak lurah Wongsopramujo.

Keadaan gawat itu berlangsung sampai 30 Juni 1949. Pelayanan di gereja Mlati berturut-turut oleh Rm. Djajaseputra SJ, Rm. Mertowardaya SJ (sampai Oktober 1949), Lalu Rm. Th. Holthuyzen SJ dari Kotabaru. Kehidupan umat mulai tertata: muncul Wanita Katolik, Muda Katolik Indonesia, pembagian umat menjadi beberapa kring. Selama Rm. Th. Holthuyzen SJ cuti urusan pelayanan dilaksanakan oleh Rm. W van Heusden SJ dibantu Rm. Ciptoprawata Pr dan Rm. Harjawardaya Pr. Setelah itu Rm. Holthuyzen digantikan oleh Rm. Th. Harsawijaya pada tahun 1959.

Menjadi stasi dari Kotabaru (diolah dari Teks PWGM hlm 41-42)

Dalam buku Panca Windu Gereja Mlati halaman 41 disebutkan bahwa �sekitar tahun 1952 urusan Gereja disempurnakan sehingga Mlati tidak lagi menjadi Stasi dibawah Kotabaru, tetapi ditetapkan sebagai Paroki Mlati. Baru pada tanggal 1 Januari 1955, Paroki Mlati dilepas dari Kotabau sama sekali harus berdiri sendiri, karena umat sudah dipandang mampu mengurus kebutuhan Paroki kecuali bila pembangunan atau reparasi besar-besaran�. Tulisan itu bertentangan dengan kenyataan bahwa paroki Mlati baru mempunyai pastor paroki pertama kali pada tahun 1960 yakni sejak Rm. A. Wignyamartaya, Pr ditetapkan sebagai Pastor Kepala Paroki dan baru menetap di Pastoran Mlati tahun 1961. Maka besar kemungkinan yang dimaksud dalam buku PWGM itu adalah bahwa Mlati menjadi stasi mandiri tahun 1955 dan baru pada tahun 1960 menjadi Paroki.

Pada masa-masa ini keaktifan umat dalam politik juga nampak sebagaimana muncul para tokohnya yakni: Bp. Lukas, Bp. Boediono, Bp. Soepardiyana, Bp. Soeprapta, dll. Kemajuan umat dalam peribadatan nampak dengan dibukanya tempat peribadatan di Donolayan di rumah Bp. Sugiyo dan di Warak di rumah Bp. Padmawarsito. Pada masa ini pelayanan imam oleh Rm. Holthuyzen dan Rm. Harsawijaya sampai dengan diganti oleh Rm. A. Wignyamartaya Pr tanggal 16 Agustus 1960 yang masih tinggal di Pastoran Medari (karena pembangunan pastoran Mlati belum selesai). Baru pada tanggal 1 Oktober 1961 Rm. A. Wignyamartaya Pr menetap di Pastoran Mlati.

Sumber : http://historiadomus.multiply.com/journal/item/43/030_Sejarah_Gereja_Paroki_Aloysius_Gonzaga_Mlati
Gambar : http://baitallah.wordpress.com/

Recent Post