Latest News

Monday, January 31, 2011

Gereja Diaspora: Cara Penyesuaian Diri

Mendekati konsep Gereja diaspora ala Y. B. Mangunwijaya meminta kita pertama-tama untuk mengelaborasi Gereja diaspora itu sendiri untuk menarik implikasinya pada misi Gereja Katolik di bumi Kalimantan.

A. Perkembangan Gereja Kalimantan dari masuknya para misionaris

Misi di Kalimantan telah dimulai sejak 1885. Daerah yang pertama-tama didatangi oleh para misionaris adalah Singkawang dengan umat Katolik pertama berjumlah 100 orang yang adah petani dan pedagang bangsa Cina. Berawal dari Singkawang, para misionaris mulai menuju wilayah orang Daya.

Di tengah suku Daya, hal pertama yang dilakukan sebagai sarana pendekatan adalah memperbaiki ekonomi masyarakat setempat, antara lain dengan mempropagandakan peternakan dan juga pengolahan hutan menjadi perkebunan dan persawahan. Usaha ini dilakukan supaya orang Daya bisa tinggal menetap sehingga bisa maju. Sampai pada tahun 1898 orang Katolik berjumlah 429 orang. Sampai pada akhirnya Misionaris Capusin datang pada tahun 1905.

Sampai pada saat ini, Gereja Katolik telah berkembang di Kalimantan dengan 8 keuskupan (Pontianak, Sanggau, Sintang, Ketapang, Banjarmasin, Palangkaraya, Samarinda, Tanjung Selor). Sebagian besar umat Katolik Kalimantan adalah penduduk pedalaman. Mereka tersebar di pelosok-pelosok pulau Kalimantan yang luas. Paroki-paroki dengan demikian memiliki wilayah teritorial yang amat luas pula dengan jumlah stasi yang bisa hampir mencapai ratusan, tersebar di wilayah teritorial yang amat luas.

Keterbatasan sarana jalan dan beratnya medan alam mengakibatkan pelayanan yang kurang maksimal pada stasi-stasi terutama yang jauh dengan pusat paroki. Jumlah tenaga pastoral yang tak sebanding dengan luasnya wilayah adalah kendala lain lagi yang kian membuat umat di stasi pedalaman jarang menerima pelayanan pastoral.

Beberapa tantangan itu adalah sebagian saja di antara tantangan-tantangan lain yang mengemuka yang sering dihadapi oleh pelayan pastoral saat ini. Tantangan itu antara lain pertama, masih kuatnya umat Katolik pedalaman berpegang pada sistem kepercayaan asli yang sarat dengan mitos. Nilai-nilai kebijaksanaan Kristiani memang terdapat pula dalam kebijaksanaan lokal mereka. Persoalannya adalah bagaimana kebijaksanaan-kebijaksanaan lokal itu ditransformasikan untuk mendapatkan pendasaran pada paham-paham kebenaran di dalam Gereja Katolik. Jadi bukan lagi didasarkan pada paham-paham atau kepercayaan yang sarat dengan mitos.

Kedua, mentalitas umat yang cenderung mau �menerima� daripada �memberi�. Mentalitas seperti ini terbangun dari cara pendekatan misionaris awal yang lebih cenderung memberi �ikan� daripada �kail�.

Ketiga, efek mentalitas yang telah mewarnai budaya kota merembes pula ke pedalaman. Sayangnya, efek modernitas yang merasuk ini tak selalu positif, melainkan negatif. Ini tampak dalam mentalitas hedonis dan konsumeris yang cukup berpengaruh bagi kehidupan moral umat pedalaman.

B. Motivasi Para Misionaris Dulu

Misionaris pertama yang datang ke Indonesia berasal dari Barat, khususnya Belanda. Harus diakui bahwa kedatangan mereka seiring dengan kedatangan serdadu tentara yang hadir di Indonesia dengan motivasi menjajah. Meski demikian, tentu berbedalah maksud kedatangan para misionaris dibanding dengan para serdadu. Realitas penjajahan justru mendorong mereka untuk mengentaskan manusia Indonesia dari keterbelakangan yang menyebabkan mereka mudah dijajah dan dibodohi. Jadi, realitas sejarah, yaitu penjajahan yang memiliki wajah mengerikan adalah salah satu hal yang membuat mereka memiliki semangat dan motivasi kuat dalam berkarya mengentaskan penduduk pribumi dari kebodohan dan kemiskinan. Semangat Pra Konsili Vatikan II yang berpegang pada pandangan bahwa di luar Gereja Katolik tidak ada keselamatan, adalah kemungkinan lain lagi yang mendorong dan menyemangati mereka untuk berkarya dan membabtis orang sebanyak mungkin (bdk. Mat 28:19-20). Asalkan orang dibaptis, maka ia akan selamat.

C. Gereja Diaporan dalam Situasi Konkret Kalimantan

Gereja adalah persekutuan orang yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang (GS 1). Setiap anggota Gereja dipanggil untuk menjadi pewarta dan saksi tentang Yesus Kristus dan injil-Nya sesuai dengan kemampuan dan kedudukannya masing-masing. Bagi Gereja Kalimantan itu berarti diutus untuk mengikuti Kristus mewartakan kabar gembira Kerajaan Allah ke seluruh pelosok Kalimantan.

Namun, hal pewartaan ini tidak akan berjalan tanpa melihat situasi Kalimantan secara menyeluruh. Seperti yang ditegaskan oleh Mangunwijaya bahwa zaman berubah pesat, masyarakat pun berubah. Begitu pun dengan masyarakat Kalimantan. Terbawa arus budaya luar, terutama lewat program transmigrasi di beberapa daerah di Kalimantan telah terjadi pergeseran pola hidup masyarakat. Dfari hidup berkelompok menjadi terpencar-pencar. Rasa kekeluargaan yang dulu amat kental telah berubah menjadi individualis.

Berhadapan dengan situasi ini tampaklah bahwa benih sabda Allah mendapat tantangan yang besar. Untuk keluar dari tantangan itu tidak salahnya bila Gereja Kalimantan menuju Gereja diaspora. Hal-hal yang memungkinkan terbentuknya Gereja Kalimantan sebagai Gereja diaspora adalah sebagai berikut:

1. Kemajuan di bidang transportasi
Kemajuan di bidang transportasi mempengaruhi efektivitas pelayanan pada umat. Sekarang tidak banyak stasi atau kampung yang tidak dapat dicapai dengan sepeda motor. Apalagi dengan banyaknya proyek perusahaan dan dibukanya jalan-jalan baru memungkinkan prasarana yang memadai, seperti jalan, listrik sudah mulai menjangkau pedesaan. Hal ini mengurangi sedikit beban petugas pastoral karena hubungan antara paroki dan stasi-stasi semakin lancar dan pelayanannya lebih intensif.

2. Ada usaha memberdayakan kaum awam
Melalui pengembangan Gereja diaspora dimungkinkan mengecilnya mentalitas pastor-sentris. Gereja diaspora membuka kemungkinan meningkatnya keterlibatan umat dalam hidup menggereja. Wajah Gereja setempat akan tampak dalam partisipasi umat. Yang menjadi aktornya adalah katekis, guru agama, dan pemimpin umat yang terlibat langsung dalam karya pastoral, khususnya pendalaman iman umat setempat. Untuk itu perlu diadakan kursus pembinaan atau pendalaman sebagai bekal pelayanan mereka.

3. Ada usaha membangun jaringan kerja sama dengan lembaga lain
Misi Gereja tidak akan berjalan dengan baik tanpa kerja sama dengan pihak lain. Pelayan pastoral dilihat sebagai pemberi vitamin rohani kepada umat. Untuk menjawab kebutuhan rohani umat sehari-hari, maka Gereja dapat bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain. Misalnya, kerja sama dengan instansi pemerintah setempat untuk mengusahakan kesejahteraan masyarakat setempat, melalui Credit Union kita dapat memberi masukan kepada umat bagaimana mengatur ekonomi rumah tangga mereka, melalui media massa, radio, Gereja dapat mengembangkan wawasan pemikiran umat sekaligus sebagai sarana dan pewartaan iman.

D. Gereja Kalimantan di Masa Depan dan Tantangannya

Bila Gereja diaspora benar-benar dikembangkan di bumi Kalimatan, maka wajah Gerejanya menjadi lain. Gereja Kalimatan akan menjadi Gereja yang kuat karena gerak pelayanannya dimulai dari akar rumput. Gereja terdorong untuk trus menerus membekali umat agar melibatkan diri dan berperan serta dlaam masyarakat atas dsar panggilannya sebagai saksi cinta kasih ilahi. Gereja diutus untuk mewartakan dan menjadi saksi kabar gembira dengan cara dan dalam bentuk yang sesuai dengan lingkungan setempat.

Terdorong oleh sifat misioner dan sifat mengakarnya Gereja pada masyarakat Kalimantan, Gereja Kalimantan akan menjadi pengabdi; Gereja yang terpanggil untuk melayani baik kepentingan Allah maupun kepentingan manusia. Dengan kata lain Gereja berpihak pada kaum miskin dan tersingkir. Hanya dengan demikian Gereja meninggalkan egosentrisnya dan terbuka dunia dalam semangat pengabdian. Namun, Gereja yang diidam-idamkan itu bukanlah tanpa tantangan. Ke depan Gereja Diaspora Kalimantan akan mengahadapi beberapa tantangan:

1. Perkembangan sarana audiovisual yang sulit dibendung.
Tantangan ini dirasakan paling mempengaruhi kehidupan masyarakat, termasuk hidup umat beiman sendiri. Perkembangannya mengakibatkan pergeseran nilai-nilai moral di kalangan umat, terutama kaum muda. Penghayatan iman dan moral mengalami kemerosotan. Kaum muda terbawa arus modernisasi tanpa mampu memilah-milah mana yang positif atau negatif. Misalnya, maraknya CD porno menaikan tingkat kriminalitas seperti pemerkosaan. Ditambah lagi minuman keras dan perjudian yang lebih menimbulkan pengaruh negatif daripada pengaruh positifnya.

Di perkebunan sawit (transmigrasi) umat sulit menghadiri ibadat atau ekaristi pada hari Minggu karena kerja lembur mendapatkan upah tambahan. Godaan-godaan di atas benar-benar mengancam kehidupan beriman yang akhirnya menimbulkan mentalitas materialistis dan konsumeristis.

2. Pluralitas suku, agama, dan budaya.
Belajar dari beberapa konflik di Kalimantan, tampak bahwa benturan antara satu kelompok dan kelompok lainnya antara lain timbul karena perbedaan budaya antara komunitas etnis satu dan yang lain, seperti Daya-Madura. Dampak konflik ini berimbas pada bidang kehidupan suku dan agama.

3. Tempat tinggal umat yang terpencar-pencar
Perkembangan, peleburan suatu stasi atau kampung menyebabkan banyak peta paroki berubah. Akibatnya, tidak jelas lagi wilayah-wilayah mana yang harus dilayani oleh tenga pastoral paroki. Hal ini menjadi kesulitan bagi petugas pastoral untuk melayani daerah tersebut. Dengan adanya peleburan dan pengembangan suatu stasi ditambah lagi program transmigrasi menyebabkan pemukiman umat terpencar-pencar. Umat sulit berkumpul bersama dan berdoa.

Thursday, January 27, 2011

Lingkungan, Wilayah, Stasi & Paroki Menurut Pedoman Dasar Dewan Paroki (PDDP) Keuskupan Agung Semarang 2004

Pengantar

Sejak beberapa tahun yang lalu, di Keuskupan Agung Semarang ber-kembang berbagai wacana dengan berbagai kata kunci; seperti Gereja yang hidup, Gereja yang signifikan secara internal dan relevan secara eksternal, spiral pastoral, penegasan bersama, pelayanan yang murah hati, solidaritas, dsb. Wacana- wacana seperti ini menunjukkan dinamika hidup Gereja kita yang sungguh-sungguh ingin terus membaharui diri. Agar wacana itu tidak berhenti pada gagasan, tetapi menjadi hidup yang mempunyai roh dan bentuk, dipikirkanlah pembaharuan Pedoman Dasar Dewan Paroki (PDDP) yang telah kita gunakan sejak tahun 1987. PDDP 2004 ini diharapkan dapat menampung dan memberi dasar yang kuat bagi dinamika hidup Gereja kita dalam beberapa tahun ke depan (Mgr. I Suharyo dalam pengantar PDDP 2004)

Berdasarkan PDDP 2004, setiap paroki perlu membuat PP PDDP (Pedoman Pelaksanaan Pedoman Dasar Dewan Paroki). Paroki Sragen pada tahun 2005 perlu mengadakan pemetaan lingkungan, wilayah, dan stasi secara baru. Untuk mengawali langkah-langkah tersebut dalam tulisan ini disajikan gambaran tentang lingkungan, wilayah, stasi, dan Paroki menurut PDDP 2004

1. Lingkungan

Ps 1 ay 1 Pengertian: Paguyuban umat beriman yang bersekutu berdasarkan kedekatan tempat tinggal dengan jumlah antara 10 � 50 kepala keluarga.
- Demi pelayanan umat yang lebih intensif, lingkungan dapat dibagi dalam persekutuan-persekutuan yang lebih kecil, misalnya dengan nama blok, rukun umat.
- Bila jumlah kepala keluarga dalam lingkungan lebih dari 50, lingkungan harap dimekarkan menjadi lebih dari satu lingkungan.

Ps 14 ay 1 Tugas Ketua Lingkungan: menampung dan mengurus hal-hal yang berkaitan dengan reksa pastoral warga lingkungan dalam kesatuan dengan ketua wilayah dan/atau Stasi, mengadakan pendataan lingkungan setahun sekali dengan menggunakan pedoman stastistik Keuskupan, bertanggungjawab atas terjadinya pertemuan-pertemuan lingkungan. mengadakan dan memimpin kegiatan umat lingkungan, membangun kerjasama antar lingkungan atau antara lingkungan dan kelompok kategorial untuk perkembangan umat dan masyarakat .

Ps 19 ay 1 Pemilihan Pengurus Lingkungan: Pengurus Lingkungan dan Kelompok Kategorial dipilih langsung oleh warganya.

2. Wilayah

Ps 1 ay 2 Pengertian: Persekutuan lingkungan-lingkungan yang berdekatan dengan jumlah antara 3-8 lingkungan.
- Bila jumlah lingkungan lebih dari 8 harap dimekarkan menjadi lebih dari satu wilayah.

Ps 13 ay 2 Tugas Ketua Wilayah: Mengkoordinasi kegiatan antar lingkungan, mewakili lingkungan-lingkungan dalam wilayah di dalam Dewan Paroki, menyampaikan hasil rapat dewan paroki kepada pengurus lingkungan-lingkungan yang berada dalam wilayahnya.

Ps 19 ay 2 Pemilihan Ketua Wilayah: Ketua Wilayah dipilih oleh pengurus lingkungan-lingkungan.

3. Stasi

Ps 1 ay 3 Pengertian: Persekutaun lingkungan-lingkungan dan/atau wilayah-wilayah yang berdekatan dan mempunyai kemampuan menjadi Paroki.
- Status sebagai stasi ditetapkan oleh Uskup atas usulan Dewan Paroki.
- Pengusulan status menjadi stasi mengacu pada pengertian paroki.
- Stasi menyelenggarakan adminitrasi mandiri.

Ps 13 ay 1 Tugas Ketua Stasi: Mengkoordinasi kegiatan antar lingkungan, mengkoordinasi kegiatan-kegiatan antar wilayah (bila ada), mewakili lingkungan-lingkungan dan wilayah-wilayah (bila ada) di dalam Dewan Paroki, menyampaikan hasil rapat Dewan Paroki kepada pengurus lingkungan-lingkungan dan wilayah-wilayah (bila ada) yang berada dalam Stasi, menyelenggarakan adminitrasi mandiri.

Ps 19 ay 4 Pemilihan Ketua Stasi: Ketua Stasi dipilih oleh pengurus lingkungan dan wilayah (bila ada) yang ada dalam stasinya.

4. Paroki

Ps 1 ay 6 Pengertian: Persekutuan paguyuban-paguyuban umat beriman sebagai bagian dari Keuskupan dalam batas � batas teritorial tertentu.
- Jumlah umat satu paroki antara 1.000 � 10.000 jiwa orang katholik. Khusus tentang pendirian paroki baru dipertimbangkan bersama dan diputuskan oleh Uskup.

Ps 4 Ay 1 dan 2 Macam-macam Paroki.
1. Paroki : Persekutuan paguyuban-paguyuban umat beriman sebagai bagian dari Keuskupan dalam batas-batas wilayah tertentu yang sudah memiliki Pastor Kepala, yang berdomisili di parokinya sendiri.

Paroki Adminitratif : Persekutuan paguyuban-paguyuban umat beriman sebagai bagian dari Keuskupan dalam batas-batas wilayah tertentu yang pastor Kepalanya masih dijabat oleh Pastor Kepala Paroki.

Monday, January 3, 2011

Sejarah Gereja Katolik Di Jakarta

Sebelum mengetahui perkembangan Gereja Katolik di Jakarta, ada baik kita mengetahui perkembangan gereja katolik masuk ke Indonesia karena baru pada tahun 1642 diperkirakan masuk ke Batavia/Jakarta. Di Indonesia, orang pertama yang menjadi katolik adalah orang Maluku pada tahun 1534. Ketika itu pelaut-pelaut Portugis baru menemukan pulau-pulau rempah itu dan bersamaan dengan para pedagang dan serdadu-serdadu, para imam Katolik juga datang untuk menyebarkan Injil. Salah satu pendatang di Indonesia adalah Santo Fransikus Xaverius tahun 1546 sampai 1547 datang mengunjungi pulau Ambon, Saparua, dan Ternate. Ia membaptis beberapa ribu penduduk setempat, mereka melakukan pesta perutusan Yesus,�Pergilah jadikanlah semua bangsa muridku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus � (Mat 28:19).

Selama Kota Batavia menjadi pusat jaringan perdagangan Vereenigde Oostindische Compagnie atau kita kenal dengan sebutan VOC tahun 1616 hingga 1799, VOC pada umumnya beragama Protestan, hanya gereja Umat Reformasi yang diperbolehkan berdiri didalamnya. Orang Portugis tidak pernah berkuasa di Jakarta, akan tetapi tidak jauh dari �Stasiun Beos�, terdapat sebuah Gereja Portugis, kebanyakan orang Portugis dan juga Portugis peranakan beragama Katolik karena mereka tidak diizinkan oleh Kumpeni mengamalkan agama mereka dalam wilayah kekuasanya selama abad ke 17 dan ke 18, lama kelamaan banyak diantara mereka menjadi Protestan. kebencian orang Belanda terhadap agama Katolik bersumber pada perang dengan spanyol (1568-1648). Para tawanan Portugis yang miskin dan para budak yang dibeli di India, tinggal di luar Kota di sebelah timur tembok yaitu di sekitar Gereja Sion sekarang. Banyak di antara mereka menyandang nama Portugis, tetapi darah Portugis tidak banyak mengalir dalam tubuh mereka.

Nama Portugis diterima dari wali baptis mereka. Mereka dijanjikan kebebasan oleh pihak Belanda dengan syarat mau menjadi anggota Gereja Reformasi. Oleh karena itu, mereka disebut � Mardiiker � atau orang yang dimerdekakan. Lama � kelamaan hampir semua menjadi orang Protestan, Namun demikian selama beberapa generasi perpindahan itu bersifat lahiriah saja.

Setiap kali seorang Iman Katolik dengan diam � diam singgah di Batavia dan merayakan Misa Kudus, para Mardijker berbondong � bondong ikut serta. Gejala seperti ini berlangsung sampai pertengahan abad ke 18. Pada tahun 1622 kapal yang ditumpangi Aegidius de Abrue ,seorang imam Jesuit karena dirampok di Selat Singapuradan dia dibawa ke Batavia. Dalam penjara kota ini ia bertemu dengan seorang imam dan seorang burder Dominikan dan banyak orang awam Portugis.

Mulanya, de Abrue hanya diinternir dan cukup bebas untuk mengunjungi orang Katolik di empat penjara, yang pada waktu itu sudah terdapat di Batavia. Ia mendengarkan Pengakuan dosa dan merayakan Misa bersama mereka. Orang Belanda tidak mencegah kegiatan tersebut supaya tawanan yang banyak itu tetap tenang dan jangan melarikan diri, sebab tenaga mereka sangat dibutuhkan untuk membangun kota. Tetapi , akhirnya kegiatan de Abreu itu dilarang, dan ia dimasukkan ke dalam ruang terkunci, yang berbau busuk tanpa ada ventilasi. Didalam penjara de Abreu dan imam Dominikan tersebut merayakan ibadat bersama para tawanan yang seiman dan mengkhususkan satu pojok sebagai tempat untuk berdoa. Waktu kegiatan itu diketahui, dua imam dimarahi, dimaki-maki, dipukul dan jatah makanan mereka dikurangi, sedangkan pekerjaan diperberat. Imam Dominikan meninggal karena diperlakukan buruk. Pada Maret 1624 Pater de Abreu meninggal. Mengapa orang � orang VOC begitu kejam terhadap para imam Katolik Portugis? VOC didirikan untuk merampas monopoli cengkeh serta lada dari Portugal. Sebab, sejak tahun 1585 raja Spanjol Philip sekaligus menjadi raja Portugal. Dan Spanyol adalah musuh bebuyutan orang Belanda.

Selama dua puluh tahun setelah pembunuhan P.A de Abreu SJ, kurang lebih sepuluh imam Katolik dilaporkan singgah di Batavia. P. Antonio Caballero OFM ditangkap waktu kapalnya mencari tempat berlindung disuatu pelabuhan di Formosa, yang di kuasai oleh Belanda (1636). Ia dirantai dan dibawa ke Batavia, tempat ia dipenjarakan bersama 300 tahanan, Selama delapan bulan dalam penjara, Ia dikunjungi beberapa pendeta untuk mendiskusikan pokok � pokok perselisihan antara umat Katolik dan Protestan.

Pada tahun 1645 - 46 Pedro Francesco Jaque SJ, karena angin sakal terpaksa mendarat di Batavia dan ia berjumpa dengan banyak orang Katolik yang menurut taksiran kurang lebih 3.000 orang. Ia membaptis 6 (enam) sampai 8 (delapan) orang setiap hari dan umumnya orang dewasa. Pada tahun yang sama terjadi skandal besar P.Alexander de Rhodes SJ, adalah seorang bangsawan Perancis, misionaris Vietnam dan pencipta abjad, tiba di Batavia. Sebelumnya ia diterima baik di Malaka oleh Gubernur A. de Vlamingh van Outshoorn dan diperbolehkan merayakan Misa secara terbuka untuk tentara VOC yang berbahasa Perancis. Gubernur berkata kepada de Rhodes, waktu memandang lukisan S.Fransiscus Xaverius di rumahnya.

�Aku mengaku dengan terus terang� Pater� seandainya aku seorang Katolik aku masuk Serikat anda. Sebab aku melihat dengan mataku sendiri betapa beraninya Pater-pater Jesuit menanggung siksaan kejam sekali untuk membuat mereka murtad.�
Karena tiada kapal dari Malaka ke Eropa, maka P. de Rhodes berangkat ke Batavia, pada tanggal 5 Maret 1646 P. de Rhodes bertemu dengan Francesco Jaqua yang melaporkan bahwa ia diutus ke Malaka (1646) untuk menolong orang Katolik yang baru saja kehilangan kebebasan beragama di bawah kekuasaan VOC (1641). Karena kerasulannya tercium oleh Dwan ereja setempat, maka ia terpaksa harus meninggalkan Malaka, tetapi berhasil berlayar ke Batavia lagi. Di Batavia ia sempat melaksanakan karya pastoral selama setengah tahun.

Pada hari minggu 29 Juli 1696 P.de Rhodes ditangkap waktu merayakan Misa dirumah Tuan Innocent Viera de Compos. Sesudah konsekrasi, terdengar keributan besar di muka rumah itu. Kepala pengadilan dan polisi sekonyong konyong menggerebek tempat orang katolik berkumpul untuk merayakan Misa Kudus. De Rhodes langsung membagikan semua hosti yang sudah dikonsekrasi. Waktu Iman ini masih berdoa, tiga polisi menyeret dan mau membawanya dengan pakaian Misa ke penjara. Tetapi, tujuh orang Portugis menghunuskan pedang untuk mencegah penghinaan atas agama mereka. Pada ruang tahanan yang gelap Imam Jesuit ini menggunakan waktunya untuk menjalankan latihan rohani tahunnannya (exercitia) selama sepuluh hari. Dua minggu sesudahnya ia dituduh secara resmi, bahwa merayakan Misa Kudus membakar buku agama Protestan dan menobatkan Gubernur Malaka A de Vlamingh, akhirnya pada tanggal 25 September de Rhodes dipanggil untuk menghadap hakim dan dijatuhi hukuman, yaitu meninggalkan wilayah VOC, membayar empat ratus keping emas dan Salib dan Patung serta alat Misa dibakar dibawah tiang gantung, bersama dua orang penjahat akan digantung pada waktu yang sama juga.

Bulan Agustus 1661 FR. Manuel Soares SJ ke Batavia untuk meneruskan pelayaran ke Muangthai, ia hanya singgah sembilan hari. Tetapi lima tahun kemudian Manuel Soares SJ, mengirim suatu laporan kepada pembesarnya di Roma. Ia menyebut antara lain bahwa pada malam pertama ia membaptis sembilan orang dalam rumah seorang Portugis. Laporan Soares memberi gambaran berharga tentang banyaknya orang Katolik dan keadaan mereka di Batavia pada tahun 1660 an. P. Martino Martini SJ (1661), seorang ahli geografi dan perancang atlas Tiongkok yang pertama, singgah di Batavia bersama sembilan Jesuit lain.

Dua puluh tahun sesudahnya ( 1682 ) P. Andreas Gomes SJ, diutus Raja muda Portugis dari GOA untuk memperbaiki hubungan dengan VOC di Asia setelah perdamaian baru diadakan di Eropa. Kepergian Gomes dengan kapal didalam kapal ada yang penyelundup seorang Pater Ordo Agustin, akhirnya pada tahun 1664 dikeluarkan plakat yang melarang imam-imam Katolik mendarat di pelabuhan Batavia. Pada tahun 1688 P. Johan Baptista de Visscher dari Rotterdam menulis kepada provinsialnya di Belgia bahwa ia berencana belayar lewat Manila dan Makassar ke Batavia untuk menyelidiki.

Kemajuan Missie Katolik bertambah pesat setelah pada tahun 1874 Mgr. Francken digantikan oleh Mgr. Claessen yang sejak tahun 1848 bertugas di India. Didirikannya pos-pos di Cirebon, Magelang, Bogor, Malang dan Madiun. Untuk Sumatra di Medan dan Tanjung Sakti. Di Kalimantan dibangunnya pangkalan untuk kristenisasi suku Dayak. Mgr. Claessen digantikan oleh Vicarius Apostoles M.J. Staal, kemudian pada tahun 1898 oleh Mgr. E.S Luypen SJ, sejak masa itulah agama katolik mulai berkembang di pulau Jawa.

Pada tahun 1902 di Batavia (Jakarta) mulai didirikan Apostolisch Vicariaan Van Batavia. Tujuh tahun kemudian yaitu 1904 Pusat Missie Katolik di negeri Belanda mengirimkan 2 orang utusannya ke Jakarta yaitu Jacob Nellisen dan Lambert Prinsen, kedudukan Missie dipusatkan di Jakarta, Semarang dan Surabaya. Uskup Indonesia yang pertama ditahbiskan adalah Romo Agung Albertus Sugiyopranoto pada tahun 1940,Kardinal pertama di Indonesia adalah Justinus Kardinal Darmojuwono diangkat pada tanggal 29 Juni 1967. Gereja Katolik Indonesia aktif dalam kehidupan gereja katolik. Uskup Indonesia mengambil bagian dalam Konsili Vatikan II ( 1962-1965 ).

Sumber : http://programkatekese.blogspot.com/

Recent Post